Rabu, 21 Januari 2015

MODEL-MODEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

MODEL-MODEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Psikologi Pendidikan Islam



Dosen Pengampu: Dr. Khamim Zarkasyi Putro, M.Pd






Oleh:


Tri Pariyatun, S.Pd.I
1420411160
PAI-D (Mandiri)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Amanat hak atas pendidikan bagi penyandang kelainan atau ketunaan ditetapkan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: “pendidikan khusus (pendidikan luasr biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial”. Ketetapan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak penyandang kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.
Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun, karakteristik perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang khusus. Hal ini semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelaian. Oleh karena itu, dalam pendidikan perlu adanya pendekatan, model dan startegi khusus dalam mendidik anak berkelainan.
B.     Rumuan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Anak  Berkebutuhan Khusus (ABK)?
2.      Bagaimana klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?
3.      Bagaimana model-model Pendidikkan Agama Islam bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
1.      Pengertian dan Klasifikasi Anak Bekebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya. Di negara Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan.[1]
Istilah anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus anak berkelainan, secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, atau anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak.[2] Istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan bagi anak-anak berkelaiann (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah adalah inklusif (dari bahassa Inggris: inclusion-peny)). Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi sekolah).[3]
Berdasarkan pengertian tersebut, anak yang dikategorikan memiliki  kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan indera penglihatan (tunanetra), kelainan indera pendengaran (tunarungu), kelainan kemampuan berbicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan mental lebih (supernormal) yang dikenal sebagai anak berbakat atau anak unggul, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah (subnormal) yang dikenal dengan sebagai anak tunagrahita. Anak yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang termasuk dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan tunalaras.[4]
a.       Anak Berkelainan Penglihatan (Tunanetra)
Seorang yang kehilangan penglihatan, biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi saran alternatif yang digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap lingkungan sekitarnya. Kelebihan indera pendengaran sebagai tranmisi dalam berinteraksi dengan lingkungan bagi anak tunanetra dapat membantu memberikan petunjuk tentang jarak atau objek dengan mengenal suaranya, namun ia tidak dapat mengenal wujud konkret tentang wujud objek yang dikenalnya. Perabaan  sebagai sarana alternatif lainnya setelah pendengaran, barangkali  dapat membantu bagi anak tunanetra untuk memperoleh pengalaman kinestetik. Melalui perabaan, anak-anak tunanetra dapat langsung melakukan kontak dengan objek yang ada disekitarnya.[5] Sarana atau alat bantu pendidikan yang digunakan bagi siswa berkelainan penglihatan:
1)      Bacaan dan Tulisan Braille (Braille Reading and Writing)
Huruf Braille adalah suatu sistem yang menggunakan kode berupa titik-titik yang ditonjolkan untuk menunjukkan huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya.[6]
2)      Mesin Baca Kurzweil
Mesin ini dapat membaca suatu buku yang tercetak, hasil huruf-huruf nya dikeluarkan dalam bentuk suara.[7]

3)      Buku bersuara (Talking Books)
Buku dan majalah direkam dalam disk atau kaset dan dibagikan kepada orang yang mengalami hambatan penglihatan.[8]
b.      Anak Berkelainan Pendengaran (Tunarungu)
Anak yang kehilangan salah satu (khususnya kehilangan pendengaran) maka tidak bedanya ia seperti kehilangan sebagian kehidupannya yang dimilikinya. Untuk menggantinya dapat dialihkan pada indera pengglihatan sebagai komponensasinya. Itulah sebabnya, cukup beralasan jika para ahli berpendapat indera penglihatan bagi anak tunarungu memiliki urutan terdepan, karena memang memiliki peranan yang sangat penting.[9] Metode, sarana atau alat bantu pendidikan yang digunakan bagi siswa berkelainan penglihatan:[10]
1)      Alat bantu dengar
2)      Bantuan di dalam kelas dengan mengubah cara komunikasi
a)      Metode manual
Metode manual memiliki dua komponen dasar. Yang pertama adalah bahasa isyarat (sign language). Metode manual kedua adalah finger spelling. Finger Spelling ini menggambarkan alfabet secara manual.
b)      Metode oral
Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan membaca ucapan (speechreading)
c)      Metode komunikasi total
Setiap anak yang tunarungu memiliki kesempatan mengembangkan setiap sisa pendengarannya dengan alat bantu dengar dan/ atau sistem terpercaya untuk memperbesar kemampuan mendengarkannya.


c.       Anak Berkelainan Bicara (Tunawicara)
Siswa-siswa yang memiliki kelainan bicara dan bahasa, juga mengalami kesulitan dengan sikap mereka di sekolah. Guru bisa membantu dan mendukung perkembangan positif kemampuan berbicara dan berbahasa anak.
d.      Anak Berkelainan Mental Subnormal (Tunagrahita)
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam bebrapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded, mental subnormal, tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental di bawah normal.[11]
e.       Anak Bberkelainan Fungsi Anggota Tubuh (Tunadaksa)
Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerkan tubuh tertentu mengalami penurunan.[12]
f.       Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
Anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompk dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[13]
2.      Prinsip Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun, karakteristik perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang khusus. Hal ini semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelaian. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan startegi khusus dalam mendidik anak berkelainan, diharapkan anak berkelaian: (1) dapat menerima kondisinya, (2) dapat melakukan sosialisasi dengan baik, (3) mampu berjaung sesuai dengan kemampuannya, (4) memiliki keterampilan yang sangat dibutuhkan, dan (5) menyadari sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Tujuan lainnya agar upaya yang dapat dilakukan dalam rangka habilitasi maupun rehabilitasi anak berkelainan dapat memberikan daya guna dan hasil guna yang tepat.[14]
Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat dijadikan dasar-dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan, antara lain sebagai berikut:[15]
a.       Prinsip kasih sayang
      Prinsip kasih sayang pada dasarnya menerima mereka apa adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalankanhidup dan kehidupan dengan wajar, seperti layaknya anak-anak normal lainnya.
b.      Prinsip layanan individual
      Pelayanan individual dalam rangka mendidik anak berkelainan perlu mendapatkan porsi yang lebih besar, sebab setiap anak berkelaianan dalam jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya: jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 orang dalam setiap kelasnya, modifikasi alat bantu pengajaran, penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga guru dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah.
c.        Prinsip kesiapan
      Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan. Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan  pelajaran yang akan diajarkan.

d.      Prinsip keperagaan
      Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung oleh penggunaan alat peraga sebagai mediannya.
e.        Prinsip motivasi
      Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan. Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang ditekankan pada pengenalan suara binaang akan lebih menarik dan mengesakan jika mereka diajak ke kebun binatang. bagi anak tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat lima sempurna, barangkali akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya kemudian diberikan kepada anak  untuk dimakan, daripada hanyak berupa gambar-gambar saja.
f.       Prinsip belajar dan bekerja kelompok
      Sebagai salah satu dasar mendidik anak berkelainan, agar mereka sebagai anggota masyarakat dapat bergaul dengan masayarakat lingkungannya, tanpa harus merasa rendah atau minder dengan orang normal.
g.      Prinsip keterampilan
      Pendidikan keterampilan yang diberikan kepada anak berkelainan, dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan kelak.
h.      Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap
      Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain.
B.     Model Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
1.      Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain, sehingga tujuan pembelajaran tercapai.[16] Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.
Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing. Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah. Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut. Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
Tiga modalitas pembelajaran ini pertama kali dikembangkan oleh Neil Fleming untuk menunjukkan preferensi individu dalam proses belajarnya, yakni Visual, Auditoris, dan Kinestetik (VAK).[17]
a.       Visual
Modalitas visual mengakses citra visual yang diciptakan maupun diingat, seperti warna, hubungan ruang, potret mental, dan gambar.
b.      Auditooris
Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata yang diciptakan maupun diingat, seperti musik, nada, irama, rima, dialog internal, dan suara.
c.       Kinestetik
Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi yang diciptakan maupun diingat, seperti gerakan, koordinasi, rima, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik.
Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion), berarti  penghapusan pendidikan khusus.[18] Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.[19]
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal. Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.[20]
Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming. Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja. Salah satu usaha awal dalam menawarkan suatu model mainstreaming  menurut Berry, menekankan tiga unsur yang harus mempunyai ciri-ciri itu: suatu rangkaian jenis-jenis layanan pendidikan bagi siswa-siswa yang memiliki hambatan, pengurangan jumlah anak-anak yang “ditarik keluar” dari kelas-kelas reguler, dan penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan di dalam kelas-kelas reguler ketimbang di luar kelas-kelas tersebut.[21]
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

a.       Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b.      Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
c.       Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
d.      Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
e.       Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
f.       Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
2.      Bentuk-Bentuk Layanan Anak Berkebutuhan Khusus
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari segi jenis, sifat, kondisi, mauoun kebutuhan, oleh karena itu layanan pendidikannya tidak dapat dibuat tunggal atau seragam melainkan menyesuaikan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut, dapat lebih memudahkan anak-anak ABK dan orang tuanya untuk memilih layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
Ada beberapa model atau bentuk pelayanan pendidikan bagi ABK yang ditawarkan mulai dari model klasik sampai yang model terkini:
a.       Model segregasi
Merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal dan diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara khusus dan terpisah dari kelompok jenis anak normal maupun anak berkebutuhan khusus lainnya. Dalam praktiknya, masing-masing kelompok anak dengan jenis kekhususan yang sama dididik pada lembaga pendidikan yang melayani sesuai dengan kekhususannya tersebut. Sebagai contoh: SLB A, lembaga pendidikan untuk tunanetra, SLB B lembaga pendidikan untuk anak tunarungu, SLB C lembaga pendidikan untuk anak tuna grahita, SLB D lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa, SLB E lembaga pendidikan untuk anak tuna laras, dan SLB G untuk tuna ganda.[22]
b.      Model kelas khusus
Sesuai dengan namanya, kas khusus tidak berdiri sendiri seperti halnya sekolah khusus (SLB), melainkan keberadaannya ada di sekolah umum atau reguler. Keberadaan kelas khusus ini tidak bersifat permanen, melainkan didasarkan pada ada atau tidaknya anak-anak yang memerlukan pendidikan atau pembelajaran khusus di sekolah tersebut.
c.       Model guru kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit jangkau, jarak sekolah, dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan berjalan, menderita berkepanjangan, dan lainnya.[23]
d.      Sekolah terpadu
Sekolah ini hakikatnya merupakan sekolah normal biasa yang telah ditetapkan untuk menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus. Mereka belajar bersama-sama dengan anak-anak normal lainnya tanpa dipisah dinding tembok kelas. Dalam pembelajaran mereka diajar oleh guru-guru umum, sedangkan mater-materi yang memiliki sifat kekhususan diberikan guru pendamping yan ditunjuk.[24]
e.       Pendidikan inklusi
Pendidikan inklusi adalah pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistematik. Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusi adalah kurikulum yang fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Model pendidikan ini sebenarnya berupaya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak.[25]
Keberhasilan pendidikan agama di sekolah-sekolah lebih banyak ditentukan oleh kemampuan dan keterampilan guru agama dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus anak berkelainan, secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, atau anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak.
Pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).



BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010)
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006)
David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Penerbit NUANSA, 2006.
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013.
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005
http://Model%20dan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Inklusif%20%20%20asrulywulandari.htm, pada hari Selasa, Tanggal, 08 Desember 2014, pukul 12.36 WIB.
http://melyloelhabox.blogspot.com/2014.04/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html, diakses pada tanggal 11 Desember 2014, pukul 16.11 WIB.




[1] Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 1.
[2] Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 2.
[3] David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, (Bandung: Penerbit NUANSA, 2006), hlm. 45.
[4] Mohammad Efendi, Pengantar..., hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 38.
[6] David Smith, Sekolah..., hlm. 245.
[7] Ibid., hlm. 248.
[8] Ibid., hlm. 248.
[9] Mohammad Efendi, Pengantar..., hlm. 73.
[10] David Smith, Sekolah..., hlm. 280-287.
[11] Mohammad Efendi, Pengantar..., hlm. 88.
[12] Ibid., hlm. 114.
[13] Ibid., hlm. 143.
[14] Ibid., hlm. 23-24.
[15] Ibid., hlm. 24-26.
[16] Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 5.
[17] Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan Paragdimatis, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013), hlm. 287-288.
[18] David Smith, Sekolah..., hlm. 45.
[19]http://Model%20dan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Inklusif%20%20%20asrulywulandari.htm, pada hari Selasa, Tanggal, 08 Desember 2014, pukul 12.36 WIB.
[20]http://Model%20dan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Inklusif%20%20%20asrulywulandari.htm, pada hari Selasa, Tanggal, 08 Desember 2014, pukul 12.36 WIB.
[21] David Smith, Sekolah..., hlm. 42.
[22]http://melyloelhabox.blogspot.com/2014.04/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html, diakses pada tanggal 11 Desember 2014, pukul 16.11 WIB.
[23] Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010), hlm.  91.
[24]http://melyloelhabox.blogspot.com/2014.04/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html, diakses pada tanggal 11 Desember 2014, pukul 16.11 WIB.
[25] Aqila Smart, Anak..., hlm.  90.

1 komentar: