MODEL-MODEL
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAGI ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Psikologi Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. Khamim Zarkasyi Putro, M.Pd
Oleh:
Tri Pariyatun,
S.Pd.I
1420411160
PAI-D (Mandiri)
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amanat
hak atas pendidikan bagi penyandang kelainan atau ketunaan ditetapkan dalam
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32
disebutkan bahwa: “pendidikan khusus (pendidikan luasr biasa) merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial”.
Ketetapan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak penyandang
kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa anak
berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan
kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.
Mendidik
anak yang berkelainan fisik, mental, maupun, karakteristik perilaku sosialnya,
tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain memerlukan suatu
pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang khusus. Hal ini
semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelaian. Oleh
karena itu, dalam pendidikan perlu adanya pendekatan, model dan startegi khusus
dalam mendidik anak berkelainan.
B. Rumuan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK)?
2. Bagaimana
klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?
3. Bagaimana
model-model Pendidikkan Agama Islam bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
1. Pengertian
dan Klasifikasi Anak Bekebutuhan Khusus (ABK)
Anak
berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak
Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan
khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya. Di negara
Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan
telah diberikan layanan.[1]
Istilah
anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus
anak berkelainan, secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki
kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal
fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, atau anak yang berbeda
dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan berpikir,
penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak.[2] Istilah
terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan bagi anak-anak berkelaiann
(penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah adalah inklusif
(dari bahassa Inggris: inclusion-peny)).
Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan dalam
kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi sekolah).[3]
Berdasarkan
pengertian tersebut, anak yang dikategorikan memiliki kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan
indera penglihatan (tunanetra), kelainan indera pendengaran (tunarungu),
kelainan kemampuan berbicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh
(tunadaksa). Anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak yang
memiliki kemampuan mental lebih (supernormal) yang dikenal sebagai anak berbakat
atau anak unggul, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah
(subnormal) yang dikenal dengan sebagai anak tunagrahita. Anak yang memiliki
kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam
menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang termasuk
dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan tunalaras.[4]
a. Anak
Berkelainan Penglihatan (Tunanetra)
Seorang yang
kehilangan penglihatan, biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi saran
alternatif yang digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap lingkungan
sekitarnya. Kelebihan indera pendengaran sebagai tranmisi dalam berinteraksi
dengan lingkungan bagi anak tunanetra dapat membantu memberikan petunjuk
tentang jarak atau objek dengan mengenal suaranya, namun ia tidak dapat
mengenal wujud konkret tentang wujud objek yang dikenalnya. Perabaan sebagai sarana alternatif lainnya setelah
pendengaran, barangkali dapat membantu
bagi anak tunanetra untuk memperoleh pengalaman kinestetik. Melalui perabaan,
anak-anak tunanetra dapat langsung melakukan kontak dengan objek yang ada
disekitarnya.[5]
Sarana atau alat bantu pendidikan yang digunakan bagi siswa berkelainan
penglihatan:
1) Bacaan
dan Tulisan Braille (Braille Reading and
Writing)
Huruf Braille
adalah suatu sistem yang menggunakan kode berupa titik-titik yang ditonjolkan
untuk menunjukkan huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya.[6]
2) Mesin
Baca Kurzweil
Mesin ini dapat
membaca suatu buku yang tercetak, hasil huruf-huruf nya dikeluarkan dalam
bentuk suara.[7]
3) Buku
bersuara (Talking Books)
Buku dan majalah
direkam dalam disk atau kaset dan dibagikan kepada orang yang mengalami
hambatan penglihatan.[8]
b. Anak
Berkelainan Pendengaran (Tunarungu)
Anak yang
kehilangan salah satu (khususnya kehilangan pendengaran) maka tidak bedanya ia
seperti kehilangan sebagian kehidupannya yang dimilikinya. Untuk menggantinya
dapat dialihkan pada indera pengglihatan sebagai komponensasinya. Itulah
sebabnya, cukup beralasan jika para ahli berpendapat indera penglihatan bagi
anak tunarungu memiliki urutan terdepan, karena memang memiliki peranan yang
sangat penting.[9]
Metode, sarana atau alat bantu pendidikan yang digunakan bagi siswa berkelainan
penglihatan:[10]
1) Alat
bantu dengar
2) Bantuan
di dalam kelas dengan mengubah cara komunikasi
a) Metode
manual
Metode manual memiliki
dua komponen dasar. Yang pertama adalah bahasa isyarat (sign language). Metode manual kedua adalah finger spelling. Finger Spelling ini menggambarkan alfabet secara
manual.
b) Metode
oral
Pendekatan oral
menekankan pada pembimbingan ucapan dan membaca ucapan (speechreading)
c) Metode
komunikasi total
Setiap anak yang
tunarungu memiliki kesempatan mengembangkan setiap sisa pendengarannya dengan
alat bantu dengar dan/ atau sistem terpercaya untuk memperbesar kemampuan
mendengarkannya.
c. Anak
Berkelainan Bicara (Tunawicara)
Siswa-siswa yang
memiliki kelainan bicara dan bahasa, juga mengalami kesulitan dengan sikap
mereka di sekolah. Guru bisa membantu dan mendukung perkembangan positif
kemampuan berbicara dan berbahasa anak.
d. Anak
Berkelainan Mental Subnormal (Tunagrahita)
Istilah anak
berkelainan mental subnormal dalam bebrapa referensi disebut pula dengan
terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded,
mental subnormal, tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut sama,
yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental di bawah
normal.[11]
e. Anak
Bberkelainan Fungsi Anggota Tubuh (Tunadaksa)
Secara
etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan,
yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh
sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan
akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerkan tubuh tertentu mengalami
penurunan.[12]
f. Anak
Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
Anak tunalaras
adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak
memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial
dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap
kelompk dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat
kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[13]
2. Prinsip
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Mendidik
anak yang berkelainan fisik, mental, maupun, karakteristik perilaku sosialnya,
tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain memerlukan suatu
pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang khusus. Hal ini
semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelaian. Oleh
karena itu, melalui pendekatan dan startegi khusus dalam mendidik anak
berkelainan, diharapkan anak berkelaian: (1) dapat menerima kondisinya, (2)
dapat melakukan sosialisasi dengan baik, (3) mampu berjaung sesuai dengan
kemampuannya, (4) memiliki keterampilan yang sangat dibutuhkan, dan (5)
menyadari sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Tujuan lainnya agar
upaya yang dapat dilakukan dalam rangka habilitasi maupun rehabilitasi anak
berkelainan dapat memberikan daya guna dan hasil guna yang tepat.[14]
Pengembangan
prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat dijadikan dasar-dasar
dalam upaya mendidik anak berkelainan, antara lain sebagai berikut:[15]
a.
Prinsip kasih sayang
Prinsip kasih sayang pada dasarnya
menerima mereka apa adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalankanhidup
dan kehidupan dengan wajar, seperti layaknya anak-anak normal lainnya.
b.
Prinsip layanan individual
Pelayanan individual dalam rangka mendidik
anak berkelainan perlu mendapatkan porsi yang lebih besar, sebab setiap anak
berkelaianan dalam jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan
masalah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya
yang perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya: jumlah siswa yang
dilayani guru tidak lebih dari 4-6 orang dalam setiap kelasnya, modifikasi alat
bantu pengajaran, penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga guru
dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah.
c.
Prinsip
kesiapan
Untuk menerima suatu pelajaran tertentu
diperlukan kesiapan. Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan.
d.
Prinsip keperagaan
Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan
sangat didukung oleh penggunaan alat peraga sebagai mediannya.
e.
Prinsip
motivasi
Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan
pada cara mengajar dan pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak
berkelainan. Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas
yang ditekankan pada pengenalan suara binaang akan lebih menarik dan mengesakan
jika mereka diajak ke kebun binatang. bagi anak tunagrahita, untuk menerangkan
makanan empat sehat lima sempurna, barangkali akan lebih menarik jika diperagakan
bahan aslinya kemudian diberikan kepada anak
untuk dimakan, daripada hanyak berupa gambar-gambar saja.
f.
Prinsip belajar dan bekerja kelompok
Sebagai salah satu dasar mendidik anak
berkelainan, agar mereka sebagai anggota masyarakat dapat bergaul dengan
masayarakat lingkungannya, tanpa harus merasa rendah atau minder dengan orang
normal.
g.
Prinsip keterampilan
Pendidikan keterampilan yang diberikan
kepada anak berkelainan, dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan kelak.
h.
Prinsip penanaman dan penyempurnaan
sikap
Secara fisik dan psikis sikap anak
berkelainan memang kurang baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai
sikap yang baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain.
B. Model Pendidikan
Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
1. Model Pembelajaran
Model
pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam
tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di
dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain, sehingga tujuan
pembelajaran tercapai.[16]
Pendidikan
inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah
inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat
dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.
Keuntungan
dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus maupun anak
biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan
sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai
dengan potensinya masing-masing. Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah
yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan
peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai
pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat
terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik.
Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan
dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah.
Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi
semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian
yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Penyesuaian
pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan
pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam
meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan
dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk
merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan
kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut. Dengan melihat
adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka
dalam setting pendidikan
inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan
model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
Tiga
modalitas pembelajaran ini pertama kali dikembangkan oleh Neil Fleming untuk
menunjukkan preferensi individu dalam proses belajarnya, yakni Visual,
Auditoris, dan Kinestetik (VAK).[17]
a.
Visual
Modalitas visual mengakses citra visual yang
diciptakan maupun diingat, seperti warna, hubungan ruang, potret mental, dan
gambar.
b.
Auditooris
Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata
yang diciptakan maupun diingat, seperti musik, nada, irama, rima, dialog
internal, dan suara.
c.
Kinestetik
Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi
yang diciptakan maupun diingat, seperti gerakan, koordinasi, rima, tanggapan
emosional, dan kenyamanan fisik.
Pendidikan
inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion), berarti penghapusan pendidikan khusus.[18]
Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima
pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion).
Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam
sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam
kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.[19]
Model lain
misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent
dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif
terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal
dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model
ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik
berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal. Model
inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model
ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan
jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian
seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak
dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan
inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang
mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.[20]
Model
pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model
pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu pendidikan
inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini
dikenal dengan model mainstreaming. Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang
memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa)
dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke
dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja. Salah satu usaha awal
dalam menawarkan suatu model mainstreaming menurut Berry, menekankan tiga unsur yang
harus mempunyai ciri-ciri itu: suatu rangkaian jenis-jenis layanan pendidikan
bagi siswa-siswa yang memiliki hambatan, pengurangan jumlah anak-anak yang
“ditarik keluar” dari kelas-kelas reguler, dan penambahan ketetapan-ketetapan
bagi layanan pendidikan di dalam kelas-kelas reguler ketimbang di luar
kelas-kelas tersebut.[21]
Filosofinya
tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus
disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk
layanan yang lain, seperti:
a.
Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b.
Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
c. Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
d. Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru
pembimbing khusus.
e. Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah
reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler.
f. Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus
pada sekolah reguler.
2. Bentuk-Bentuk Layanan Anak Berkebutuhan Khusus
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari segi jenis,
sifat, kondisi, mauoun kebutuhan, oleh karena itu layanan pendidikannya tidak
dapat dibuat tunggal atau seragam melainkan menyesuaikan diri dengan tingkat
keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Dengan beragamnya model layanan
pendidikan tersebut, dapat lebih memudahkan anak-anak ABK dan orang tuanya
untuk memilih layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya.
Ada beberapa model atau bentuk pelayanan pendidikan bagi ABK yang
ditawarkan mulai dari model klasik sampai yang model terkini:
a.
Model segregasi
Merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama
dikenal dan diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Model
ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara khusus dan terpisah dari
kelompok jenis anak normal maupun anak berkebutuhan khusus lainnya. Dalam
praktiknya, masing-masing kelompok anak dengan jenis kekhususan yang sama
dididik pada lembaga pendidikan yang melayani sesuai dengan kekhususannya
tersebut. Sebagai contoh: SLB A, lembaga pendidikan untuk tunanetra, SLB B
lembaga pendidikan untuk anak tunarungu, SLB C lembaga pendidikan untuk anak
tuna grahita, SLB D lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa, SLB E lembaga
pendidikan untuk anak tuna laras, dan SLB G untuk tuna ganda.[22]
b.
Model kelas khusus
Sesuai dengan namanya, kas khusus tidak berdiri
sendiri seperti halnya sekolah khusus (SLB), melainkan keberadaannya ada di
sekolah umum atau reguler. Keberadaan kelas khusus ini tidak bersifat permanen,
melainkan didasarkan pada ada atau tidaknya anak-anak yang memerlukan
pendidikan atau pembelajaran khusus di sekolah tersebut.
c.
Model guru kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan
pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal
anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya
karena tempat tinggal yang sulit jangkau, jarak sekolah, dan rumah terlalu
jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan berjalan, menderita berkepanjangan,
dan lainnya.[23]
d.
Sekolah terpadu
Sekolah ini hakikatnya merupakan sekolah normal biasa
yang telah ditetapkan untuk menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus. Mereka
belajar bersama-sama dengan anak-anak normal lainnya tanpa dipisah dinding tembok
kelas. Dalam pembelajaran mereka diajar oleh guru-guru umum, sedangkan mater-materi
yang memiliki sifat kekhususan diberikan guru pendamping yan ditunjuk.[24]
e.
Pendidikan inklusi
Pendidikan inklusi adalah pendidikan pada sekolah umum
yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa yang memerlukan pendidikan
khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistematik. Kurikulum yang
digunakan pada pendidikan inklusi adalah kurikulum yang fleksibel, disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Model pendidikan ini sebenarnya
berupaya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak.[25]
Keberhasilan pendidikan agama di sekolah-sekolah lebih banyak ditentukan
oleh kemampuan dan keterampilan guru agama dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Anak
berkebutuhan khusus dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus anak
berkelainan, secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki
kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal
fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, atau anak yang berbeda
dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan berpikir,
penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak.
Pendidikan inklusif seperti pada
model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas
reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini
dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau
ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak
berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak
waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi).
Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di
sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau
tempat khusus (rumah sakit).
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran
& Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010)
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu
Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006)
David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan
Pembelajaran, Bandung: Penerbit NUANSA, 2006.
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif
Menyenangkan, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran
Isu-Isu Metodis dan Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013.
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2005
http://Model%20dan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Inklusif%20%20%20asrulywulandari.htm,
pada hari Selasa, Tanggal, 08 Desember 2014, pukul 12.36 WIB.
http://melyloelhabox.blogspot.com/2014.04/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html,
diakses pada tanggal 11 Desember 2014, pukul 16.11 WIB.
[1]
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak
Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2006), hlm. 1.
[2] Mohammad
Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 2.
[3] David
Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan
Penerapan Pembelajaran, (Bandung: Penerbit NUANSA, 2006), hlm. 45.
[4] Mohammad
Efendi, Pengantar..., hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 38.
[6] David
Smith, Sekolah..., hlm. 245.
[7] Ibid., hlm. 248.
[8] Ibid., hlm. 248.
[9] Mohammad
Efendi, Pengantar..., hlm. 73.
[10] David
Smith, Sekolah..., hlm. 280-287.
[11] Mohammad
Efendi, Pengantar..., hlm. 88.
[12] Ibid., hlm. 114.
[13] Ibid., hlm. 143.
[14] Ibid., hlm. 23-24.
[15] Ibid., hlm. 24-26.
[16] Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif
Menyenangkan, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009),
hlm. 5.
[17] Miftahul
Huda, Model-Model Pengajaran dan
Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan Paragdimatis, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2013), hlm. 287-288.
[18]
David
Smith, Sekolah..., hlm. 45.
[19]http://Model%20dan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Inklusif%20%20%20asrulywulandari.htm,
pada hari Selasa, Tanggal, 08 Desember 2014, pukul 12.36 WIB.
[20]http://Model%20dan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Inklusif%20%20%20asrulywulandari.htm,
pada hari Selasa, Tanggal, 08 Desember 2014, pukul 12.36 WIB.
[21] David
Smith, Sekolah..., hlm. 42.
[22]http://melyloelhabox.blogspot.com/2014.04/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html,
diakses pada tanggal 11 Desember 2014, pukul 16.11 WIB.
[23]
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat:
Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta:
Katahati, 2010), hlm. 91.
[24]http://melyloelhabox.blogspot.com/2014.04/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html,
diakses pada tanggal 11 Desember 2014, pukul 16.11 WIB.
[25]
Aqila Smart, Anak..., hlm. 90.
izin copas :D
BalasHapus