PEMIKIRAN KLASIK
KHAWARIJ DAN SYI’AH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A
Oleh:
TRI PARIYATUN
1420411160
PAI-D (Mandiri)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Berbicara masalah aliran pemikiran
dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti
“kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan
pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli
debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi
Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak
mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan
tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat
menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat
Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis.
Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran
kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa
perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada para Rasul, para Malaikat, hari akhir dan
berbagai ajaran Nabi-Nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk
memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia,
kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan
berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan
Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan
aliran-aliran kalam klasik, diantaranya; Khawarij dan Syi’ah. Dalam makalah ini
penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran-aliran kalam
klasik. Untuk memudahkan dalam membahas dan menganalisis aliran ini agar sistematis,
maka kami petakan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana latar
belakang lahirnya aliran Khawarij dan Syi’ah?
2. Bagaimana
pemikiran politik Khawarij dan Syi’ah?
3. Bagaimana
pemikiran teologi Islam prespektif Khawarij dan Syi’ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Khawarij
1.
Latar
Belakang Kemunculan
Khawarij merupakan sebuah aliran kalam yang diambil
dari kata kharaja dan merupakan bentuk jamak dari khaarij, yang berarti “keluar
dan memisahkan dari barisan Ali”. Pemisahan dari barisan Ali ini, dipandang
oleh Asy-Syahrastani sebagai “pemberontakan terhadap imam yang sah diakui oleh
rakyat (umat).” Oleh karena itu, istilah Khawarij dapat dikenakan kepada semua
orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa
berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan
kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.[1]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu
kalam adalah suatu sekte/ kelompok/ aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang
keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahrim), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/648 M,
dengan kelompok bughat (pemberontak)
Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada
mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali
merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara
Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Berdasarkan estimasi Khawarij pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada
peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai
Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.[2]
Ali sebenarnya sudah mencuium kelicikan dibalik
ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan
itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais,
Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat
terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud
mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam) nya, tetapi orang-orang Khawarij
menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok
Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari
dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari
jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi
khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang –orang kahwarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum
yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.”
Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar
dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Itulah sebabnya Khawarij disebut juga dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut
dengan syyurah dan Al-Mariqah.[4]
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di
Harura. Di Harura, kelompok Khawarij ini
melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangat
seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[5]
Khawarij ini muncul di Afrika Utara, karena muncul perkataan bahwa tidak ada
seoranng pun yang mempunyai hak lebih hanya karena adanya tali hubungan darah
dengan sesrorang, hanya ketaqwaan dan kecakapan serta kemampuannya sajalah yang
membuat seseorang lebih berhak dari pada yang lain,[6] sehingga
kepala negara dipilih secara demokratis. Bahkan Khawarij masih ada sampai
sekarang di daerah Oman dan Afrika Utara.[7]
2.
Pemikiran
Politik dan Teologi Khawarij
Khawarij
adalah aliran pemikiran politik nurani, tidak ada kaitannya dengan pemahaman
agama, atau yang lazim disebut dengan mahzab. Salah satu pemikiran Khawarij
bahwa khalifah atau kepemimpinan tidak dimiliki hanya oleh kaum tertentu,
tetapi merupakan hak setiap muslim. Sepanjang ia memiliki syarat-syaratnya,
seperti imam saleh, istiqamah, dan dibai’at seluruh lapisan masyarakat,
sekalipun oranng telah memenuhi syarat itu dari Persia, Turki, atau dari
Habasyah (Ethiopia). Dengan demikian, pemikiran Scrates dalam masalah ini tidak
mereka akui. Bahkan, merupakan musuh atau lazim disebut lawan politik dari
pemikiran Khawarij. Pembatasan hak khalifah bagi keluarga tertentu, misalnya
keturunan Nabi, sangat mereka benci. Mereka memerangi penganjuran pembatasan
itu dengan segala kekuatan yang dimiliki.[8]
Dengan
keanekaragaman cara yang ditempuh pengikut Khawarij dalam mencapai tujuan,
yaitu politik kepemimpinan, muncul perbedaan pandangan di kalangan mereka dalam
hal pengaturan politik kepemimpinan. Karena sedemikian tajamnya perbedaan itu,
meluas pula perbedaan pandangan mereka dalam hal prinsip-prinsip ajaran agama
atau akidah. Timbulah kelompok yang mencampuradukkan antara politik dengan
agama dan kepemimpinan dengan akidah. Sekalipun Khawarij berkelompok dan
bercabang-cabang, mereka tetap berpandangan sama dengan dua prinsip.
Pertama, persamaan
pandangan mengenai kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa khilafah hendaknya
diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari
kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi.[9]
Jadi menurut Syi’ah, kecuali Zaidiyah, bahwa pengangkatan Imam itu adalah suci
dari Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis. Setiap Imam, sejak
dari ‘Ali adalah orang-orang yang memangku jabatannya berdasarkan nash dan washiyat. Orang yang diangkat
dinamanakan mashush. ‘Ali diangkat
oleh Nabi, Imam sesudah ‘Ali diangkat oleh ‘Ali, sedang Imam-imam berikutnya
diangkat oleh Imam yang mendahuluinya serta berjuang untuk merebut kedudukan
Imam. Dengan demikian orfang-orang Zaidi tidak menganggap Abu Bakar ‘Umar dan
‘Utsman adalah perampas hak jabatan ‘Ali sebagai Khalifah. Kekhalifahan mereka
adalah sah.[10]
Doktrin
politik Khawarij ialah, kaum Muslimin harus dipimpin oleh seorang yang
berkualitas terbaik. Hanya orang yang berkualitas terbaik saja yang boleh
berambisi untuk menduduki jabatan Imam. Orang yang tidak berkualitas yang
berusaha merebut jabatan Imam, demikian juga para pendukungnya, dihitung
sebagai orang yang berbuat jahat dan berdosa. Kriteria yang dipakai untuk
mengukur baik buruknyakualitas seseorang ialah kadar ketaqwaannya kepada Tuhan
seperti yang termaktub di dalam al-Qur’an. Etika pribadi dan etika negara
adalah sama. Orang yang berperilaku baik pasti akan baik pula dalam mengelola
negara. Atau dengan kata lain indahnya pengelolaan negara yang dilakukannya adalah pancaran dari sikap
hidupnya sehari-hari.[11]
Kedua, persamaan
pandangan yang berkenaan dengan akidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan
perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara
keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mendirikan
shalat, berpuasa, dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna kemudian
ia melakukan perbuatan dosa besar maka orang tersebut menurut anggapan
Khawarij, telah kafir.[12]
Doktrin-doktrin
teologi Khawarij berangkat dari pertanyaan-pertanyaan: Apakah Islam dan Iman
bisa dipisahkan? Apakah seseorang yang melakukan dosa besar masih tetap Mu’min
sehingga masih berhak menjadi anggota masyarakat Islam (jama’ah Islamiyah)? Siapakah yang mendapat ganjaran Syurga dan
siapa pula yang mendapatkan hukuman Neraka?
a.
Orang mukmim yang berbuat dosa besar (murtakib al-kaba’ir atau capital sinner) adalah kafir dan telah
keluar dari Islam dan wajib dibunuh. Karena itu kemudian Khawarij mengartikan
iman adalah amal shalih. Jadi seorang mukmin adalah orang yang melakukan amal
shalih dan jika yang dilakukan amalan dosa besar, maka ia dipandang tidak
beriman lagi, ia telah kafir, wajib dilaknat (dibunuh)
b.
Ibidat termasuk rukun iman, maka orang
yang tarikush shalat dinyatakan kafir
c.
Anak-anak orang kafir yang mati
waktu kecil juga masuk neraka. [13]
Jadi, bagi Khawarij seseorang baru
dikatakan beriman (mu’min) jika dia mengakuinya dengan hati, mengucapkannya
dengan lidah dan mengamalkannya dengan baik semua perintah agama dan menjauhkan
diri dari segala larangan yang akan berakibat berbuat dosa. Iman tidak cukup
dengan adanya sikap batin saja. Dia harus diwujudkan dalam perbuatan lahir.
Oleh karena itu biarpun seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadah dan
menyakinkannya, tetapi tidak mengerjakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, serta berbuat dosa besar, orang itu menjadi kafir,
keluar dari masayarakat Islam.
Basis posisi teologik Khawarij
ialah perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. Orang yang berbuat dosa besar
menjadi tidak Mu’min lagi. Konsekuensinya, keluar dari Islam. Inilah yang
menjadi dasar pandangan mereka bahwa ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib,
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan kawan-kawannya telah keluar dari Islam. Oleh
karena itu mereka berhak, bahkan wajib dibunuh.[14]
B. Syi’ah
1.
Latar
Belakang Munculnya
Syi’ah
menurut bahasa berarti “sahabat” atau
“pengikut”. Dalam pengertian yang berkembang pada waktu sekarang ini, kata syi’ah telah menjurus kepada satu
pengertian tersendiri, yakni nama bagi sekelompok orang yang menjadi pengikut
atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib ra. [15] Mengenai
kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai
muncul pada akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang
pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru
benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan Perang Siffin. Dalam
peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah,
pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok menduung sikap Ali,
kelak disebut Syi’ah dan kelompok
lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.[16]
Kalangan
Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah
pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka
menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan karena
dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan
Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan
isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAW. pada masa hidupnya. Pada awal
kenabian, ketika Muhammad SAW. diperintahkan menyampaikan dakwah kepada
kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan
bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi
ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selai itu, sepanjang kenabian
Muhammad, Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang
luar biasa besar.
Bukti
utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika
kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah, di suatu
padang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi
memilih Ali sebagai penggantiunya dihadapan massa yang penuh sesak yang
menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanyak menetapkan Ali sebagai
pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi
juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata
berbicara lain.[17]
Berlawanan
dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan,
sedangkan anggota keluarga dan beberapa orang sibuk dengan persiapan dan
upacara pemakamannya, teman dan para pengikut Ali mendengar kabar adanya
kelompok lain yang telah pergi ke Mesjid, tempat umat berkumpul menghadapi
hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi yang menjadi
mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pimpinan
kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah
mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para
sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak
memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu
keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi.
Berdasarkan
realitas itulah, muncul sikap dikalangan sebagian kaum muslimin yang menentang
kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan
tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang
sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama
harus merujuk kepadanya serta mengajak masayarakat untuk mengikutinya. Inilah
yang disebut sebagai Syi’ah. Namun,
lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak
pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sendiri, sehingga
mesti diwujudkan.[18]
Seperti
yang kita ketahui, Iran adalah salah satu negara Syiah terbesar di dunia. Iran
terkenal dengan sejarahnya iaitu ‘Revolusi Islam Iran’ yang dipimpin oleh
Ayatullah Khomeini, seorang pemimpin besar Syiah. Namun, pernahkah kita
bertanya, “mengapa Syiah itu berpusat di Iran dan tidak di negara lain?” Untuk
menjawab persoalan berkenaan, maka adalah seharusnya kita kembali kebelakang,
mengkaji sejarah masa lalu. Iran merupakan negara yang dahulunya dikenali
dengan nama Parsi. Parsi merupakan sebuah kerajaan yang besar dimana majoriti
penduduknya menganut agama Majusi (penyembah api, atau lebih dikenal sebagai
Zoroasterisme). Kehidupan mereka mewah dengan harta benda, kerana sememangnya
kota-kota di Parsi itu indah dan subur, serta peradabannya cukup maju pada masa
itu.
Pada
ketika itu, banyak kaum Majusi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Niat
mereka hanyalah satu : untuk menghancurkan Islam dari dalam. Mereka menyusun
rancangan demi meruntuhkan kekuasaan kaum muslimin dengan cara menyelewengkan
ajaran Islam dengan mencampur adukkan aqidah Majusi dan Yahudi. Dan antara
rancangan lain yang yang termasuk dalam strategi melemahkan Islam adalah dengan
pembunuhan Umar Al-Khattab, Khalifah Islam yang telah meruntuhkan empayar
Majusi Kaisar Parsi. Hal itulah yang menjadikan Syiah benar-benar benci kepada
Umar Al-Khattab. Kebencian yang terlalu tinggi itu dipotretkan lagi apa bila
mengagungkan Abu Lu’luah (pembunuh Khalifah Umar) dengan gelaran ‘Bapa Pembela
Agama’[19]
Sementara
salah seorang puteri kaisar terakhir mereka, yaitu Yazdegerd III telah menjadi
tawanan kaum Muslimin sejurus kejatuhan Kaisar Parsi. Puteri Kaisar itu
akhirnya dinikahkan dengan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Maka, kerana ini
jugalah mereka begitu fanatik dan cenderung ‘mendewakan’ Hussein bin Ali,
ekoran Hussein memiliki keturunan dari puteri Sassania yang mereka anggap
sebagai keramat. Disini terjawablah sudah mengapa Syiah berpusat di Iran. Syiah
adalah agama yang ‘dilahirkan’ bagi membalas dendam kekalahan Kaisar Parsi
terhadap Islam. Syiah adalah simbol hasad dan kemarahan kaum Parsi kepada
bangsa Arab amnya dan kaum Muslimin khasnya.[20]
2.
Pemikiran
Politik dan Teologi Syi’ah
Syi’ah
pada awalnya bukan merupakan mahzab atau paham dalam agama, melainkan merupakan
salah satu pandangan politik yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah
seorang yang lebih berhak untuk memegang kepemimpinan dibandingkan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan.[21]
Dalam masalah keimanan, Syiah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak
suci Tuhan (the devine righ of God).
Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan Imam haruslah berdasarkan nash (dalil agama) dan washiyat (wasiat/testamen) dari Imam
sebelumnya. Tuhan telah mendelegasikan hak suci-Nya itu kepada para Nabi dan
Muhammad s.a.w. telah mewasiatkannya kepada ‘Ali. Maka ‘Ali-lah orang pertama
yang menerima wasiat untuk menjadi Imam. Selanjutnya setiap Imam yang telah
mendapat wasiat mempunyai hak mutlak untuk mewasiatkannya lagi kepada seseorang
yang dikehendakinya.[22]
Mengingat
kedudukan Imam itu begitu muia dan agung, penting serta tinggi, maka menurut
kepercayaan orang-orang Syi’ah, tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan
pengangkatan seorang Imam dipercayakan pada orang banyak, yang bukan Nabi atau
Imam, seperti pemilihan Abu Bakar, pengangkatan ‘Umar dan pemilihan terhadap
‘Utsman yang dilakukan oleh sebuah komisi. Tetapi haruslah jelas diangkat oleh
Tuhan melalui Nabi, atau melalui ‘Ali, atau oleh seorang Imam yang
mendahuluinya, sebagai pemangku hak suci.[23] Jadi
menurut pandangan Syi’ah, kecuali Zaidiyah, bahwa pengangkatan Imam itu adalah
hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis.[24]
Pada
masa kepemimpinan Ali, umat Islam benar-benar tengah dilanda ketidakpastian.
Mereka yang cenderung berpihak kepada Ali berkeyakinan bahwa Mu’awiyah tidak
bersungguh-sungguh menuntut kematian Utsman. Kematian Utsman sengaja diangkat
sebagai isu politik untuk mengorbankan ketidakpuasan umat sehingga beralih
ketangannya. Agaknya nasib mujur ada di pihak Mu’awiyah. Ia berhasil memenuhi
ambisinya. Ia mampu menggunakan tragedi berdarah yang menimpa Utsman sebagai
tunggangan politik menuju puncak kepemimpinan. Kekalahan yang diderita
Mu’awiyah dalam perang Shiffin sempat menghambat langkahnya. Akan tetapi,
kekalahan itu dapat ditebusnya dengan tipu muslihat yang terjadi dalam
perundingan. Di atas semua itu, terbunuhnya Ali menjadi penentu tercapainya
impian Mu’awiyah dalam meraih tahta. Jika Ali tidak terbunuh, niscaya Mu’awiyah
tidak akan pernah mencapai kepemimpinan umat dan tidak pula satu orang pun
keluarga Mu’awiyah yang akan memegang kendali kepemimpinan umat Islam.
Bagi
Syi’ah, Imam atau Khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya kelayakan
politik semata. Mereka berpendapat pula bahwa Imam itu adalah seorang yang ma’shum, suci dari dosa.[25] Bagi
orang Syi’a, Imam itu adalah seorang yang pandai dalam segala macam cabang ilmu
pengetahuan, khususnya di lapangan ilmu pengetahuan agama. Dia juga seseorang
yang berkualitas luhur dan mulia dan tidak ternoda dengan dosa seperti halnya
para Nabi.Perbedaan antara Nabi dengan Imam hanya terletak pada penerimaan
wahyu. Jika Nabi menerima pesan dan aturan-aturan agama melalui wahyu, Imam
menerimanya melalui Nabi dan menjadi kewajibannya untuk membimbing manusia ke
arah kehendak Allah dan Sunnah Nabi.[26] Berikut
ini adalah analisis singkat atas beberapa prinsip dan konsep pemikiran Islam
(Syi’ah):
1.
Itrah
Doktrin
Syi’ah memandang ‘itrah sebagai
sesuatu yang berasal dari sunnah Nabi Suci dan bukan sesuatu yang bertentangan
dengannya. Ia dipahami sejajar dan berdampingan dengan Sunnah dan Al-Qur’an.
Dan ketiga-tiganya ini memiliki hubungan logis satu sama lain. Sesungguhnyalah,
bisa dikatakan bahwa melalui ‘itrah itulah
Al-Qur’an dan Sunnah yang benar bisa dipahami.[27]
2.
‘Ishmah
‘Ishmah atau
kesucian dalam akidah Syi’ah, adalah prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin
suatu komunitas atau masyarakat, yakni orang yang memegang kendali nasib di tangannya,
orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak, mestilah bebas dari
kejahatan dan kelemahan.[28]
Sebagai
akibat dari segala bentuk kejahatan dan pengkhianatan boleh dan bisa saja
dilakukan oleh para raja, sebab hanya para imam sajalah yang suci dan kebal
dari kejahatan lantaran perbedaan “intrinsik” mereka dengan orang lain. Selanjutnya
akibat dari menyebarnya gagasan-gagasan yang salah ini, kepemimpinan Syi’ah
melupakan segala corak pandangan tentang kesalehan dan ketakwaan selama masa
pemerintahan Dinasti Safawi (dari abad ke-16 Masehi dan seterusnya). Dan
prinsip ‘ishmah yang progresif serta
revolusioner ini pun meninggalkan gelanggang kehidupan sehari-hari, masyarakat
dan politik.[29]
3.
Wishayah
Wishayah dalam
doktrin Syi’ah sesungguhnya bukanlah “pemilihan” atau pencalonan, melainkan
pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi Suci dengan mengumumkan seorang mukmin
yang paling saleh sebagai pengganti beliau dalam mendakwahkan pesan Islam.
Dalam khutbah-khutbah Safawi, wishayah tak
lain adalah rezim turun-temurun yang diwariskan dari ayah ke anak sepanjang
generasi demi generasi suatu “pemerintahan melalui penunjukkan” yang dibangun
atas dasar kekerabatan dengan membenarkan prasangka ras, keturunan, dan
hubungan darah.[30]
Orang-orang Zaidiyah berpendapat bahwa Imam itu haruslah dipilih di aklangan
anak keturunan ‘Ali dengan Fathimah dengan memenuhi syarat: berilmu, taqwa,
murah tangan, berani, dan berkampanye serta berjuang untuk merebut kedudukan
Imam.[31]
4.
Wilayah
Wilayah dalam
mahzab Syi’ah berarti menerima perwalian, kepemimpinan, dan pemerintahan oleh
‘Ali (setelah wafatnya Nabi Suci), sebab ‘Ali adalah contoh agung pengabdian
kepada Allah. Sumber pengakuan atas kepemimpinannya adalah karena dia merupakan
obor-petunjuk bernyala terang serta pemandu tulus kafilah umat manusia.[32]
5.
Imamah
Imamah dalam
mahzab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang
bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta
membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal
mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil
keputusan.[33]
6.
Keadilan
Keadilan al-‘adl) dalam
mahzab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep bahwa keadilan adalah sifat
intrisik Allah. Denagn demikian, setiap tindakan manusia benar atau salah
haruslah dinilai oleh-Nya. Karena itu, ‘adl
adalah infrastruktur sistem dunia. Dan pandangan dunia kaum muslim
didasarkan atasnya. Konsekuensinya, jika suatu masyarakat tidak dibangun atas
landasan ini, makan ia adalah masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang
dipastikan bakal hancur lantaran,seperti telah disebutkan, Allah bersikap adil
dan penciptaan bertumpu di atas keadilan. Oleh sebab itu, sistem-sistem
kehidupan haruslah juga disasarkan atasnya dan karena kenyataan ini, maka
kediktatoran dan ketidakadilan dalam pemerintahan adalah sitem-sistem anti
Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti ditumbangkan dan dihancurkan.[34]
7.
Taqiyyah
Taqiyyah
(menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah-masalah agama disebabkan adanya
larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadaholeh rezim penguasa
tiranis dan zalim) telah dan masih memiliki dua tujuan pokookdalam diktrin
Syi’ah. Tujuan pertama adalah memelihara perasaan solidaritas diantara kaum
muslim dan kedua, melanjutkan perjuangan melawan pnindasan.[35]
Dalam
mzhabab Syi’ah taqiyyah adalah faktor
yang mempersatukan sesama kawan, tetapi melambangkan perlawanan terhadap musuh.
8.
Sunnah
Nabi SAW
Mahzab
Syi’ah Alawi adalah penjaga dan pemelihara sunnah Nabi dan musuh bagi berbagai bid’ah atau inovasi. Walhasil, ‘Ali
adalah manifestasi dari mengikuti, melanjutkan, dan benar-benar menyadarkan
diri kepada prosedur-prosedur Muhammad.
9.
Ghaybah
Ghayabah (ghaibnya
Imam Mahdi) dalam mahzab Syi’ah bermakna bahwa orang-orang bertanggung jawab
dalam menentukan jalan kehidupan pribadi dan sosial, keyakinan mereka dan
sebagainya di jalan yang mereka yakini bahkan mengantarkan kepada kesalehan.[36]
10.
Syafa’at
Dalam
mahzab Syi’ah “Alwi, syafa’ad adalah
faktor untuk menjamin keselamatan di akhirat dengan penuh tanggung jawab
berjuang menegakkan keadilah di muka bumi ini.[37]
11.
Ijtihad
Ijtihad dalam
mahzah Syi’ah adalah faktor yang mempengaruhi dinamisme agama sepanjang waktu.
Ia merupakan integrasi berbagai keputusan hukum agama dengan evolusi dan
perubaha di dalam kondisi-kondisi kehidupan manusia.
Setelah
prinsip-prinsip yurisprudensi (fiqih) ditetapkan,
munculah persoalan menyeiringi keputusan-keputusan hukum dengan
kemajuan-kemajuan mutakhir. Ijtihad berusaha
memecahkan problem ini melalui empat prinsip : “kitab suci (Al-Qur’an), Sunnah,
akal, dan konsensus”. Dengan cara seperti ini, semua masalah dan fenomena baru
yang pernah terjadi sebelumnya dalam agama atau doktrin agama dan katrena itu
menimbulkan berbagai problem bagi masyarakat secara jelas bisa diselesaikan
dengan bantuan satu dari keempat prinsip
tersebut. Dengan demikian, ijtihad adalah
cara yang pasti untuk menjaga agama atau pemikiran keagamaan dari kemandegan
dalam pola-pola lama dan menjadi terasing dalam masyarakat yang berubah dengan
cepat.[38]
12.
Doa
Doa
dalam doktrin Syi’ah adalah teks permohonan yang mengajarkan, menyadarkan, dan
menanamkan kebaikan serta keindahan. Berdoa merupakan satu tindakan yang
mengangkat ruh dan mendekatkan seseorang kepada Allah.[39]
13.
Taqlid
Dalam
pemekiran Syi’ah, taqlid (mengikuti
ulama dalam masalah-masalah yang seseorang tak mampu memahaminya) adalah
hubungan yang logis, ilmiah, alamiah, dan penting, antara orang awam atau
bukan-ahli dengan ulama dalam masalah-masalah praktis dan hukum yang mengandung
aspek-aspek teknis yang tidak diketahui oleh orang bukan ahli.[40]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberpa
pemaparan diatas, serta segala penjelasan-penjelasan, kami dapat mengambil
kesimpulan. Kaum Khawarij merupakan kaum yang memisahkan diri dari barisan ‘Ali
bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan sikapnya yang menerima tahkim
(arbitrase) dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Akan tetapi dalam pertemuan dengan kekuatan Ali, kaum khawarij
mengalami kekalahan besar, tapi akhirnya Ibn al- Muljam dapat membunuh Ali bin
Abi Thalib. Di kemudian hari kaum Khawarij terpecah-pecah dalam beberap
sub-sekte. Sekalipun Khawarij berkelompok dan bercabang-cabang,
mereka tetap berpandangan sama dengan dua prinsip.
Pertama, persamaan
pandangan mengenai kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa khilafah hendaknya
diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari
kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi.
Kedua, persamaan
pandangan yang berkenaan dengan akidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan
perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara
keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mendirikan
shalat, berpuasa, dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna kemudian
ia melakukan perbuatan dosa besar maka orang tersebut menurut anggapan
Khawarij, telah kafir.
Sedangkan
Syi’ah adalah golongan umat Islam yang terlampau mengagungkan keturunan Nabi.
Mereka mendahulukan keturunan Nabi, untuk menjadi khalifah. Dalam hal ini
golongan syi’ah menetapkan bahwa Imam Ali-lah yang paling berhak memegang
jabatan kholifah setelah Nabi.
DAFTAR
PUTAKA
Adeng Muchar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga
Modern, Cet. I, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005.
Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, Bandung:
Penerbit Mizan, 1995.
Mulyono, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Cet. I, Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010.
Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik Antar Mazhan Dalam Islam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013.
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah dan Khawarij dalam Perspektif
Sejarah, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Rosihon Anwar,dkk, Ilmu Kalam, Cet. II, Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2006.
Sahiron Syamsudin, Islam Tradisi Dan Peradaban, Yogyakarta:
Bina Mulia Press, 2012.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh
Orientalis, Yogyakarta: PT. TIARA WACANA YOGYA, 1990.
[1]
Adeng Muchar Ghazali, Perkembangan Ilmu
Kalam Dari Klasik Hingga Modern, Cet. I (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005),
hlm. 77.
[2]
Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Kalam, Cet. II (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2006), hlm.
49.
[3]
Ibid., hlm. 50.
[4]
Ibid., hlm. 50.
[5]
Ibid., hlm. 50.
[6]
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah dan
Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm. 76.
[7]
www.sufigate.20.com, Pada Hari Sabtu,
Tanggal 29 Desember 2014, Pukul 21.20 WIB.
[8] Musthafa
Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik Antar
Mahzab dalam Islam, Cet. I (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013), hlm. 114.
[9] Ibid, hlm. 116.
[10]
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah...,
hlm. 67-68.
[11]
Ibid., hlm. 76.
[12] Musthafa
Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik ...,
hlm. 114.
[13]
Mulyono, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Cet. I (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010),
hlm.107.
[14]
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ...,
hlm. 79.
[15]
Ibid., hlm. 5.
[16]
Rosihon Anwar, dkk, Ilmu..., hlm. 90.
[17]
Ibid., hlm. 91.
[18]
Ibid., hlm. 91.
[19]
http://networkedblogs.com/O7lWK. Pada Tanggal 26 Oktober
2014. Pukul: 09.33 WIB.
[21] Musthafa
Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik...,
hlm. 116.
[22]
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ...,
hlm. 62.
[23]
Ibid., hlm. 64.
[24]
Ibid., hlm. 65.
[25]
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ...,
hlm. 62.
[26]
Ibid., hlm. 64.
[28]
Ibid., hlm. 62.
[29]
Ibid., hlm. 64.
[30]
Ibid., hlm. 64.
[31]
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ...,
hlm. 68.
[32]
Ali
Syari’ati, Islam..., hlm. 61.
[33]
Ibid, hlm. 65.
[34]
Ibid., hlm. 66.
[35]
Ibid., hlm. 67.
[36]
Ibid., hlm. 70.
[37]
Ibid., hlm. 71.
[38]
Ibid., hlm. 72.
[39]
Ibid., hlm. 73.
[40]
Ibid., hlm. 73.