Rabu, 21 Januari 2015

Al-Farabi

AL-FARABI


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu: Drs. Usman, M.A., M.A






Oleh:

TRI PARIYATUN
1420411160
PAI-D (Mandiri)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser.
B.     Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam membahas dan menganalisis aliran ini agar sistematis, maka kami petakan permasalahannya sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi al-farabi?
2.      Bagaimana keilmuan menurut al-farabi?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Al-Farabi
Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M).[1] Ayahnya seorang pejabat tinggi militer di kalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebgian besar wilayah Transoxiana, provinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk lembaga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.[2]
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir, dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut ibn Abu Usaibi’ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qadhi) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalam) dan ushul al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu tersebut.[3]
Sekitar tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti ibn al-Furat, ‘Ali ibn ‘Isa dan Ibn Muqlah.[4]
Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti  Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, puta mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormatioleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasihat Sultan.[5]
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-shaghir) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi,[6] seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkungan Saif al-Daulah”.  
Al-Farabi meninggalkan banyak karya tulis. Menurut penelitian penulis, setidaknya ada 119 buah karya tulis yang dihasilkan al-Farabi, dan sayangnya kebanyakan dari karya ini telah hilang atau belum dipublikasikan. Secara garis besar, karya-karya ini dapat dikelompokkan dalam beberapa tema: logika, fisika, metafisika, politik, antropologi, musik, dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan terhadap pandangan filsuf tertentu.[7]
B.     Keilmuan Al-Farabi
1.      Sumber Pengetahuan
Dalam pemahaman teologis Islam, sumber utama pengetahuan, yakni wahyu dan alam yang masing-masing kemudian melahirkan ilmu-ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum, adalah satu, yaitu intelek Ilahi. Islam menyatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan dan alam adalah ayat-ayat-Nya. Keduanya sama-sama berasal dari Tuhan sehingga tidak ada perbedaan diantara keduannya.[8]
Adapun gagasan tentang hierarki keilmuan didasarkan atas kenyataan adanya doktrin atau keyakinan tentang hierarki realitas dalam Islam. Pertama, ayat-ayat al-Qur’an sendiri, meski diyakini sama-sama dari Tuhan, tetapi bertingkat-tingkat nilainya karena hubungan masing-masing dengan realitas yang berbeda. Ayat kursi (‘ayat al-kursi), misalnya dilukiskan oleh Rasul sebagai “kepala” (sayyidah) ayat-ayat al-Qur’an karena berhubungan dengan esensi, sifat dan perbuatan Tuhan, di samping bahwa ayau kursi mengandung asma ilahi yang paling agung. Sementara itu, surat Ikhlas (surat al-ikhlas) yang hanya terdiri atas empat ayat pendek dianggap mempunyai nilai sepertiga dari al-Qur’an karena berisi pengetahuan tentang realitas Ilahi (haqiqah), sesuatu yang paling  utama dari tiga bentuk pengetahuan dalam al-Qur’an selain thariqah dan syari’ah. Tegasnya, struktur al-Qur’an mencerminkan struktur hierarkhi realitas.[9]
Bukti tertulis yang dikutip di atas menunjukkan bahwa struktur hierarkis al-Qur’an mencerminkan struktur realitas objektif. Meskipun demikian, terdapat pula sejumlah ayat yang mengisyaratkan secara langsung hierarki makhluk (ciptaan atau kreasi). Ayat-ayat ini berbicara tentang pembagian alam raya menjadi tiga, terdiri dari lelangit, bumi, dan alam antara. Terdapat pula lelangit bawah dan alam malaikat yang lebih dekat pada Tuhan. Malaikat, baik menurut al-Qur’an maupun Hadist, diciptakan oleh Tuhan dalam peringkat yang berbeda. Wahyu Allah juga mengajarkan bahwa Surga maupun Neraka ditrandai dengan tingkat-tingkat.[10]
Kedua, secara tekstual al-Qur’an menjelaskan adanya hierarki makhluk (ciptaan), misalnya, tentang pembagian alam raya menjadi tiga, langit, bumi, dan alam antara; bicara bahwa malaikat yang suci diciptakan Tuhan dengan peringkat yang berbeda, dan bahwa surga dan neraka juga diciptakan secara bertingkat. Ketiga, al-Qur’an juga hadis mengakui adanya perbedaan derajat kesadaran intelektual dan spiritual atau pengalaman subjektif seseorang terhadap realitas. Salah satunya adalah adanya pengakuan tentang hierarki orang-orang beriman dan orang-orang berpengetahuan. [11]
a.       Konsep Pengetahuan
            Menurut al-Farabi, apa yang dimaksud sebagai al-‘ilm adalah kepastian yang dicapai oleh jiwa tentang suatu objek dimana kepastian tersebut diperoleh dari penalaran logis berdasarkan teori-teori atas konsep yang benar, pasti, dan unggul. Al-Farabi mempersyaratkan beberapa hal, baik dari aspek subjek maupun metodenya, agar sesuatu pengetahuan dapat dinilai sebagai sebuah ilmu. Pada subjek kajian, al-Farabi mempersyaratkan dua hal: pasti dan universal. Pasti maksudnya bahwa subjek kajian atau premis-premis yang dijadikan dasar penalaran adalah tetap, tidak berubah, sehingga jika sesuatu saat ini dianggap benar tetapi besok menjadi salah, maka ia tidak dapat disebut dan dijadikan sebagai subjek ilmu; sedang universal maksutnya bahwa subjek kajian atau premis-premis yang dijadikan dasar penalaran adalah berlaku umum disetiap tempat. Sementara itu, pada asepk metode, al-Farabi mempersyaratkan bahwa ia harus dihasilkan lewat metode-metode tertentu yang dinilai valid.[12]
            Ilmu dalam pandangan al-Farabi setidaknya harus mengandung tiga prinsip pokok: (1) subjek kajian atau premis yang dijadikan dasar penalaran harus bersifat tetap dan universal, (2) bertujuan untuk memahami hakikat objek, (3) didahului atau dihasilkan dari metode-metode tertentu yang diakui validitasnya. Baginya, apa yang dimaksud sebagai ilmu hanyalah yang bersifat teoritis dan dapat dipertanggung jawabkan secara metodologis, bukan sekedar keterampilan atau keahlian praktis (skill).[13]
b.      Intelek Aktif sebagai Sumber Pengetahuan
            Sumber pengetahuan dalam perspektif al-Farabi adalah intelek aktif, bukan objek-objek yang bersifat material-empirik maupun non-empirik, juga bukan rasio semata. Sebab, intelek aktif inilah yang telah membuat realitas-realitas wujud yang awalnya merupakan bentuk universal dan sederhana menjadi aktual, dan di sisi lain membimbing intelek potensial manusia untuk mampu menangkapnya sehingga memunculkan apa yang disebut pengetahuan.[14]
c.       Realitas Wujud sebagai Sumber dan Objek Pengetahuan
Realitas wujud adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari konsep ilmu al-Farabi. Ia menetapkannya sebagai objek-objek yang diaktualkan oleh intelek aktif, sehingga dapat dipahami oleh rasio. Oleh karena itu, pembahasan tentang realitas wujud mejadi objek dan sumber pengetahuan. Al-Farabi menggunakan istilah wujud dan maujud untuk menunjukkan pada sebuah eksistensi. Istilah maujud merujuk pada zat dari sebuah eksistansi, sedangkan wujud merujuk pada esensi (mahiyah) dari eksistensi yang dimaksud, sehingga wujud dan maujud adalah satu adanya. Istilah wujud dan maujud al-Farabi berarti mencakup seluruh eksistensi, baik entitas-entitas material, entitas metafisik maupun konsep-konsep dalam pikiran yang merupakan hasil dari olah nalar yang ada dalam pikiran (al-maujud fi al-adzhan) dan dalam alam materi (al-maujud fi al-a’yan). Al-Farabi sendiri secara jelas menyatakan bahwa maujud merujuk pada tiga bentuk eksistensi: (1) Seluruh bentuk proposisi (al-maqulat), (2) Persepsi-persepsi yang benar (shadiq) sesuai objek, dan (3) Seluruh bentuk eksistensi di luar pikiran, baik yang dapat digambarkan maupun tidak.(Farabi, 1970: 116-117)          
2.      Ontologi Al-Farabi
            Ketika membahas tentang ontologi dari pemikiran al farabi, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pandangan metafisikanya yang kemudian melahirkan teori emanasinya. Teori tentang metafisika yang dimaksudkan disini adalah teorinya tentang al maujudul awwal. Al-Farabi membahas doktrin hierarki wujud terutama dalam dua karya besarnya, yaitu al-Siyasat al-madaniyah dan al-Madinat al-fadhilah. Istilah yang digunakan untuk wujud  atau eksistensi adalah mempunyai keutamaan yang bervariasi. Dalam salah satu skemanya, hierarki-dengan urutan derajat kesempurnaan yang menurun-dikemukakan sebagai berikut:[15]
a.       Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
b.      Para malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali imaterial.
c.       Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (‘calestial)
d.      Benda-benda bumi (‘terestrial’)
Dalam skema klasifikasi wujud terkait lainnya, Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud yang keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama (al-maujud al-awwal) atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi seksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini kita hanya memiliki prinsip-prinsip pengetahuan tentang hal itudan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristotelian, yaitu sebab material, formal, efisien, dan final. Jenis kedua ini mengacu pada genus-genus benda terindra, termasuk benda-benda langit. Ketiga, wujud yang hanya mengnal tiga sebab saja. Termasuk ke dalam jenis ini adalah wujud yang sepenuhnya imaterial-yang lain dari pada Wujud Pertama dan wujud-wujud diamana esensinya bukanlah benda-benda tetapi berada di dalam atau menempati benda-benda.[16] Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud yang berkaitan erat ini basis ontologis hierarki ilmu AL-Farabi dapat disusun.
a.      Materi Subjek Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof lainnya, yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.[17]
al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud  itu tidak ada, akan timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud.[18]
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadits). Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama, pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap pemikiran Yunani.
al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama. Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis, dan dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bid’ah).
b.      Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi. Teori emanasi adalah teori tentang proses urut- urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al wujud ( Tuhan).[19] Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama. Ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta, yang menciptakan dari tiada menjadi ada. Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
3.      Epistemologi al farabi
Dalam pembahasan tentang epistemologi Al Farabi ini, sangat tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika. Hal ini tercermin dalam bukunya kitabu arai ahlul madinatil fadhilah yang membahas dan mengkategorikan keduanya ke dalam epistemologi pemikirannya. Selain itu, dalam buku-buku sekunder lainnya yang membahas tentang pemikiran Al Farabi, juga menurut penulis sangatlah mencerminkan pandangan epistemologis dari Al Farabi. Seperti dalam tulisan Majid Fakhry (2002) yang menyinggunnya sebagai bagian dari pemikiran epistemologi dari Al Farabi.
Secara umum, pemikiran epistemologis Al Farabi sangat erat dan bertalian dengan persoalan idea dimana pengetahuan tidak lain adalah pengingatan kembali sebagaimana dikatakan oleh plato, dimana ketika manusia melihat objek-objek yang dapat di indera adalah sebuah proses pengingatan kembali. Namun selain itu, Al Farabi juga berpegang pada pandangan Aristoteles tentang abtraksi terhadap objek-objek dengan tidak menyinggung kehidupan jiwa manusia ke dalam alam idea sebelum turun ke bumi. Sehingga menurut Al Farabi (dalam hal tersebut), bahwa pengetahuan tidak lain adalah tidak lain hanya mengabstrakkan terhadap objek-objek inderawi (A. Hanafi, 1969: 95)
a.      Logika
Logika sendiri dalam pandangan Al Farabi (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa epistemologi Al Farabi tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika). Menurut Al-Farabi, logika berhubungan dengan “pengetahuan-pengetahuan sejauh ditunjukkan oleh lafal-lafal dan berhubungan dengan lafal-lafal sejauh menunjukkan pengetahuan-pengetahuan.” [20] Tujuan umum logika adalah sebagai berikut:[21]
1)      Untuk mengatur (taqawwim) dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benardalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mungkin salah.
2)      Untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan kesalahan.
3)      Untuk memberikan suatu alat bantu dalam menguji atau memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan.
Dalam membahas tentang logika ini, Al Farabi mengemukakan beberapa pandangan tentangnya yakni tentang kegunaan logika, ruang lingkup logika dan bagian-bagian logika. Dalam pembahasan mengenai kegunaan logika, Al Farabi berpandangan bahwa maksud dengan adanya logika adalah agar manusia dapat membenarkan pemikiran orang lain atau pemikiran manusia itu sendiri sehingga tidak ada kerancuan dan saling salah menyalahkan dalam pemikiran itu sendiri. Adapun ruang lingkup logika menurut Al Farabi, meliputi segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dalam bentuk kata-kata dan segala macam jenis kata-kata yang dalam kedudukannya bisa digunakan sebagai alat untuk menyatakan pikiran tersebut. Selanjutnya, dalam hal bagian-bagian logika menurut pandangannya adalah tersusun atas delapan bagian yakni:
1)      Kategori (al maqulat assajr) yakni uraian-uraian tentang term yang pertama (single term) dan aturan yang mengatur uraian-uraian tersebut.
2)      Kata-kata atau interpretasi (al ibarah) yang mana menguraikan tentang preposisi-preposisi atau gabungan dari berbagai ekspresi yang ada.
3)      Analogi yang pertama (al qiyas) yakni uraian-uraian tantang aturan-aturan percakapan secara umum.
4)      Analogi yang kedua (al burhan) yakni uraian-uraian tentang aturan-aturan dalam mengungkapkan atau mendemonstrasikan argumen-argumen.
5)      Dialektis (djadal) yakni uraian-uraian tentang pertukaran argumen secara dialektis melalui tanya jawab.
6)      Shopistic (mughalatah) yakni mengutamakan keraguan terlebih dahulu dalam proses berfikir.
7)      Retorika (khatabah) yakni uraian-uraian tentang argumen-argumen retoris dan jenis-jenis pidato atau orasi dan kefasihan dalam mengarahkan pembicaraan.
8)      Syair (syi’ir) yakni uraian-uraian tentang persoalan-persoalan dalam wacana yang sangat puitis, jenis-jenisnya dan aturan-aturan dalam penyusunan syair atau mengenai ilmu tentang persajakan (lebih jelasnya lihat Al Farabi, 2002: 101-104).
Untuk itu, dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa sejatinya dalam urusan epistemologi (meski sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles) khususnya dalam hal logika, Al Farabi tetap memiliki pandangan tersendiri dalam menguraikan hukum-hukum logika itu sendiri. Sehingga ia juga dikenal sebagai al mu’allim ats tsaniy (guru kedua) dalam dunia pemikiran Islam karena guru yang pertama adalah Aristoteles yang sebelumnya telah menanamkan sebuah pakem logika.

b.      Cara Mendapatkan Pengetahuan
Al-Farabi mempunyai gagasan tersendiri tentang cara-cara mencapai pengetahuan ini. Namun, terlebih dahulu akan didiskusikan pandangannya tentang sarana-sarana yang digunakan untuk pencapaian sebuah pengetahuan. Menurutnya, sarana pencapaian pengetahuan terdiri atas tiga hal, yaitu:
1)      Daya Mengindra
Kekuatan kognitif jiwa manusia mula-mula berkembang melalui indra-indra eksternal. Karena itu, al-Farabi menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah diantara indra-indra manusia.[22] Karena itu kemampuan mengkhayal dianggap memiliki status ontologis lebih tinggi dari kemampuan mengindra. Gagasan penting dalam psikologi al-Farabi adalah bahwa setiap daya yang lebih rendah bertindak sebagai materi bagi daya yang lebih tinggi.[23]
2)      Daya Mengkhayal
Dalam teorinya tenttang daya mengkhayal al-Farabi menyinggung apa yang disebutnya sebagai lima indra internal (al-hawass al-bathinah), meliputi:
a)      Daya representasi/penggambaran (al-quwwat al-mushawwi-rah)
Daya representasi adalah  kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk suatu objek, meski objek-objek itu sendiri telah hilang dari jangkauan indra.[24] Daya ini memang tidak memerlukan hadirnya materi untuk menghadirkan bentuk, karena itu kekuatan abstraksinya dianggap lebih sempurna dari pada kekuatan pengindraannya.[25]
b)      Daya esrimasi/duga (al-quwwat al-wahm)
Menurut al-Farabi, wilayah kerja wahm berkaitan dengan entitas-entitas di luar jangkauan pengindraan, seperti soal baik dan buruk. Wahm mengabtraksikan entitas-entitas non-material dan materi, sehingga abstraksinya dikatakan lebih sempurna dibanding abstraksi daya representasi. Untuk memperjelas wahm, al-Farabi memberi contoh kasus domba dengan serigala. Ketika domba melihat serigala, yang ditangkap sang domba bukan sekedar bentuk fisik serigala melainkan juga kebencianterhadapnya. Kebencian terhadap serigala, sesuatu yang sifatnya di luar jangkauan panca indra, ditangkap melalui daya wahm domba.[26]
c)      Daya memori/ingat (al-quwwat al-hafizhah)
Daya ingat (al-quwwah al-hafizhah) adalah kemampuan untuk menyimpan entitas-entitas non-material yang ditangkap wahm adalah sama seperti hubungan daya representasi dengan bentuk-bentuk objek terindra. Dalam Risalah fi Jawab Masail Suila ‘Anha, al-Farabi membedakan antara daya ingat (al-hifzh) dengan pemahaman (al-fahm). Daya ingat berkaitan dengan kata-kata dan lebih bersifat partikuler serta persoalan (asy-khash), sedang pemahaman lebih mengarah pada makna-makna dan bersifat universal serta prinsipil (qawanin). Karena itu, al-Farabi menganggap bahwa pemahaman lebih tinggi dibanding sekedar ingatan.[27]
d)     Daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilah)
Daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilah) adalah kemampuan kreatif untuk menyusun atau menggabungkan citra-citra baru dengan citra-citra lain yang tersimpan dalam daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), melalui proses kombinasi (tarkib) maupun proses pemilihan (tafshil). Maksudnya, daya imajinatif menggabungkan citra-citra tertentu dengan citra-citra lainnya atau memilahkan sebagian citra ketika harus memilih. Ada dua model imajinasi dalam pandangan al-Farabi. Model imajinasi yang pertama ada pada manusia dan disebut dengan imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah) sedang yang kedua pada binatang dan disebut imajinasi sensitif (al-quwwah al-mutakhayyilah).[28]
e)      Daya Berpikir
Kemampuan berpikir adalah kekuatan yang dimanfaatkan manusia untuk memahami. Lewat kemampuan ini pertimbangan (ruwiyah), dihadirkan lewat instrumen yang sama manusia memperoleh ilmu-ilmu (al-ulum) dan seni-seni (shina’at), serta membedakan tindakan yang baik dari yang buruk.[29]
            Menurut al-Farabi, tiga bentuk sarana pencapaian pengetahuan di atas saling berkaitan dan bersifat hierarkis, tidak berdiri sendiri-sendiri. Sarana yang berkemampuan terbatas dan lemah menjadi pendahulu sekaligus penyokong bagi sarana di atasnya yang lebih kuat. Berikut ini akan diuraikan pemikiran al-Farabi tentang cara-cara perolehan pengetahuan:
1)      Pembentukan Teori (Tashawwur)
Menurut al-Farabi, ada dua macam pembentukan teori atau konsep. Pertama, terjadi secara langsung tanpa diupayakan atau didahului keinginan untuk mengetahuinya. Ia muncul secara lazim dalam intelek manusia tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Maksudnya, konsepsi tersebut bersifat lazim dan umum bagi setiap manusia yang dilengkapi watak alami (fitriyah) untuk mengetahuinya. Kedua, lewat penyelidikan induktif, yaitu suatu proses berpikir yang berusaha menemukan unniversalitas dari kajian-kajian atas objek-objek partikular.[30]
2)      Penalaran Logis
Al-Farabi menyebutkan tiga model penalaran, yaitu silogisme (qiyas), induksi (tashaffuh), dan retorika (khuthabiyah). Istilah silogisme sendiri berasal dari bahasa Yunani sullogismos yang berarti mengumpulkan. Al-Farabi menggambarkan silogisme adalah suatu bentuk penalaran di mana dua proposisi yang disebut premis dirujukkan bersama sedemikian rupa sehingga sebuah konklusi niscaya menyertainya.[31]  Selanjutnya, berdasarkan materi dan kualitas premis-premis yang digunakan, al-Farabi menyebutkan ada dua bentuk silogisme. Pertama, silogisme demonstrasi yang tersusun dari premis-premis yang benar, primer, dan memang diperlukan. Kedua, silogisme dialektis dikatakan tersusun dari premis-premis yang hanya bersifat “mendekati keyakinan”. AL-Farabi menyamakan premis-premis seperti itu dengan opini-opini yang umumnya diterima sebagai pernyataan-pernyataan yang diakui oleh “semua orang atau mayoritas orang, atau semua sarjana (‘ulama) dan orang-orang yang berakal (‘uqala) atau mayoritas dari mereka.” Tetapi yang umumny diterima, menurut al-Farabi, tidak niscaya benar.[32]
Sementara itu, induksi (tashaffuh) dalam pengertian al-Farabi adalah sebuah bentuk pengujian atas setiap contoh khusus yang tergolong dalam suatu subjek universal untuk menentukan apakah suatu predikat atau penilaian yang dilakukan tentang hal tersebut berlaku secara universal atau tidak. Adapun retorika (al-khuthabi), adalah suatu bentuk penalaran yang didasarkan atas premis-premis yang kualitasnya hanya bersifat percaya semata (sukun al-nafs).[33]
c.       Validitas Pengetahuan
            Validitas pengetahuan al-Farabi didasarkan oleh beberapa faktor. Di bawah ini akan didiskusikan pandangan al-Farabi tentang validitas pengetahuan:
1)      Keunggulan Premis
      Al-Farabi menyatakan bahwa filsafat yang menggunakan penalaran demonstratif yang didasarkan atas premis-premis primer dinilai sebagai pengetahuan yang paling vallid dan unggul, disusul kemudian ilmu-ilmu kealaman yang didasarkan atas premis-premis hasil observasi lapangan, kemudian ilmu-ilmu keagamaan yang didasarkan atas opini-opini yang umumnya diterima atau paling tidak opini-opini yang diterima lewat metode dialektik.



2)      Kesesuaian dengan Tujuan Akhir
      Validitas pengetahuan al-Farabi dikaitkan dengan sumbangan positifnya bagi manusia dan kemanusiaan, yaitu tercapainya kebahagiaan yang hakiki, yaitu untuk kesempurnaan spiritual dan intelektual manusia.
3)      Pertimbangan Realisasi
      Validitas pengetahuan dan renungan-renungan metafisis bukan dinilai dari besarnya gagasan melainkan dari kemungkinannya untuk dapat direalisasikan dan mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik.
4.      Aksiologi Al Farabi
Tentang pemikiran aksiologi Al Farabi ini, tidak bisa dipisahkan dari pandangannya tentang etika kepemimpinan dan negara. Dimana dalam buku karangannya kitabu ara’u ahlil madinatil fadhilah dibahas secara khusus tentang keduanya dalam pasal tentang alqaulu fiil adhwi arrais (kelompok para pemimpin) dan alqaulu fii Khashali raisil madinatil fadhilah (ciri-ciri pemimpin madinatul fadhilah). Al Farabi sendiri juga selain terkenal dengan teori metafisikanya yang kemudian melahirkan teori emanasinya, juga dikenal sebagai seorang negarawan di masanya. Sehingga dalam karangannya ini Al Farabi mengemukakan seperti apa bentuk negara yang utama tersebut. Meskipun pada pemikirannya ini sangatlah dipengaruhi oleh teori negara dalam Republiknya Plato namun tetap memiliki perbedaan dan keorisinalan tersendiri.
al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.[34] al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
a.       Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya. Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota).[35]
b.      Masyarakat Tidak/ belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan).  Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.[36]
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/ Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat. Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis, yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.
Dalam pasal pertama, Al Farabi sejatinya berbicara tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu sebagai seorang pemimpin dalam wilayahnya yang harus mengayomi seluruh anggota masyarakatnya dengan mendahulukan prinsip kebersamaan dan keutamaan secara utuh. Pikiran yang ada ini, juga sepertinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari Plato yang dipaparkannya dalam Republik, namun meski demikian meiliki keorisinalitasan tersendiri.
Selanjutnya dalam pasal kedua dari buku diatas, Al Farabi mengemukakan pandangannya tentang seperti apa ciri-ciri seorang pemimpin adalah pemimpin yang dapat memakmurkan negaranya dan utamanya memiliki syarat berikut:
a.       Sempurna tubuhnya (sehat secara lahiriyah);
b.      Memahami segala bentuk pesoalan yang dilakoninya (persoalan negara);
c.       Memiliki kecerdasan yang tinggi;
d.      Memiliki ingatan yang kuat;
e.       Memiliki ketanggapan terhadap setiap persoalan yang ada secara cepat;
f.       Memiliki tutur kata yang baik;
g.      Cinta kepada ilmu pengetahuan dan senantiasa mengupdate pengetahuan yang dimilikinya;
h.      Senantiasa menghiasi diri dengan kejujuran dan dapat dipercaya;
i.        Mengutamakan keadilan;
j.        Memiliki kemauan yang kuat;
k.      Memiliki cita-cita atau visi yang jelas;
l.        Tidak rakus dan menjauhi kemewahan yang bersifat jasmani (al farabi, 2002: 127-129).
Konsep negara sendiri yang berusaha ditawarkan oleh Al Farabi adalah negara yang yang memiliki pemimpin dan rakyat yang saleh dan suci yang telah memperoleh kebahagiaan yang hakiki dan senantiasa membawa diri mereka ke dalam cahaya yang terang benderang (baldhatun thayyibatun wa rabbul ghafur). Jadi, bisa dikatakan teori Al Farabi mengenai negara ini hampir sama dengan apa yang diangan-angankan oleh Plato dalam Republik-nya. Dimana seluruh orang yang ada di dalamnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana, adil, cakap dan mengerti segala sesuatu hal tentang kehidupan agar dapat mengayomi rakyatnya secara baik dan benar sehingga menjadikan rakyatnya menjadi makmur, aman dan sejahtera.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
              Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-Ghazali.terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
              Dalam pemahaman teologis Islam, sumber utama pengetahuan, yakni wahyu dan alam yang masing-masing kemudian melahirkan ilmu-ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum, adalah satu, yaitu intelek Ilahi. Islam menyatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan dan alam adalah ayat-ayat-Nya. Keduanya sama-sama berasal dari Tuhan sehingga tidak ada perbedaan diantara keduannya. Ketika membahas tentang ontologi dari pemikiran al farabi, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pandangan metafisikanya yang kemudian melahirkan teori emanasinya. Teori tentang metafisika yang dimaksudkan disini adalah teorinya tentang al maujudul awwal. Dalam pembahasan tentang epistemologi Al Farabi ini, sangat tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika. Hal ini tercermin dalam bukunya kitabu arai ahlul madinatil fadhilah yang membahas dan mengkategorikan keduanya ke dalam epistemologi pemikirannya. Tentang pemikiran aksiologi Al Farabi ini, tidak bisa dipisahkan dari pandangannya tentang etika kepemimpinan dan negara.



BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Khudori Soleh, Integrasi Agama & Filsafat Pemikiran Epistimologi al-Farabi, Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010.
____________, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2013.
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: UI Perss, 1993.
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Osman Bakar, Herarki IlmuMembangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi,Al-Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi, Bandung, Mizan, 1997.




[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996). hlm. 81.
[2] Khudori Soleh, Integrasi Agama & Filsafat Pemikiran Epistimologi al-Farabi, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm. 27.
[3] Ibid., hlm. 28.
[4] Ibid., hlm. 29.
[5] Ibid., hlm. 29.
[6] Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2013), hlm. 113.
[7] Ibid., hlm. 113.
[8] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 39.
[9] Ibid., hlm. 40.
[10] Osman Bakar, Herarki IlmuMembangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi,Al-Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Bandung, Mizan, 1997), hlm. 63.
[11] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 41.
[12] Ibid., hlm. 42.
[13] Ibid., hlm. 46.
[14] Ibid, hlm. 53.
[15] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 118.
[16] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 119.
[17] Mustofa,  Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 133
[18] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 35-36
[19] www.wordpress.com / 2009/ 12/ 22/ al farabi- biografi diakses 30 November 2014
[20] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 152.
[21] Ibid., hlm. 153.
[22] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 88.
[23] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 68.
[24] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 89.
[25] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 70.
[26] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 90.
[27] Ibid., hlm. 90.
[28] Ibid., hlm. 90.
[29] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 72.
[30] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 103-104.
[31] Ibid., hlm. 103-107.
[32] Osman Bakar, Herarki..., hlm. 106.
[33] Khudori Soleh, Integrasi..., hlm. 107-110.
[34] Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI Perss, 1993), hlm. 51
[35] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... ,  hlm. 51
[36] Supriyadi  Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar