REINTERPRETASI
TERHADAP HADIS-HADIS MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Studi Al-Hadis: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Dr. Nurun Najwah, M. Ag
Oleh:
Tri Pariyatun,
S.Pd.I
1420411160
PAI-D (Mandiri)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman dan
petunjuk hidup manusia, tidak menggariskan secara rinci berbagai aturan di
dalam sebuah institisi keluarga. Kebanyakan norma yang dimuat dalam Al-Qur’an
bersifat fundamental, universal, dan garis besarnya saja, meskipun terdapat
pula ayat-ayat yang bersifat kontekstual historis. Aturan-aturan secara rinci
tertuang dalam hadis.
Kajian terhadap hadis Nabi sebagai
sumber dan rujukan ajaran Islam sangat diperlukan untuk dapat mengambil
pelajaran dan keteladanan dari setiap yang disampaikan Nabi melalui perbuatan,
sabda, dan ketetapan. Berbeda dengan Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah, maka
hadis adalah perkataan Muhammad Rasul Allah yang di antara fungsinya adalah
untuk menjelaskan kalam Allah yang masih bersifat global, serta untuk menjawab
persoalan-persoalan kehidupan yang senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan zaman yang secara eksplisit belum tersurat dalam AL-Qur’an.
Islam sebagai agama yang memberikan
perhatian besar pada pentingnya institusi keluarga, secara normatif memberikan
seperangkat aturan-aturan yang komprehensif, yang berkaitan dengan bagaimana
membangun keluarga sakinah. Makalah ini akan mencoba menjelaskan pemahaman
ulang terhadap hadis-hadis “membangun keluarga sakinah” dalam keyakinan umat
Islam. Salah satu cara yang dipilih adalah melakukan reinterpretasi terhadap
makna hadis-hadis dalam membangun keluarga sakinah, yang hasilnya
dipublikasikan kepada masyarakat luas.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan di atas dapat
dirumuskan masalah sebagai sebagai berikut:
1.
Apa hakikat keluarga sakinah?
2.
Apa upaya membangun keluarga sakinah?
3.
Bagaimana reinterpretasi terhadap hadis-hadis
membangun keluarga sakinah?
4.
Bagimana peran wanita karier dalam membangun keluarga
sakinah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keluarga Sakinah
Keluarga
dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan sebagai
sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk
pengertian untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu-bapak dan anak-anaknya.
Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan
yang sangat mendasar dalam masyarakat. Sedangkan kekeluargaan yang berasal dari
kata “keluarga” dengan memperoleh awalan “ke” dan akhiran “an” berarti perihal
yang bersifat atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan (hal) yang
berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu
keluarga.[1]
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal satu atap dalam keadaan salin
ketergantungan.[2]
Setiap kali kita berbicara tentang
keluarga bahagia, selalu mengkaitkan dengan istilah sakinah, mawadah, wa
rahmah. Tiga kata yang acap diringkas dengan sebutan Keluarga Sakinah.
Sebagaimana diketahui, kata sakinah, mawadah dan rahmah itu diambil dari firman
Tuhan:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri (pasangan) dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawadah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar Rum : 21).
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab,
kata sakinah mengandung makna tenang, tenteram, damai, terhormat, aman, nyaman,
merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh pembelaan. Dengan
demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan
ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan,
keberkahan, dan penghargaan. Kata sakinah juga sudah
diserap menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
sakinah bermakna kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan.[3] Jadi
keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga.
Keluarga sakinah juga sering disebut
sebagai keluarga yang bahagia. Menurut pandangan Barat, keluarga bahagia atau
keluarga sejahtera ialah keluarga yang memiliki dan menikmati segala kemewahan
material. Anggota-anggota keluarga tersebut memiliki kesehatan yang baik yang
memungkinkan mereka menikmati limpahan kekayaan material. Bagi mencapai tujuan
ini, seluruh perhatian, tenaga dan waktu ditumpukan kepada usaha merealisasikan
kecapaian kemewahan kebendaan yang dianggap sebagai perkara pokok dan prasyarat
kepada kesejahteraan (Dr. Hasan Hj. Mohd Ali, 1993 : 15).
Pandangan yang dinyatakan oleh Barat
jauh berbeda dengan konsep keluarga bahagia atau keluarga sakinah yang
diterapkan oleh Islam. Menurut Dr. Hasan Hj. Mohd Ali (1993: 18 – 19) asas
kepada kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga di dalam Islam terletak kepada
ketaqwaan kepada Allah SWT. Keluarga bahagia adalah keluarga yang mendapat
keredhaan Allah SWT. Allah SWT redha kepada mereka dan mereka redha kepada
Allah SWT. Firman Allah SWT: “Allah redha kepada mereka dan mereka redha
kepada- Nya, yang demikian itu, bagi orang yang takut kepada-Nya”.
(Surah Al-Baiyyinah : 8).
Menurut Paizah Ismail (2003 : 147),
keluarga bahagia ialah suatu kelompok sosial yang terdiri dari suami istri, ibu
bapak, anak pinak, cucu cicit, sanak saudara yang sama-sama dapat merasa senang
terhadap satu sama lain dan terhadap hidup sendiri dengan gembira, mempunyai
objektif hidup baik secara individu atau
secara bersama, optimistik dan mempunyai keyakinan terhadap sesama sendiri.
Dengan demikian, keluarga sakinah
ialah kondisi sebuah keluarga yang sangat ideal yang terbentuk berlandaskan
Al-Quran dan Sunnah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kebendaan bukanlah sebagai ukuran untuk membentuk keluarga bahagia sebagaimana
yang telah dinyatakan oleh negara Barat.
B. Upaya membangun keluarga sakinah
Pernikahan merupakan suatu ikatan perjanjian antara
dua insan laki-laki dan perempuan dengan syarat-syarat: adanya ijab kabul, dua
saksi, mahar, dan wali nikah.[4]
Menikah merupakan perintah agama dan Sunnah Rasul yang patut untuk dipatuhi dan
diteladani, karena sangat banyak hikmah dan manfaat yang dapat dipetik dari
sebuah pernikahan. Jika pernikahan dilaksanakan atas dasar mengikuti perintah
agama dan mengikuti sunnah Rasul maka sakinah,
mawadah, dan rahmah yang telah
Allah ciptakan untuk manusia dapat dinikmati oleh sepasang suami istri.
Mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam
dimulai dengan memberi pedoman pemilihan jodoh yang tepat, dengan unsur
utamanya beragama kuat dan berakhlak luhur. Setelah perkawinan belangsung, suami
harus tahu benar kewajiban-kewajiban yang satu terhadap yang lain, dan
ditentukan pula fungsi masing-masing dalam kehidupan keluarga.[5] Berikut
diantaranya upaya membangun keluarga sakinah:[6]
1.
Memilih suami atau istri dengan kriteria
yang tepat
Dalam memilih pasangan kriteria yang tepat sangatla penting, misalnya beragama Islam, shaleh atau shalehah, berasal dari keturunan baik-baik, berakhlak mulia dsb.
Dalam memilih pasangan kriteria yang tepat sangatla penting, misalnya beragama Islam, shaleh atau shalehah, berasal dari keturunan baik-baik, berakhlak mulia dsb.
2.
Memenuhi syarat utama dalam keluarga
yaitu ‘mawaddah’ (cinta yang membara dan menggebu) dan ‘rahmah’ (Kasih sayang
yang lembut, siap berkorban dan melindungi kepada yang dikasihi)
3.
Saling mengerti atau memahami antara
suami dan istri
Saling mengerti dan memahami serta menghindari aksi egoisme sangat penting dalam membina sebuah keluarga.
Saling mengerti dan memahami serta menghindari aksi egoisme sangat penting dalam membina sebuah keluarga.
4.
Saling menerima kelebihan serta
kekurangan masing-masing
Anda tentu tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan pasangan Anda. Ketika Anda dan pasangan telah berkomitmen untuk membangun hubungan maka Anda dan pasangan harus siap menerima kelebihan dan kekrangan masing-masing.
Anda tentu tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan pasangan Anda. Ketika Anda dan pasangan telah berkomitmen untuk membangun hubungan maka Anda dan pasangan harus siap menerima kelebihan dan kekrangan masing-masing.
5.
Saling menghargai satu sama lain,
penghargaan terhadap pasangan adalah hal yang penting, karena setiap manusia
itu pasti memiliki kelebihan.
6.
Saling mempercayai antara suami dan
istri, kepercayaan merupakan salah satu faktor yang memberikan ketenangan
terhadap satu sama lain.
7.
Mengerti dan dengan sukarela menjalankan
kewajiban masing-masing.
8.
Hubungan harus didasar perasaan saling
membutuhkan. Tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
C. Reinterpretasi hadist membangun
keluarga sakinah
Berikut ini disampaikan interpretasi beberapa hadis
terkait dengan upaya untuk membangun keluarga sakinah:
1. Kriteria Calon Pasangan Hidup
Menjadi
naluri setiap manusia mencintai keindahan, karena Allah indah dan Dia mencintai
setiap yang indah. Namun demikian dalam masalah perjodohan keindahan wajah
tidak seharusnya menjadi prioritas utama di dalam menentukan calon pasangan
hidup karena keindahan yang satu ini tidak abadi dan akan sirna bersama
berlalunya waktu. Sementara pernikahhan seharusnya memiliki dua tujuan. Yaitu
tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari
sebuah pernikahan adalah kesejahteraan dan kebahagiaan dunia, dan tujuan jangka
panjangnya adalah kebahagiaan abadi setelah mati. Karena itu sangatlah tepat
jika Nabi menganjurkan agar agama menjadi prioritas utama di dalam menentukan
pilihan calon pasangan. Nabi pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya perhiasan
dunia adalah wanita shaleh, dan kesalehan adalah menyangkut faktor keberagaman
seseorang. Akan tetapi jika keempatnya itu ada dalam diri seseorang maka
barangkali itulah surga dunia.
Nabi
bersabda:[7]
Dari Abu Hurairah r.a. Perempuan itu dinikahi karena
empat hal: Karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, karena
agamanya, maka pilihlah karena agamanya niscaya engkau selamat.
Melalui
sabdanya di atas Nabi menganjurkan agar di dalam memilih calon pasangan hidup
seseorang mengutamakan masalah agama, karena jika tidak maka harta, nasab dan
kecantikan yang tidak dimanage dan dikelola dengan agama yang benar justru akan
mendatangkan malapetaka bagi keutuhan rumah tangga. Jika dasar pilihan hanya
terpusat kepada fisiknya, tentulah setiap suami sadar bahwa suatu saat keadaan
fisik isteri akan mengalami perubahan dan kesiapan mental pun telah disiapkan dengan
baik. Dasar pilihan yang paling tepat adalah karena keutamaan agama dan
akhlaknya yang menyatu dalam suatu kepribadian yang utuh dan teguh dalam
kemudian budi pekertinya. Titik-titik persamaan dalam bidang inilah (agama,
akhlak, dan kepribadian) pada umumnya menjadi dasar kebagaiaan hidup yang ingin
dicapai.[8]
Ketentuan
kriteria yang berlaku dalam memilih calon istri pada umumnya juga berlaku dalam
upaya memilih calon suami. Seorang calon suami harus bertaqwa, karena ini
adalah kunci utama dalam mengemban tanggung jawab yang berat tersebut.[9]
Menikah
berarti menyatukan dua hati manusia yang memiliki karakternya masing-masing,
yang belum tentu satu sama lain sejalan dan seirama, oleh karena itu persiapan
dan kematangan jiwa perlu menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang mau
melaksanakannya. Toleransi, kesetiaan, kesediaan untuk mengerti dan memahami
pasangannya seperti adanya, serta kesediaan untuk berkorban terhadap
pasangannya, semuanya menjadi prasarat bagi terwujudnya kehidupan yang sakinah
mawadah dan penuh rahmah.
2. Penghambaan Istri Kepada Suami
Digambarkan
oleh Al-Ghazali dengan besarnya kekuasaan suami atas istri, sehingga sang istri
diumpamakan sebagai hamba sahaya milik suami, tawanan yang lemah dan tak
berdaya. Dia wajib mentaati segala yang diinginkan suami dari dirinya.[10]
Berbagai pandangan yang menempatkan perempuan sebagai sosok makhluk tak berdaya
bahkan nyaris tak bereksistensi, bukan tidak berlandaskan pada dalil normatif
agama, tetapi bersandar pada beragam hadis yang keberadaannya perlu ditinjau
kembali secara lebih teliti.
Istri
memiliki kewajiban tunduk dan patuh terhadap perintah suami (selama bukan
perintah untuk bermaksiat).[11] Yang
dimaksud taat ialah tunduk dan patuh kepada suami. Perkataan taat biasanya
hanya digunakan kepada Allah. Hal tersebut menggambarkan bgiman seharusnya
sikap istri yang baik kepada suaminya. Allah SWT, menerangkan, istri harus
berlaku demikian karena suami itu telah memelihara istrinya dengan
sungguh-sungguh dalam kehidupan rumah tangganya.[12] Berikut
ini akan didiskripsikan dan dianalisis secara normatif maupun kontekstual hadis
yang dijadikan sebagai rujukan keberadaan perempuan yang mengindikasikan
keharusan istri tunduk atau bahkan sering dipahami sebagai menghamba kepada
sang suami.
‘Amr bin “Aun mennceritakan kepada kami, telah
memberitakan kepada kami, Ishaq bin Yusuf, dari Syarik, dari Husain, dari
as-Syaby, dari Qais bin Sa’d dia berkata: Ketika aku singgah di Hirah aku
melihat para penduduknya sujud kepada panglima mereka. Maka aku
berkata”Rasulullah adalah orang yang paling berhak untuk diberi sujud”.
Kemudian Qais menemui Nabi SAW dan berkata, ”Aku singgah di Hirar dan aku
melihat para penduduknya sujud kepada panglima mereka. Wahai Rasulullah
sesungguhnya engkaulah orang yang paling berhak untuk diberikan sujud”. Jawab
Nabi, “Bagaimana pendapatmu andaikata engkau melewati kuburku, akankah kau
bersujud pada kuburan itu?” Aku Jawab,
“Tidak!” Nabi bersabda lagi, “Maka janganlah engkau sekalipun melakukan hal
itu. Sekiranya aku yang memerintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain,
tentu akan kuperintahkan perempuan untuj bersujud pada suaminya karena hak
ssuami yang telah Allah tetapkan terhadap mereka.
Mahmud bin Gailan menceritakan kepada kami, telah
menceritakan kepada kami an-Nadr bin Syumail, dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW beliau berkata, “Andaikata aku yang
memerintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain, niscaya akan
kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya.” Dan dalam satu bab dari
Mu’ad bin Jabal dan Saraqah, dari Malik bin Ju’syum dan ‘Aisyah, Ibn Abbas,
Abdullah bin Abi Auta, Talq bin ‘Ali, Ummu Salamah, Anas dan Ibn Abbas, ‘Umar,
Abu Isa berkata bahwa hadis Abu Hurairah adalah hasan garib, dari jalur hadis
Muhammad bin ‘Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah.
Abu Bakar bin Abi Syaibah menceritakan kepada
kami, beliau mendengar dari Hammad bin
Salamah dari ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dan Sa’id bin Musayyab dari ‘Aisyah bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Andaikan kuperintahkan seseorang untuk bersujud pada
yang lain, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. Dan
seandainya seorang laki-laki memerintahkan istrinya agar memindahkan sesuatu
dari jabal Ahmar ke Jabal Aswad lalu dari Jabal Aswad ke Jabal Ahmar maka istri
harus melakukannya.”
Azhar bin Marwan menceritakan kepada kami, dia
mendengar dari Hammad bin Zaid darii Ayyub dan al-Qasim as-Syaibaniy dari
‘Abdillah bin Abi Aufa, dia berkata, “Ketika Mu’az tiba dari Syam dia bersujud
pada Nabi SAW. Nabi bersabda, “Ada apa ini wahai Mu’az?” Mu’az menjawab, “Aku
telah tiba di Syam dan kulihat pendudukanya bersujud pada para pimpinan dan
pembesar mereka, maka aku pun berkekilnginan untuk melakukan sujud padamu wahai
Nabi:” Rasulullah bersabda, “Jangan lakukan hal itu, sesungguhnya seandaianya
aku orang yang memerintahkan seseorang untuk bersujud pada selain Allah
pastilah kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. Dan demi Dzat
yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang perempuan menunaikan
hak Tuhannya sebelum dia menunaikan hak suaminya. Dan andai suami meminta
jiwanya dia pun tidak menolaknya.”
Hadist
tersebut muncul dilatarbelakangi satu peristiwa ketika seorang sahabat
menyaksikan suatu kelompok masyarakat menyembah/ bersujud pada kelompok yang
lain. Sahabat berfikir bahwa Rasulullah lah mnausia yang lebih berhak untuk
diberikan sujud, sehingga sang sahabat menemui Rasul dan mempertanyakan apakah
diperbolehkan untuk menyembahnya. Rasul memberikan analog dengan bertanya balik
apakah sahabat akan menyembah kuburan Rasul jika melewatinya.[17]
Hadis
ini relatif populer di kalangan masyarakat dan sering menjadi rujukan bagi
legalitas di dalam buku-buku terbaru akhir-akhir ini. Hadis ini sering
menimbulkan dan menjadi sumber kesalahpahaman. Kata “andaikata” dan
“seandainya” dalam hadits di atas merupakan kata pengandaian yang tentu tidak
riel, karena dalam realitasnya Nabi tidak pernah diperintahkan untuk menyuruh
manusia sujud kepada manusia, karena manusia hanya berkewajiban untuk sujud
kepada Allah, Tuhan semesta alam.[18] Karena
itu, hadits tersebut tidak perlu diperdebatkan karena hanaya sebuah
pengandaian. Hanya saja hadits tersebut mengandung pesan sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa perempuan/ istri memiliki kewajiban-kewajiban terhadap
suami yang harus ditunaikan, selagi suami juga memenuhi kewajibannya terhadap
istri dan suami berada di jalan yang benar. Apapun yang diperitahkan oleh suami
wajib ditaati sepenuhnya selama perintah itu tidak bertentangan dengan Islam.[19]
3. Kewajiban Pemberian Nafkah
Sebagai
suatu organisasi terkecil dalam masyarakat, keluarga harus digerakkan dengan
kecukupan dalam aspek ekonomi. Aspek ekonomi penting dipertimbangan salam
membangun keluarga, sebab kelestarian keluarga juga dipengaruhi oleh aspek
ekonomi. Dalam tradisi masyarakat faktor ekonomi bagi masing-masing calon,
terutama kaum pria sebagai kepala rumah tangga merupakan kriteria yang tidak
dapat diabaikan. [20]
Sepasang
suami istri keduannnya saling memiliki hak dan kewajiban yang harus diterima
dan ditunaikan. Suami memiliki kewajiban memberi nafkah serta mempergauli istri
secara ma’ruf.[21]
Nafkah yang diberikan bisa berupa roti, lauk pauk, pakaian dan jenis-jenis
barang tertentu. Nafkah juga bisa diberikan berupa nilai harganya dalam bentuk
uang agar digunakan istri membeli segala kebutuhan yang diperlukan. Nafkah bisa
diberikan secara tahunan, bulanan, mingguan atau harian berfdasarkan
kesanggupan suami.[22] AL-Hafizh
berkata, “Sudah disebutkan sebelumnya hadits Ibnu Umar (Kitab Nikah, bab. 3),
aku telah mendengar Rasulullah bersabda,[23]
“Setiap
kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap siapa yang dipimpinnya.
Seorang penguasa itu pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang
suami itu pemimmpin di keluarga dan bertanggung jawab terhadap siapa yang
dipimpinnya, perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan
bertanggung jawab apa yang dipimpinnya, pembantu itu adalah pemimpin pada harta
benda majikannya dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya, dan
masing-masing kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap siapa yang
dipimpin.”
Reinterpretasi
Makna Hadis
a. Asbab
al_Wurud al-Hadis
Sebagaimana
suatu kebiasaan ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, banyak sahabat yang
bertanya. Hal ini disebabkan oleh sosok Rasulullah saw. sebagai panutan atau
teladan bagi umat Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika beliau di masyarakat
menjadi tempat bertanya berbagai persoalan kehidupan.
Salah
satu hal yang menarik untuk ditanyakan oleh sahabat adalah masalah nafkah. Hal
ini yang menjadikan sebab turunnya hadis tentang nafkah. Hadis di atas
menunjukkan adanya hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga. Suami
berkewajiban memberi nafkah yang ma’ruf kepada istrinya.[24]
Hadis tentang hal tersebut redaksinya bermacam-macam namun intinya sama yakni
pergaulan yang baik antara suami dan istri dalam rumah tangga.
b. Syarah Hadis
Nafkah
merupakan suatu bentuk pemberian atau derma seseorang atas orang lain dengan
tujuan yang baik. Memberikan nafkah merupakan sebuah kebajikan. Oleh karenanya,
yang dinafkahkan itu disarankan sesuatu yang baik atau yang lebih disukainya.[25]
Di dalam Al-Qur’an, memberikan penjelasan tentang nafkah, dan tidak hanya
berhubungan suami atas istrinya saja, tapi juga menjelaskan tentang hubungan
kekerabatan seperti orang tua, anak, dan orang lain seperti anak yatim.
Hadis
tentang nafkah, menjelasakan kebutuhan minimal seorang istri atas tanggung
jawab suaminya. Kebutuhan tersebut antara lain: pakaian, makanan, dan perbuatan
yang baik dengan tanpa memukul wajah serta menjelekkannya. Nafkah tersebut
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing suami, dan istri tidak boleh
menuntut lebih dari apa yang dapat diberikan suami.
Nafkah
adalah pemberian suami atas istri. Ia adalah hak istri dan merupakan kewajiban
suami atas istrinya. perkawinan merupakan salah satu sebab adanya nafkah dalam
kehidupanrumah tangga. Kewajiban tersebut tetap melekat pada suami walaupun
istri mempunyai gaji sendiri sebagai upah bekerja di luar rumah. Apalagi, jika
istri hanya menjalankan peran domestiknya. Walaupun istri sudah kaya, menurut
Sayyid Sabiq, istri tetapi berhak mendapat nafkah dari suaminya.[26] Dan
merupakan hak istri untuk meminta nafkah kepada suaminya. Kebutuhan yang paling
tidak harus dipenuhi suami atas istrinya adalah masalah makanan agar tidak
kelaparan dan pakaian.
Apabila
istri bekerja, maka hasil yang disapatkan merupakan hak istri, kecuali jika
terjadi kesepakatan di antara mereka berdua. Tidak seorangpun dapat memintanya
walaupun itu suaminya sendiri, ayah kandung, dan bahkan anaknya.[27]
Kewajiban memberi nafkah tersebut tetap melekat pada suami sampai kapanpun
walaupun istri sedang menjalankan ‘iddah baik
disebabkan oleh cerai hidup maupun mati. Bahkan, kedati istri sedang nusyuz, suami wajib memberi nafkah.[28]
Hal tersebut sebagai tanggung jawab suami atas keluarganya dengan asumsi agar
segala persoalan dalam rumah tangga dapat terselesaikan dengan baik. Ini
merupakan garansi moral (damanah
ma’nawiyyah) suami atas istrinya.
Dalam
konteks sekarang, misalnya dalam kasus suami tidak bekerja akibat diberhentikan
dari pekerjaan mereka atau sebab lain yang menghalanginya untuk mencari nafkah
di luar rumah maka peran itu boleh diambil alih oleh wanita. Apalagi untuk
konteks zaman sekarang, dimana tuntutan ekonomi dan biaya hidup yang tinggi
menuntut wanita zaman sekarang harus memiliki skill untuk bekal mencari nafkah
mendampingi suami. Namun, bagaimanamu Islam tetap memberi landasan yang adil
bagi para istri dan suami. Tanggung jawab dan hak yang dibebankan dan diterima
kepada dan oleh suami istri harus berazaskan mawaddah dan rahmah.[29]
c. Istri Dilarang Bermuka Asam Didepan
Suami
Beberapa
teks hadis dengan makna yang sama, teks pertama yang terdapat dalam kitab al-Ahadisu al-Mukhtarah, karena Abu ‘Abdillah
bin Ahmad al-Hanbafi (567-643 H.), tertulis:[30]
Dari
Mua’wiyah bin Qurrah dari ‘Abdillah bin Salam, bahwa Rasulullah bersabda,
sebaik-baik perempuan adalah yang menyenangkan kalu melihatnya, mematuhimu
kalau kamau suruh, dan menjaha harkat martabat dirinya dan kekayaan suaminya
ketika di belakang suaminya (suami tidak ada/hadir)
Teks
kedua dalam kitab al-Sunan al-Kubra, karya
Ahmad bin Su’aib al-Nasa i (215-303 H.), berbunyi:[31]
Dari Abu Hurairah, berkata/bercerita, Rasulullah
ditanya tentang kriteria perempuan yang paling baik. Jawab Rasulullah,
perempuan yang mematuhi kalau disuruh, menyenangkan kalau dilihat, dan ,emjaga
martabat dirinya dan harta suaminya.
Teks
ketiga diambil dari kitab Subul al-Salam, karangan Muhammad bin Isma’il
al-San’ani al-Amir (773-852H) adalah:[32]
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: ditanya, wahai
Rasulullah! Perempuan mana yang paling baik? Jawab Rasulullah, perempuan yang
menyenangkan apabila dilihat suaminya, dan tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan keinginan suami, baik yang berhubungan dengan diri istri
maupun kekayaan suami.
Masih teks lain dituliskan dari
kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Sahahaini,
karangan Muhammad bin ‘Abdillah al-Naisa buri (321-405 H.), adalah:[33]
Dari Abu
Hurairah r.a. berkata: Nabi ditanya, perempuan mana yang terbaik, jawab Nabi, perempuan
terbaik adalah perempuan yang menyenangkan apabila dipandang, patuh kalau
disuruh, dan tidak mau melawan keinginan suami, baik yang berhubungan dengan
dirinya sendiri maupun harta istri.
Menurut teori kontekstualisasi
pemahaman hadis yang ditawarkan Fazlur Rahman, bahwa untuk menemukan substansi
ajaran yang ada dalam hadis tertentu dilakukan dengan cara memahami konteks
yang melatarbelakanginya. Konteks di sini ada dua, pertama, konteks mikro berupa sebab munculnya hadis (asbab al-wurud), dan kedua, konteks makro berupa sejarah
masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, baik pra-Islam maupun di masa pewahyuan.[34]
Hadis tentang muka masam ini
sesungguhnya hanya jawaban terhadap satu kasus tertentu, yang boleh jadi istrinya cemberut terus menerus di
depan suaminya. Kemudian suaminya mengadu, dan dijawablah oleh Rasul dengan hadis
ini. Sama kira-kira dengan sejumlah kasus lain, yang kalau kasus-kasus tersebut
tidak dipahami konteksnya dan tidak secara integral, akan menghilangkan
substansi/ spirit ajarannya. Dengan demikian, istri dianjurkan untuk senantiasa menyenangkan
suami, pada prinsipnya sama dengan anjuran agar suami juga senantiasa menyenangkan
istri.
D.
Peran Wanita Karier dalam Membentuk
Keluarga Sakinah
Apabila kita melihat pada masa permulaan Islam
berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam pekerjaan, maka tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan kaum wanita
berkreatifitas atau bekerja di luar rumah dalam berbagai bidang, baik
secara mandiri atau bersama orang lain. Islam memberikan hak kepada
wanita untuk memegang suatu pekerjaan dan melibatkan dirinya secara
aktif dalam perdagangan dan perniagaan. Ia berhak bekerja di luar rumahnya
dan memperoleh penghidupan. Selama masa awal Islam wanita sering
membantu pekerjaan luar pria dan diperkenankan bergerak secara bebas di
antara pria. Adalah Asmah, puteri khalifah pertama Abu Bakar, ia biasa
membantu suaminya dalam pekerjaan lapangannya seperti memberikan makanan
kuda, mengambilkan air, mengambil buah-buahan dari ladangnya dan
sebagainya. Bahkan pada masa ini pula wanita telah memegang pos-pos
formal kewenangan di masyarakat seperti al-Syafa` binti Abdullah yang
berkali-kali ditunjuk oleh khalifah Abu Bakar sebagai pengawas pasar di
Madinah. 7
Banyak hadits-hadits Nabi saw yang menjelaskan
tentang aktifitas kaum wanita pada masa kenabian, seperti bidang
kerajinan tangan dan tekstil. Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari
Sakal bin Sa`ad ra, bahwa pernah datang seorang sahabat wanita menemui
Nabi saw sambil membawa oleh-oleh berupa kain tenun, seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
telah menenun kain ini dengan tanganku sendiri. Untuk itu
perkenankanlah aku memberikannya pada baginda.”
Lalu Nabi saw menerimanya dan tidak lama
kemudian beliau didapati memakai kain tersebut untuk sarung
beliau. (HR.
Bukhari)
Demikian pula pekerjaan-pekerjaan lain seperti di
bidang penyamakan kulit, kerajinan membuat manik-manik dan sebagainya.
Semua itu dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, baik digunakan
untuk kebutuhan hidupnya. Nabi juga memuji wanita yang bekerja keras dan
mendorong kepada para wanita termasuk istri dan puterinya untuk menyibukkan
dirinya dalam pekerjaan yang baik dan menguntungkan. Beliau bersabda: “Penghasilan
yang paling utama adalah yang diperoleh seseorang dari kerjanya sendiri.”[35]
Dari berbagai riwayat di atas menunjukkan bahwa
wanita bekerja di luar rumah tidaklah dilarang oleh Islam, bahkan merupakan
suatu keharusan apabila hal itu dilakukan karena harus memenuhi kebutuhan
keluarganya sementara tidak ada orang lain yang menanggungnya. Kita sebagai
seorang muslim sudah selayaknya, bahkan sebagai suatu keharusan menempatkan
masalah pekerjaan wanita dalam konteks syar`i, yang bersumber dari Alquran dan
hadits dan menjadikannya sebagai pedoman dan sandaran dalam melakukan setiuap
aktifitasnya. Melalui penelaahan teks-teks syar`i semakin jelas bahwa wanita
karier atau wanita yang bekerja di luar rumah adalah suatu hal yang tidak perlu
dipermasalahkan lagi, selama hal itu dilakukan sesuai dengan fungsi, kodrat dan
fitrah kewanitaannya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan
mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau
selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut, serta pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan serta dapat pula menghindari
dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.[36]
Senada dengan pernyataan di atas, Zakiyah Darajad menjelaskan bahwa dalam
lapangan kerja yang cocok dengan kodratnya, wanita juga dituntut untuk aktif
bekerja. Banyak lapangan pekerjaan yang cocok dengan wanita, hanya saja harus
selalu ingat dengan kodrat kewanitaan yang melekat pada dirinya.[37]
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Islam tidak ada halangan bagi seorang
wanita untuk berkarier selama dalam kariernya selalu memperhatikan nilai etis,
akhlak karimah dan tidak melupakan kodrat kewanitaannya baik kodrat fisik
maupun psikis.
Kehidupan keluarga yang sakinah adalah
dambaan dan merupakan tujuan hidup bagi setiap orang yang berkeluarga
dan sekaligus merupakan bukti kekuasaan dan keagungan Allah. Allah
berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.” (Q.S. al-Rum: 21) 217
Keluarga sakinah erat kaitannya dengan kondisi
keluarga yang tenang, tidak ada
gejolak, tenteram, bahagia, dan harmonis. Sebuah keluarga dikatakan sakinah apabila suasana di
dalam keluarga tersebut penuh dengan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, serta terpeliharanya ketaatan dan
kepatuhan di antara sesama
anggota keluarga untuk saling menjaga keutuhan dan kesatuan sehingga terbina rasa cinta dan kasih
sayang di dalam keluarga demi memperoleh
keridhoan Allah Swt.
Dalam membentuk sebuah keluarga sakinah, istri yang
sekaligus sebagai wanita karier
pertama-tama dituntut untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati. Ia dituntut untuk memiliki
sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap suaminya. Tentunya ketaatan dalam arti yang bersifat positif.
Seorang istri harus merasa bahwa
dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya. Dalam Islam tidak ada halangan wanita
berkarier, selama hal itu dilakukan dengan cara-cara baik, terhormat, maupun
menghindarkan diri dari dampak-dampak negatif, serta tidak melupakan kodrat
kewanitaannya. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang wanita karier dalam
rangka ikut membantu terciptanya sebuah keluarga sakinah. Sebagai seorang istri
hendaknya mendapat izin dari suaminya, berniat baik dalam pekerjaannya
semata-mata untuk mengabdikan diri kepada keluarga. Sebagai seorang ibu, wanita
karier tetap dituntut untuk mendidik dan memperhatikan anak-anaknya, sebab ibu
memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk pribadi anak.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan demikian, keluarga sakinah ialah kondisi
sebuah keluarga yang sangat ideal yang terbentuk berlandaskan Al-Quran dan
Sunnah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebendaan bukanlah
sebagai ukuran untuk membentuk keluarga bahagia sebagaimana yang telah
dinyatakan oleh negara Barat.
Mewujudkan keluarga
sakinah menurut ajaran Islam dimulai dengan memberi pedoman pemilihan jodoh
yang tepat, dengan unsur utamanya beragama kuat dan berakhlak luhur. Setelah
perkawinan belangsung, suami harus tahu benar kewajiban-kewajiban yang satu
terhadap yang lain, dan ditentukan pula fungsi masing-masing dalam kehidupan
keluarga.
Dari beberapa paparan hadis membangun keluarga sakinah,
untuk memahami suatu hadis dilakukan secara tekstual atau kontekstual. Hadis
harus dipahami secara tekstual manakala setelah dibaca dengan memperhatikan
latar belakang kemunculannya tetap menuntut untuk dipahami sebagaimana yang
tertulis dalam teks hadis. Sebaliknya manakala dalam satu hadis dijumpai
petunjuk kuat yang mengharuskan hadis itu dipahami tidak sebagaimana makna
harfiah yang tersurat maka pemahaman kontekstual lah yang digunakan. Karena
hadis-hadis yang disabdakan beliau tentunya lahir mengikuti situasi dan kondisi
yang berbeda-beda.
Dalam membentuk sebuah keluarga sakinah, banyak hal yang
bisa dilakukan oleh seorang wanita karier dalam rangka ikut membantu
terciptanya sebuah keluarga sakinah. Sebagai seorang istri hendaknya mendapat
izin dari suaminya, berniat baik dalam pekerjaannya semata-mata untuk
mengabdikan diri kepada keluarga. Sebagai seorang ibu, wanita karier tetap
dituntut untuk mendidik dan memperhatikan anak-anaknya, sebab ibu memiliki
peran yang sangat besar dalam membentuk pribadi anak.
DAFTAR
PUTAKA
Abu
‘Abd Allah Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, Jilid 3.
Abu bakar
Muhammad, Hadits Tarbiyah, Surabaya:
Al-Ikhlas, 1995.
Ahmad Azhar
Basyir, Keluarga Sakinah Keluarga
Surgawi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2008.
Dedi
Junaedi, Bimbingan Perkawinan; Membina Keluarga Sakinah Menurut
Al-Qur’an dan al-Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo,
2003.
Juwariyah, Hadis Tarbawi, Yogyakarta: Teras, 2010.
H. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993.
Hamin Ilyas,
dkk, Perempuan Tertindas? Kajian
Hadis-Hadis “Misoginis”, Yogyakarta: eLSAQ Prees, 2003.
Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan
Agama, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1995.
M. Abdul-Rauf, The Islamic View., 69.
M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi, dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
Sulaiman
Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnnah, Jakarta:
Aqwam, 2013.
Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhhib, Jakarta:
PUSTAKA SAHIFA, 2008.
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam
(Studi Terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di
Kota Padang), Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011.
Zakiah Darajat, Islam dan Pearanan Wanita, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/03/keluarga-sakinah-mawaddah-wa-rahmah-415568.html, diakses pada
tanggal 6 Januari 2015, pukul 8.50 WIB.
http://hijapedia.com/bagaimanakah-cara-membangun-keluarga-sakinah-menurut-islam/, diakses pada
tanggal 6 Desember 2014, pukul 9.28 WIB.
[1] Dedi Junaedi, Bimbingan
Perkawinan; Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah. (Jakarta: Akademika Pressindo, 2003), hal. 6 dengan
merujuk kepada QS. Al-Nisa ayat 21.
[2] Abu ‘Abd Allah Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1995), Jilid 3, hal. 252
[3] http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/03/keluarga-sakinah-mawaddah-wa-rahmah-415568.html, diakses
pada tanggal 6 Januari 2015, pukul 8.50 WIB.
[4] Juwariyah,
Hadis Tarbawi, (Yogyakarta: Teras,
2010), hlm. 129.
[5] Ahmad
Azhar Basyir, Keluarga Sakinah Keluarga
Surgawi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2008), hlm. 12.
[6] http://hijapedia.com/bagaimanakah-cara-membangun-keluarga-sakinah-menurut-islam/, diakses
pada tanggal 6 Desember 2014, pukul 9.28 WIB.
[7] Juwariyah,
Hadis,... hlm. 132.
[8] Hasan
Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan
Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1995, hlm. 116.
[9] Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam
(Studi Terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di
Kota Padang), (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 76.
[10] Hamim
Ilyas, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis
“Misohinis”, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 97.
[11] Juwariyah,
Hadis,... hlm. 135.
[12] H.
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang:
Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 99.
[13] Hamim
Ilyas, Perempuan,... hlm. 98.
[14] Ibid., hlm. 99.
[15] Ibid., hlm. 98.
[16] Ibid., hlm. 100.
[17] Ibid., hlm. 117.
[18] Juwariyah,
Hadis,... hlm. 136.
[19] Hamim
Ilyas, Perempuan,... hlm. 117.
[20]
Ulfatmi, Keluarga,... hlm. 102.
[21]
Juwariyah, Hadis,... hlm. 134.
[22] Sulaiman
Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnnah, (Jakarta:
Aqwam, 2013), hlm. 508.
[23] Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih
At-Targhib Wa At-Targhib, (Jakarta: PUSTAKA SAHIFA, 2008), hlm. 200.
[24] Hamim
Ilyas, Perempuan,... hlm. 138.
[25] Ibid., hlm. 139.
[26] Ibid., hlm. 140.
[27] Ibid., hlm. 140.
[28] Ibid., hlm. 140.
[29] Ulfatmi, Keluarga,... hlm. 93.
[30] Hamim
Ilyas, Perempuan,... hlm. 172.
[31] Ibid., hlm. 173.
[32] Ibid., hlm. 173.
[33] Ibid., hlm. 174.
[34] Ibid., hlm. 182.
[35] M.
Abdul-Rauf, The Islamic View., 69.
[36] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi, dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 275.
[37] Zakiah
Darajat, Islam dan Pearanan Wanita, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), hlm. 22-23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar