Rabu, 21 Januari 2015

REINTERPRETASI TERHADAP HADIS-HADIS MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH

REINTERPRETASI TERHADAP HADIS-HADIS MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Studi Al-Hadis: Teori dan Metodologi



Dosen Pengampu: Dr. Nurun Najwah, M. Ag






Oleh:

Tri Pariyatun, S.Pd.I
1420411160
PAI-D (Mandiri)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia, tidak menggariskan secara rinci berbagai aturan di dalam sebuah institisi keluarga. Kebanyakan norma yang dimuat dalam Al-Qur’an bersifat fundamental, universal, dan garis besarnya saja, meskipun terdapat pula ayat-ayat yang bersifat kontekstual historis. Aturan-aturan secara rinci tertuang dalam hadis.
Kajian terhadap hadis Nabi sebagai sumber dan rujukan ajaran Islam sangat diperlukan untuk dapat mengambil pelajaran dan keteladanan dari setiap yang disampaikan Nabi melalui perbuatan, sabda, dan ketetapan. Berbeda dengan Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah, maka hadis adalah perkataan Muhammad Rasul Allah yang di antara fungsinya adalah untuk menjelaskan kalam Allah yang masih bersifat global, serta untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang secara eksplisit belum tersurat dalam AL-Qur’an.
Islam sebagai agama yang memberikan perhatian besar pada pentingnya institusi keluarga, secara normatif memberikan seperangkat aturan-aturan yang komprehensif, yang berkaitan dengan bagaimana membangun keluarga sakinah. Makalah ini akan mencoba menjelaskan pemahaman ulang terhadap hadis-hadis “membangun keluarga sakinah” dalam keyakinan umat Islam. Salah satu cara yang dipilih adalah melakukan reinterpretasi terhadap makna hadis-hadis dalam membangun keluarga sakinah, yang hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat luas.
B.     Rumusan Masalah
Dari paparan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai sebagai berikut:
1.      Apa hakikat keluarga sakinah?
2.      Apa upaya membangun keluarga sakinah?
3.      Bagaimana reinterpretasi terhadap hadis-hadis membangun keluarga sakinah?
4.      Bagimana peran wanita karier dalam membangun keluarga sakinah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Keluarga Sakinah
            Keluarga dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan sebagai sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu-bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Sedangkan kekeluargaan yang berasal dari kata “keluarga” dengan memperoleh awalan “ke” dan akhiran “an” berarti perihal yang bersifat atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan (hal) yang berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga.[1] Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal satu atap dalam keadaan salin ketergantungan.[2]
            Setiap kali kita berbicara tentang keluarga bahagia, selalu mengkaitkan dengan istilah sakinah, mawadah, wa rahmah. Tiga kata yang acap diringkas dengan sebutan Keluarga Sakinah. Sebagaimana diketahui, kata sakinah, mawadah dan rahmah itu diambil dari firman Tuhan:
            Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri (pasangan) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawadah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar Rum : 21).

            Kata sakinah berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, kata sakinah mengandung makna tenang, tenteram, damai, terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan penghargaan. Kata sakinah juga sudah diserap menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sakinah bermakna kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan.[3] Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga.
          Keluarga sakinah juga sering disebut sebagai keluarga yang bahagia. Menurut pandangan Barat, keluarga bahagia atau keluarga sejahtera ialah keluarga yang memiliki dan menikmati segala kemewahan material. Anggota-anggota keluarga tersebut memiliki kesehatan yang baik yang memungkinkan mereka menikmati limpahan kekayaan material. Bagi mencapai tujuan ini, seluruh perhatian, tenaga dan waktu ditumpukan kepada usaha merealisasikan kecapaian kemewahan kebendaan yang dianggap sebagai perkara pokok dan prasyarat kepada kesejahteraan (Dr. Hasan Hj. Mohd Ali, 1993 : 15).
          Pandangan yang dinyatakan oleh Barat jauh berbeda dengan konsep keluarga bahagia atau keluarga sakinah yang diterapkan oleh Islam. Menurut Dr. Hasan Hj. Mohd Ali (1993: 18 – 19) asas kepada kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga di dalam Islam terletak kepada ketaqwaan kepada Allah SWT. Keluarga bahagia adalah keluarga yang mendapat keredhaan Allah SWT. Allah SWT redha kepada mereka dan mereka redha kepada Allah SWT. Firman Allah SWT: “Allah redha kepada mereka dan mereka redha kepada- Nya, yang demikian itu, bagi orang yang takut kepada-Nya”. (Surah Al-Baiyyinah : 8).
          Menurut Paizah Ismail (2003 : 147), keluarga bahagia ialah suatu kelompok sosial yang terdiri dari suami istri, ibu bapak, anak pinak, cucu cicit, sanak saudara yang sama-sama dapat merasa senang terhadap satu sama lain dan terhadap hidup sendiri dengan gembira, mempunyai objektif  hidup baik secara individu atau secara bersama, optimistik dan mempunyai keyakinan terhadap sesama sendiri.
          Dengan demikian, keluarga sakinah ialah kondisi sebuah keluarga yang sangat ideal yang terbentuk berlandaskan Al-Quran dan Sunnah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebendaan bukanlah sebagai ukuran untuk membentuk keluarga bahagia sebagaimana yang telah dinyatakan oleh negara Barat.
B.     Upaya membangun keluarga sakinah
Pernikahan merupakan suatu ikatan perjanjian antara dua insan laki-laki dan perempuan dengan syarat-syarat: adanya ijab kabul, dua saksi, mahar, dan wali nikah.[4] Menikah merupakan perintah agama dan Sunnah Rasul yang patut untuk dipatuhi dan diteladani, karena sangat banyak hikmah dan manfaat yang dapat dipetik dari sebuah pernikahan. Jika pernikahan dilaksanakan atas dasar mengikuti perintah agama dan mengikuti sunnah Rasul maka sakinah, mawadah, dan rahmah yang telah Allah ciptakan untuk manusia dapat dinikmati oleh sepasang suami istri.
Mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam dimulai dengan memberi pedoman pemilihan jodoh yang tepat, dengan unsur utamanya beragama kuat dan berakhlak luhur. Setelah perkawinan belangsung, suami harus tahu benar kewajiban-kewajiban yang satu terhadap yang lain, dan ditentukan pula fungsi masing-masing dalam kehidupan keluarga.[5] Berikut diantaranya upaya membangun keluarga sakinah:[6]
1.      Memilih suami atau istri dengan kriteria yang tepat
Dalam memilih pasangan kriteria yang tepat sangatla penting, misalnya beragama Islam, shaleh atau shalehah, berasal dari keturunan baik-baik, berakhlak mulia dsb.
2.      Memenuhi syarat utama dalam keluarga yaitu ‘mawaddah’ (cinta yang membara dan menggebu) dan ‘rahmah’ (Kasih sayang yang lembut, siap berkorban dan melindungi kepada yang dikasihi)
3.      Saling mengerti atau memahami antara suami dan istri
Saling mengerti dan memahami serta menghindari aksi egoisme sangat penting dalam membina sebuah keluarga.
4.      Saling menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing
Anda tentu tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan pasangan Anda. Ketika Anda dan pasangan telah berkomitmen untuk membangun hubungan maka Anda dan pasangan harus siap menerima kelebihan dan kekrangan masing-masing.
5.      Saling menghargai satu sama lain, penghargaan terhadap pasangan adalah hal yang penting, karena setiap manusia itu pasti memiliki kelebihan.
6.      Saling mempercayai antara suami dan istri, kepercayaan merupakan salah satu faktor yang memberikan ketenangan terhadap satu sama lain.
7.      Mengerti dan dengan sukarela menjalankan kewajiban masing-masing.
8.      Hubungan harus didasar perasaan saling membutuhkan. Tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
C.    Reinterpretasi hadist membangun keluarga sakinah
            Berikut ini disampaikan interpretasi beberapa hadis terkait dengan upaya untuk membangun keluarga sakinah:
1.      Kriteria Calon Pasangan Hidup
Menjadi naluri setiap manusia mencintai keindahan, karena Allah indah dan Dia mencintai setiap yang indah. Namun demikian dalam masalah perjodohan keindahan wajah tidak seharusnya menjadi prioritas utama di dalam menentukan calon pasangan hidup karena keindahan yang satu ini tidak abadi dan akan sirna bersama berlalunya waktu. Sementara pernikahhan seharusnya memiliki dua tujuan. Yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari sebuah pernikahan adalah kesejahteraan dan kebahagiaan dunia, dan tujuan jangka panjangnya adalah kebahagiaan abadi setelah mati. Karena itu sangatlah tepat jika Nabi menganjurkan agar agama menjadi prioritas utama di dalam menentukan pilihan calon pasangan. Nabi pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita shaleh, dan kesalehan adalah menyangkut faktor keberagaman seseorang. Akan tetapi jika keempatnya itu ada dalam diri seseorang maka barangkali itulah surga dunia.
Nabi bersabda:[7]
Dari Abu Hurairah r.a. Perempuan itu dinikahi karena empat hal: Karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya niscaya engkau selamat.

Melalui sabdanya di atas Nabi menganjurkan agar di dalam memilih calon pasangan hidup seseorang mengutamakan masalah agama, karena jika tidak maka harta, nasab dan kecantikan yang tidak dimanage dan dikelola dengan agama yang benar justru akan mendatangkan malapetaka bagi keutuhan rumah tangga. Jika dasar pilihan hanya terpusat kepada fisiknya, tentulah setiap suami sadar bahwa suatu saat keadaan fisik isteri akan mengalami perubahan dan kesiapan mental pun telah disiapkan dengan baik. Dasar pilihan yang paling tepat adalah karena keutamaan agama dan akhlaknya yang menyatu dalam suatu kepribadian yang utuh dan teguh dalam kemudian budi pekertinya. Titik-titik persamaan dalam bidang inilah (agama, akhlak, dan kepribadian) pada umumnya menjadi dasar kebagaiaan hidup yang ingin dicapai.[8]
Ketentuan kriteria yang berlaku dalam memilih calon istri pada umumnya juga berlaku dalam upaya memilih calon suami. Seorang calon suami harus bertaqwa, karena ini adalah kunci utama dalam mengemban tanggung jawab yang berat tersebut.[9]
Menikah berarti menyatukan dua hati manusia yang memiliki karakternya masing-masing, yang belum tentu satu sama lain sejalan dan seirama, oleh karena itu persiapan dan kematangan jiwa perlu menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang mau melaksanakannya. Toleransi, kesetiaan, kesediaan untuk mengerti dan memahami pasangannya seperti adanya, serta kesediaan untuk berkorban terhadap pasangannya, semuanya menjadi prasarat bagi terwujudnya kehidupan yang sakinah mawadah dan penuh rahmah.
2.      Penghambaan Istri Kepada Suami
Digambarkan oleh Al-Ghazali dengan besarnya kekuasaan suami atas istri, sehingga sang istri diumpamakan sebagai hamba sahaya milik suami, tawanan yang lemah dan tak berdaya. Dia wajib mentaati segala yang diinginkan suami dari dirinya.[10] Berbagai pandangan yang menempatkan perempuan sebagai sosok makhluk tak berdaya bahkan nyaris tak bereksistensi, bukan tidak berlandaskan pada dalil normatif agama, tetapi bersandar pada beragam hadis yang keberadaannya perlu ditinjau kembali secara lebih teliti.
Istri memiliki kewajiban tunduk dan patuh terhadap perintah suami (selama bukan perintah untuk bermaksiat).[11] Yang dimaksud taat ialah tunduk dan patuh kepada suami. Perkataan taat biasanya hanya digunakan kepada Allah. Hal tersebut menggambarkan bgiman seharusnya sikap istri yang baik kepada suaminya. Allah SWT, menerangkan, istri harus berlaku demikian karena suami itu telah memelihara istrinya dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan rumah tangganya.[12] Berikut ini akan didiskripsikan dan dianalisis secara normatif maupun kontekstual hadis yang dijadikan sebagai rujukan keberadaan perempuan yang mengindikasikan keharusan istri tunduk atau bahkan sering dipahami sebagai menghamba kepada sang suami.
a.       Sunan Abu Dawud[13]
‘Amr bin “Aun mennceritakan kepada kami, telah memberitakan kepada kami, Ishaq bin Yusuf, dari Syarik, dari Husain, dari as-Syaby, dari Qais bin Sa’d dia berkata: Ketika aku singgah di Hirah aku melihat para penduduknya sujud kepada panglima mereka. Maka aku berkata”Rasulullah adalah orang yang paling berhak untuk diberi sujud”. Kemudian Qais menemui Nabi SAW dan berkata, ”Aku singgah di Hirar dan aku melihat para penduduknya sujud kepada panglima mereka. Wahai Rasulullah sesungguhnya engkaulah orang yang paling berhak untuk diberikan sujud”. Jawab Nabi, “Bagaimana pendapatmu andaikata engkau melewati kuburku, akankah kau bersujud pada kuburan  itu?” Aku Jawab, “Tidak!” Nabi bersabda lagi, “Maka janganlah engkau sekalipun melakukan hal itu. Sekiranya aku yang memerintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain, tentu akan kuperintahkan perempuan untuj bersujud pada suaminya karena hak ssuami yang telah Allah tetapkan terhadap mereka.
b.      Sunan Tumuzi[14]
Mahmud bin Gailan menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami an-Nadr bin Syumail, dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW beliau berkata, “Andaikata aku yang memerintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain, niscaya akan kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya.” Dan dalam satu bab dari Mu’ad bin Jabal dan Saraqah, dari Malik bin Ju’syum dan ‘Aisyah, Ibn Abbas, Abdullah bin Abi Auta, Talq bin ‘Ali, Ummu Salamah, Anas dan Ibn Abbas, ‘Umar, Abu Isa berkata bahwa hadis Abu Hurairah adalah hasan garib, dari jalur hadis Muhammad bin ‘Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah.
c.       Sunan Ibn Majah[15]
Abu Bakar bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami,  beliau mendengar dari Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dan Sa’id bin Musayyab dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Andaikan kuperintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. Dan seandainya seorang laki-laki memerintahkan istrinya agar memindahkan sesuatu dari jabal Ahmar ke Jabal Aswad lalu dari Jabal Aswad ke Jabal Ahmar maka istri harus melakukannya.”

d.      Sunan Ibnu Majah[16]
Azhar bin Marwan menceritakan kepada kami, dia mendengar dari Hammad bin Zaid darii Ayyub dan al-Qasim as-Syaibaniy dari ‘Abdillah bin Abi Aufa, dia berkata, “Ketika Mu’az tiba dari Syam dia bersujud pada Nabi SAW. Nabi bersabda, “Ada apa ini wahai Mu’az?” Mu’az menjawab, “Aku telah tiba di Syam dan kulihat pendudukanya bersujud pada para pimpinan dan pembesar mereka, maka aku pun berkekilnginan untuk melakukan sujud padamu wahai Nabi:” Rasulullah bersabda, “Jangan lakukan hal itu, sesungguhnya seandaianya aku orang yang memerintahkan seseorang untuk bersujud pada selain Allah pastilah kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sebelum dia menunaikan hak suaminya. Dan andai suami meminta jiwanya dia pun tidak menolaknya.”

Hadist tersebut muncul dilatarbelakangi satu peristiwa ketika seorang sahabat menyaksikan suatu kelompok masyarakat menyembah/ bersujud pada kelompok yang lain. Sahabat berfikir bahwa Rasulullah lah mnausia yang lebih berhak untuk diberikan sujud, sehingga sang sahabat menemui Rasul dan mempertanyakan apakah diperbolehkan untuk menyembahnya. Rasul memberikan analog dengan bertanya balik apakah sahabat akan menyembah kuburan Rasul jika melewatinya.[17]
Hadis ini relatif populer di kalangan masyarakat dan sering menjadi rujukan bagi legalitas di dalam buku-buku terbaru akhir-akhir ini. Hadis ini sering menimbulkan dan menjadi sumber kesalahpahaman. Kata “andaikata” dan “seandainya” dalam hadits di atas merupakan kata pengandaian yang tentu tidak riel, karena dalam realitasnya Nabi tidak pernah diperintahkan untuk menyuruh manusia sujud kepada manusia, karena manusia hanya berkewajiban untuk sujud kepada Allah, Tuhan semesta alam.[18] Karena itu, hadits tersebut tidak perlu diperdebatkan karena hanaya sebuah pengandaian. Hanya saja hadits tersebut mengandung pesan sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perempuan/ istri memiliki kewajiban-kewajiban terhadap suami yang harus ditunaikan, selagi suami juga memenuhi kewajibannya terhadap istri dan suami berada di jalan yang benar. Apapun yang diperitahkan oleh suami wajib ditaati sepenuhnya selama perintah itu tidak bertentangan dengan Islam.[19]
3.      Kewajiban Pemberian Nafkah
Sebagai suatu organisasi terkecil dalam masyarakat, keluarga harus digerakkan dengan kecukupan dalam aspek ekonomi. Aspek ekonomi penting dipertimbangan salam membangun keluarga, sebab kelestarian keluarga juga dipengaruhi oleh aspek ekonomi. Dalam tradisi masyarakat faktor ekonomi bagi masing-masing calon, terutama kaum pria sebagai kepala rumah tangga merupakan kriteria yang tidak dapat diabaikan. [20]
Sepasang suami istri keduannnya saling memiliki hak dan kewajiban yang harus diterima dan ditunaikan. Suami memiliki kewajiban memberi nafkah serta mempergauli istri secara ma’ruf.[21] Nafkah yang diberikan bisa berupa roti, lauk pauk, pakaian dan jenis-jenis barang tertentu. Nafkah juga bisa diberikan berupa nilai harganya dalam bentuk uang agar digunakan istri membeli segala kebutuhan yang diperlukan. Nafkah bisa diberikan secara tahunan, bulanan, mingguan atau harian berfdasarkan kesanggupan suami.[22] AL-Hafizh berkata, “Sudah disebutkan sebelumnya hadits Ibnu Umar (Kitab Nikah, bab. 3), aku telah mendengar Rasulullah bersabda,[23]
“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap siapa yang dipimpinnya. Seorang penguasa itu pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang suami itu pemimmpin di keluarga dan bertanggung jawab terhadap siapa yang dipimpinnya, perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab apa yang dipimpinnya, pembantu itu adalah pemimpin pada harta benda majikannya dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya, dan masing-masing kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap siapa yang dipimpin.”

Reinterpretasi Makna Hadis
a.      Asbab al_Wurud al-Hadis
Sebagaimana suatu kebiasaan ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, banyak sahabat yang bertanya. Hal ini disebabkan oleh sosok Rasulullah saw. sebagai panutan atau teladan bagi umat Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika beliau di masyarakat menjadi tempat bertanya berbagai persoalan kehidupan.
Salah satu hal yang menarik untuk ditanyakan oleh sahabat adalah masalah nafkah. Hal ini yang menjadikan sebab turunnya hadis tentang nafkah. Hadis di atas menunjukkan adanya hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga. Suami berkewajiban memberi nafkah yang ma’ruf kepada istrinya.[24] Hadis tentang hal tersebut redaksinya bermacam-macam namun intinya sama yakni pergaulan yang baik antara suami dan istri dalam rumah tangga.
b.      Syarah Hadis
Nafkah merupakan suatu bentuk pemberian atau derma seseorang atas orang lain dengan tujuan yang baik. Memberikan nafkah merupakan sebuah kebajikan. Oleh karenanya, yang dinafkahkan itu disarankan sesuatu yang baik atau yang lebih disukainya.[25] Di dalam Al-Qur’an, memberikan penjelasan tentang nafkah, dan tidak hanya berhubungan suami atas istrinya saja, tapi juga menjelaskan tentang hubungan kekerabatan seperti orang tua, anak, dan orang lain seperti anak yatim.
Hadis tentang nafkah, menjelasakan kebutuhan minimal seorang istri atas tanggung jawab suaminya. Kebutuhan tersebut antara lain: pakaian, makanan, dan perbuatan yang baik dengan tanpa memukul wajah serta menjelekkannya. Nafkah tersebut disesuaikan dengan kemampuan masing-masing suami, dan istri tidak boleh menuntut lebih dari apa yang dapat diberikan suami.
Nafkah adalah pemberian suami atas istri. Ia adalah hak istri dan merupakan kewajiban suami atas istrinya. perkawinan merupakan salah satu sebab adanya nafkah dalam kehidupanrumah tangga. Kewajiban tersebut tetap melekat pada suami walaupun istri mempunyai gaji sendiri sebagai upah bekerja di luar rumah. Apalagi, jika istri hanya menjalankan peran domestiknya. Walaupun istri sudah kaya, menurut Sayyid Sabiq, istri tetapi berhak mendapat nafkah dari suaminya.[26] Dan merupakan hak istri untuk meminta nafkah kepada suaminya. Kebutuhan yang paling tidak harus dipenuhi suami atas istrinya adalah masalah makanan agar tidak kelaparan dan pakaian.
Apabila istri bekerja, maka hasil yang disapatkan merupakan hak istri, kecuali jika terjadi kesepakatan di antara mereka berdua. Tidak seorangpun dapat memintanya walaupun itu suaminya sendiri, ayah kandung, dan bahkan anaknya.[27] Kewajiban memberi nafkah tersebut tetap melekat pada suami sampai kapanpun walaupun istri sedang menjalankan ‘iddah baik disebabkan oleh cerai hidup maupun mati. Bahkan, kedati istri sedang nusyuz, suami wajib memberi nafkah.[28] Hal tersebut sebagai tanggung jawab suami atas keluarganya dengan asumsi agar segala persoalan dalam rumah tangga dapat terselesaikan dengan baik. Ini merupakan garansi moral (damanah ma’nawiyyah) suami atas istrinya.
Dalam konteks sekarang, misalnya dalam kasus suami tidak bekerja akibat diberhentikan dari pekerjaan mereka atau sebab lain yang menghalanginya untuk mencari nafkah di luar rumah maka peran itu boleh diambil alih oleh wanita. Apalagi untuk konteks zaman sekarang, dimana tuntutan ekonomi dan biaya hidup yang tinggi menuntut wanita zaman sekarang harus memiliki skill untuk bekal mencari nafkah mendampingi suami. Namun, bagaimanamu Islam tetap memberi landasan yang adil bagi para istri dan suami. Tanggung jawab dan hak yang dibebankan dan diterima kepada dan oleh suami istri harus berazaskan mawaddah dan rahmah.[29]
c.       Istri Dilarang Bermuka Asam Didepan Suami
Beberapa teks hadis dengan makna yang sama, teks pertama yang terdapat dalam kitab al-Ahadisu al-Mukhtarah, karena Abu ‘Abdillah bin Ahmad al-Hanbafi (567-643 H.), tertulis:[30]
Dari Mua’wiyah bin Qurrah dari ‘Abdillah bin Salam, bahwa Rasulullah bersabda, sebaik-baik perempuan adalah yang menyenangkan kalu melihatnya, mematuhimu kalau kamau suruh, dan menjaha harkat martabat dirinya dan kekayaan suaminya ketika di belakang suaminya (suami tidak ada/hadir)

Teks kedua dalam kitab al-Sunan al-Kubra, karya Ahmad bin Su’aib al-Nasa i (215-303 H.), berbunyi:[31]
Dari Abu Hurairah, berkata/bercerita, Rasulullah ditanya tentang kriteria perempuan yang paling baik. Jawab Rasulullah, perempuan yang mematuhi kalau disuruh, menyenangkan kalau dilihat, dan ,emjaga martabat dirinya dan harta suaminya.

Teks ketiga diambil dari kitab Subul al-Salam, karangan Muhammad bin Isma’il al-San’ani al-Amir (773-852H) adalah:[32]
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: ditanya, wahai Rasulullah! Perempuan mana yang paling baik? Jawab Rasulullah, perempuan yang menyenangkan apabila dilihat suaminya, dan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan suami, baik yang berhubungan dengan diri istri maupun kekayaan suami.

Masih teks lain dituliskan dari kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Sahahaini, karangan Muhammad bin ‘Abdillah al-Naisa buri (321-405 H.), adalah:[33]
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi ditanya, perempuan mana yang terbaik, jawab Nabi, perempuan terbaik adalah perempuan yang menyenangkan apabila dipandang, patuh kalau disuruh, dan tidak mau melawan keinginan suami, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun harta istri.

Menurut teori kontekstualisasi pemahaman hadis yang ditawarkan Fazlur Rahman, bahwa untuk menemukan substansi ajaran yang ada dalam hadis tertentu dilakukan dengan cara memahami konteks yang melatarbelakanginya. Konteks di sini ada dua, pertama, konteks mikro berupa sebab munculnya hadis (asbab al-wurud), dan kedua, konteks makro berupa sejarah masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, baik pra-Islam maupun di masa pewahyuan.[34]
Hadis tentang muka masam ini sesungguhnya hanya jawaban terhadap satu kasus tertentu, yang  boleh jadi istrinya cemberut terus menerus di depan suaminya. Kemudian suaminya mengadu, dan dijawablah oleh Rasul dengan hadis ini. Sama kira-kira dengan sejumlah kasus lain, yang kalau kasus-kasus tersebut tidak dipahami konteksnya dan tidak secara integral, akan menghilangkan substansi/ spirit ajarannya. Dengan demikian, istri  dianjurkan untuk senantiasa menyenangkan suami, pada prinsipnya sama dengan anjuran agar suami juga senantiasa menyenangkan istri.
D.    Peran Wanita Karier dalam Membentuk Keluarga Sakinah
Apabila kita melihat pada masa permulaan Islam berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam pekerjaan, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan kaum wanita berkreatifitas atau bekerja di luar rumah dalam berbagai bidang, baik secara mandiri atau bersama orang lain. Islam memberikan hak kepada wanita untuk memegang suatu pekerjaan dan melibatkan dirinya secara aktif dalam perdagangan dan perniagaan. Ia berhak bekerja di luar rumahnya dan memperoleh penghidupan. Selama masa awal Islam wanita sering membantu pekerjaan luar pria dan diperkenankan bergerak secara bebas di antara pria. Adalah Asmah, puteri khalifah pertama Abu Bakar, ia biasa membantu suaminya dalam pekerjaan lapangannya seperti memberikan makanan kuda, mengambilkan air, mengambil buah-buahan dari ladangnya dan sebagainya. Bahkan pada masa ini pula wanita telah memegang pos-pos formal kewenangan di masyarakat seperti al-Syafa` binti Abdullah yang berkali-kali ditunjuk oleh khalifah Abu Bakar sebagai pengawas pasar di Madinah. 7
Banyak hadits-hadits Nabi saw yang menjelaskan tentang aktifitas kaum wanita pada masa kenabian, seperti bidang kerajinan tangan dan tekstil. Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Sakal bin Sa`ad ra, bahwa pernah datang seorang sahabat wanita menemui Nabi saw sambil membawa oleh-oleh berupa kain tenun, seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menenun kain ini dengan tanganku sendiri. Untuk itu perkenankanlah aku memberikannya pada baginda.”
Lalu Nabi saw menerimanya dan tidak lama kemudian beliau didapati memakai kain tersebut untuk sarung beliau. (HR. Bukhari)

Demikian pula pekerjaan-pekerjaan lain seperti di bidang penyamakan kulit, kerajinan membuat manik-manik dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, baik digunakan untuk kebutuhan hidupnya. Nabi juga memuji wanita yang bekerja keras dan mendorong kepada para wanita termasuk istri dan puterinya untuk menyibukkan dirinya dalam pekerjaan yang baik dan menguntungkan. Beliau bersabda: “Penghasilan yang paling utama adalah yang diperoleh seseorang dari kerjanya sendiri.”[35]
Dari berbagai riwayat di atas menunjukkan bahwa wanita bekerja di luar rumah tidaklah dilarang oleh Islam, bahkan merupakan suatu keharusan apabila hal itu dilakukan karena harus memenuhi kebutuhan keluarganya sementara tidak ada orang lain yang menanggungnya. Kita sebagai seorang muslim sudah selayaknya, bahkan sebagai suatu keharusan menempatkan masalah pekerjaan wanita dalam konteks syar`i, yang bersumber dari Alquran dan hadits dan menjadikannya sebagai pedoman dan sandaran dalam melakukan setiuap aktifitasnya. Melalui penelaahan teks-teks syar`i semakin jelas bahwa wanita karier atau wanita yang bekerja di luar rumah adalah suatu hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi, selama hal itu dilakukan sesuai dengan fungsi, kodrat dan fitrah kewanitaannya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut, serta pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.[36] Senada dengan pernyataan di atas, Zakiyah Darajad menjelaskan bahwa dalam lapangan kerja yang cocok dengan kodratnya, wanita juga dituntut untuk aktif bekerja. Banyak lapangan pekerjaan yang cocok dengan wanita, hanya saja harus selalu ingat dengan kodrat kewanitaan yang melekat pada dirinya.[37] Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Islam tidak ada halangan bagi seorang wanita untuk berkarier selama dalam kariernya selalu memperhatikan nilai etis, akhlak karimah dan tidak melupakan kodrat kewanitaannya baik kodrat fisik maupun psikis.
Kehidupan keluarga yang sakinah adalah dambaan dan merupakan tujuan hidup bagi setiap orang yang berkeluarga dan sekaligus merupakan bukti kekuasaan dan keagungan Allah. Allah berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. al-Rum: 21) 217

Keluarga sakinah erat kaitannya dengan kondisi keluarga yang tenang, tidak ada gejolak, tenteram, bahagia, dan harmonis. Sebuah keluarga dikatakan sakinah apabila suasana di dalam keluarga tersebut penuh dengan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, serta terpeliharanya ketaatan dan kepatuhan di antara sesama anggota keluarga untuk saling menjaga keutuhan dan kesatuan sehingga terbina rasa cinta dan kasih sayang di dalam keluarga demi memperoleh keridhoan Allah Swt.
Dalam membentuk sebuah keluarga sakinah, istri yang sekaligus sebagai wanita karier pertama-tama dituntut untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati. Ia dituntut untuk memiliki sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap suaminya. Tentunya ketaatan dalam arti yang bersifat positif. Seorang istri harus merasa bahwa dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya. Dalam Islam tidak ada halangan wanita berkarier, selama hal itu dilakukan dengan cara-cara baik, terhormat, maupun menghindarkan diri dari dampak-dampak negatif, serta tidak melupakan kodrat kewanitaannya. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang wanita karier dalam rangka ikut membantu terciptanya sebuah keluarga sakinah. Sebagai seorang istri hendaknya mendapat izin dari suaminya, berniat baik dalam pekerjaannya semata-mata untuk mengabdikan diri kepada keluarga. Sebagai seorang ibu, wanita karier tetap dituntut untuk mendidik dan memperhatikan anak-anaknya, sebab ibu memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk pribadi anak.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
          Dengan demikian, keluarga sakinah ialah kondisi sebuah keluarga yang sangat ideal yang terbentuk berlandaskan Al-Quran dan Sunnah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebendaan bukanlah sebagai ukuran untuk membentuk keluarga bahagia sebagaimana yang telah dinyatakan oleh negara Barat.
          Mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam dimulai dengan memberi pedoman pemilihan jodoh yang tepat, dengan unsur utamanya beragama kuat dan berakhlak luhur. Setelah perkawinan belangsung, suami harus tahu benar kewajiban-kewajiban yang satu terhadap yang lain, dan ditentukan pula fungsi masing-masing dalam kehidupan keluarga.
            Dari beberapa paparan hadis membangun keluarga sakinah, untuk memahami suatu hadis dilakukan secara tekstual atau kontekstual. Hadis harus dipahami secara tekstual manakala setelah dibaca dengan memperhatikan latar belakang kemunculannya tetap menuntut untuk dipahami sebagaimana yang tertulis dalam teks hadis. Sebaliknya manakala dalam satu hadis dijumpai petunjuk kuat yang mengharuskan hadis itu dipahami tidak sebagaimana makna harfiah yang tersurat maka pemahaman kontekstual lah yang digunakan. Karena hadis-hadis yang disabdakan beliau tentunya lahir mengikuti situasi dan kondisi yang berbeda-beda.
            Dalam membentuk sebuah keluarga sakinah, banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang wanita karier dalam rangka ikut membantu terciptanya sebuah keluarga sakinah. Sebagai seorang istri hendaknya mendapat izin dari suaminya, berniat baik dalam pekerjaannya semata-mata untuk mengabdikan diri kepada keluarga. Sebagai seorang ibu, wanita karier tetap dituntut untuk mendidik dan memperhatikan anak-anaknya, sebab ibu memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk pribadi anak.

DAFTAR PUTAKA

Abu ‘Abd Allah Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, Jilid 3.
Abu bakar Muhammad, Hadits Tarbiyah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2008.
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan; Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003.
Juwariyah, Hadis Tarbawi, Yogyakarta: Teras, 2010.
H. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.
Hamin Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis “Misoginis”, Yogyakarta: eLSAQ Prees, 2003.
Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1995.
M. Abdul-Rauf, The Islamic View., 69.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi, dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnnah, Jakarta: Aqwam, 2013.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih  At-Targhib Wa At-Tarhhib, Jakarta: PUSTAKA SAHIFA, 2008.
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Studi Terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang), Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011.
Zakiah Darajat, Islam dan Pearanan Wanita, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
http://hijapedia.com/bagaimanakah-cara-membangun-keluarga-sakinah-menurut-islam/, diakses pada tanggal 6 Desember 2014, pukul 9.28 WIB.




[1] Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan; Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah. (Jakarta: Akademika Pressindo, 2003), hal. 6 dengan merujuk kepada QS. Al-Nisa ayat 21.
[2] Abu ‘Abd Allah Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid 3,  hal. 252
[4] Juwariyah, Hadis Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 129.
[5] Ahmad Azhar Basyir, Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2008), hlm. 12.
[6] http://hijapedia.com/bagaimanakah-cara-membangun-keluarga-sakinah-menurut-islam/, diakses pada tanggal 6 Desember 2014, pukul 9.28 WIB.
[7] Juwariyah, Hadis,... hlm. 132.
[8] Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1995, hlm. 116.
[9] Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Studi Terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang), (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 76.
[10] Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis “Misohinis”, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 97.
[11] Juwariyah, Hadis,... hlm. 135.
[12] H. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 99.
[13] Hamim Ilyas, Perempuan,... hlm. 98.
[14] Ibid., hlm. 99.
[15] Ibid., hlm. 98.
[16] Ibid., hlm. 100.
[17] Ibid., hlm. 117.
[18] Juwariyah, Hadis,... hlm. 136.
[19] Hamim Ilyas, Perempuan,... hlm. 117.
[20] Ulfatmi, Keluarga,... hlm. 102.
[21] Juwariyah, Hadis,... hlm. 134.
[22] Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnnah, (Jakarta: Aqwam, 2013), hlm. 508.
[23] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Targhib, (Jakarta: PUSTAKA SAHIFA, 2008), hlm. 200.
[24] Hamim Ilyas, Perempuan,... hlm. 138.
[25] Ibid., hlm. 139.
[26] Ibid., hlm. 140.
[27] Ibid., hlm. 140.
[28] Ibid., hlm. 140.
[29] Ulfatmi, Keluarga,... hlm. 93.
[30] Hamim Ilyas, Perempuan,... hlm. 172.
[31] Ibid., hlm. 173.
[32] Ibid., hlm. 173.
[33] Ibid., hlm. 174.
[34] Ibid., hlm. 182.
[35] M. Abdul-Rauf, The Islamic View., 69.
[36] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi, dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 275.
[37] Zakiah Darajat, Islam dan Pearanan Wanita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 22-23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar