AL-FARABI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Drs. Usman, M.A., M.A
Oleh:
TRI PARIYATUN
1420411160
PAI-D (Mandiri)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran
yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa
disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang
didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu
tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani.
Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya.
Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum
terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi
dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang
lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam
arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya
dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan
tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah
panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan dokrin
“Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu
logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr
atau Abunaser.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk memudahkan dalam membahas dan menganalisis aliran ini
agar sistematis, maka kami petakan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana
biografi al-farabi?
2.
Bagaimana keilmuan menurut al-farabi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tharkhan. Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan
pada tahun 257 H (870 M).[1]
Ayahnya seorang pejabat tinggi militer di kalangan dinas ketentaraan dinasti
Samaniyah yang menguasai sebgian besar wilayah Transoxiana, provinsi otonom
dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk lembaga
bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.[2]
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani
di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab
Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa kesusastraan, ilmu-ilmu agama
(khususnya fiqh, tafsir, dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping
al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa
dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu
pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh
studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu
kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut ibn Abu
Usaibi’ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qadhi) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan
tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru
yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah
dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalam)
dan ushul al-fiqh (prinsip-prinsip
yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu
tersebut.[3]
Sekitar tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad
untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada
Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh
filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke
Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami
filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar,
mengajar, dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik
serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir
periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana
menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti ibn al-Furat, ‘Ali ibn ‘Isa
dan Ibn Muqlah.[4]
Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad
memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai
dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun
kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti
Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah.
Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian
ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, puta mahkota dinasti Hamdaniyah
untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang
melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas
(w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawih (w. 980
M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa,
penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormatioleh
pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasihat Sultan.[5]
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339H/
Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-shaghir) kota bagian selatan.
Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi,[6]
seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkungan Saif
al-Daulah”.
Al-Farabi meninggalkan banyak karya tulis. Menurut
penelitian penulis, setidaknya ada 119 buah karya tulis yang dihasilkan
al-Farabi, dan sayangnya kebanyakan dari karya ini telah hilang atau belum
dipublikasikan. Secara garis besar, karya-karya ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa tema: logika, fisika, metafisika, politik, antropologi, musik, dan
beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan terhadap pandangan filsuf
tertentu.[7]
B.
Keilmuan
Al-Farabi
1. Sumber Pengetahuan
Dalam pemahaman teologis Islam, sumber utama
pengetahuan, yakni wahyu dan alam yang masing-masing kemudian melahirkan
ilmu-ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum, adalah satu,
yaitu intelek Ilahi. Islam menyatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan dan
alam adalah ayat-ayat-Nya. Keduanya sama-sama berasal dari Tuhan sehingga tidak
ada perbedaan diantara keduannya.[8]
Adapun gagasan tentang hierarki keilmuan didasarkan
atas kenyataan adanya doktrin atau keyakinan tentang hierarki realitas dalam
Islam. Pertama, ayat-ayat al-Qur’an
sendiri, meski diyakini sama-sama dari Tuhan, tetapi bertingkat-tingkat
nilainya karena hubungan masing-masing dengan realitas yang berbeda. Ayat kursi
(‘ayat al-kursi), misalnya dilukiskan
oleh Rasul sebagai “kepala” (sayyidah)
ayat-ayat al-Qur’an karena berhubungan dengan esensi, sifat dan perbuatan
Tuhan, di samping bahwa ayau kursi mengandung asma ilahi yang paling agung.
Sementara itu, surat Ikhlas (surat
al-ikhlas) yang hanya terdiri atas empat ayat pendek dianggap mempunyai
nilai sepertiga dari al-Qur’an karena berisi pengetahuan tentang realitas Ilahi
(haqiqah), sesuatu yang paling utama dari tiga bentuk pengetahuan dalam
al-Qur’an selain thariqah dan syari’ah. Tegasnya, struktur al-Qur’an
mencerminkan struktur hierarkhi realitas.[9]
Bukti tertulis yang dikutip di atas menunjukkan
bahwa struktur hierarkis al-Qur’an mencerminkan struktur realitas objektif.
Meskipun demikian, terdapat pula sejumlah ayat yang mengisyaratkan secara
langsung hierarki makhluk (ciptaan atau kreasi). Ayat-ayat ini berbicara
tentang pembagian alam raya menjadi tiga, terdiri dari lelangit, bumi, dan alam
antara. Terdapat pula lelangit bawah dan alam malaikat yang lebih dekat pada
Tuhan. Malaikat, baik menurut al-Qur’an maupun Hadist, diciptakan oleh Tuhan
dalam peringkat yang berbeda. Wahyu Allah juga mengajarkan bahwa Surga maupun
Neraka ditrandai dengan tingkat-tingkat.[10]
Kedua,
secara
tekstual al-Qur’an menjelaskan adanya hierarki makhluk (ciptaan), misalnya,
tentang pembagian alam raya menjadi tiga, langit, bumi, dan alam antara; bicara
bahwa malaikat yang suci diciptakan Tuhan dengan peringkat yang berbeda, dan
bahwa surga dan neraka juga diciptakan secara bertingkat. Ketiga, al-Qur’an juga hadis mengakui adanya perbedaan derajat
kesadaran intelektual dan spiritual atau pengalaman subjektif seseorang
terhadap realitas. Salah satunya adalah adanya pengakuan tentang hierarki
orang-orang beriman dan orang-orang berpengetahuan. [11]
a.
Konsep Pengetahuan
Menurut al-Farabi, apa yang dimaksud
sebagai al-‘ilm adalah kepastian yang
dicapai oleh jiwa tentang suatu objek dimana kepastian tersebut diperoleh dari
penalaran logis berdasarkan teori-teori atas konsep yang benar, pasti, dan
unggul. Al-Farabi mempersyaratkan beberapa hal, baik dari aspek subjek maupun
metodenya, agar sesuatu pengetahuan dapat dinilai sebagai sebuah ilmu. Pada
subjek kajian, al-Farabi mempersyaratkan dua hal: pasti dan universal. Pasti
maksudnya bahwa subjek kajian atau premis-premis yang dijadikan dasar penalaran
adalah tetap, tidak berubah, sehingga jika sesuatu saat ini dianggap benar
tetapi besok menjadi salah, maka ia tidak dapat disebut dan dijadikan sebagai
subjek ilmu; sedang universal maksutnya bahwa subjek kajian atau premis-premis
yang dijadikan dasar penalaran adalah berlaku umum disetiap tempat. Sementara
itu, pada asepk metode, al-Farabi mempersyaratkan bahwa ia harus dihasilkan
lewat metode-metode tertentu yang dinilai valid.[12]
Ilmu dalam pandangan al-Farabi
setidaknya harus mengandung tiga prinsip pokok: (1) subjek kajian atau premis
yang dijadikan dasar penalaran harus bersifat tetap dan universal, (2)
bertujuan untuk memahami hakikat objek, (3) didahului atau dihasilkan dari metode-metode
tertentu yang diakui validitasnya. Baginya, apa yang dimaksud sebagai ilmu
hanyalah yang bersifat teoritis dan dapat dipertanggung jawabkan secara
metodologis, bukan sekedar keterampilan atau keahlian praktis (skill).[13]
b.
Intelek Aktif sebagai Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan dalam perspektif
al-Farabi adalah intelek aktif, bukan objek-objek yang bersifat
material-empirik maupun non-empirik, juga bukan rasio semata. Sebab, intelek
aktif inilah yang telah membuat realitas-realitas wujud yang awalnya merupakan
bentuk universal dan sederhana menjadi aktual, dan di sisi lain membimbing
intelek potensial manusia untuk mampu menangkapnya sehingga memunculkan apa
yang disebut pengetahuan.[14]
c.
Realitas Wujud sebagai Sumber dan Objek
Pengetahuan
Realitas
wujud adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari konsep ilmu al-Farabi. Ia
menetapkannya sebagai objek-objek yang diaktualkan oleh intelek aktif, sehingga
dapat dipahami oleh rasio. Oleh karena itu, pembahasan tentang
realitas wujud mejadi objek dan sumber pengetahuan. Al-Farabi
menggunakan istilah wujud dan maujud untuk
menunjukkan pada sebuah eksistensi. Istilah maujud merujuk pada
zat dari sebuah eksistansi, sedangkan wujud merujuk pada esensi (mahiyah)
dari eksistensi yang dimaksud, sehingga wujud dan maujud adalah
satu adanya. Istilah wujud dan maujud al-Farabi
berarti mencakup seluruh eksistensi, baik entitas-entitas material, entitas
metafisik maupun konsep-konsep dalam pikiran yang merupakan hasil dari olah
nalar yang ada dalam pikiran (al-maujud fi al-adzhan) dan
dalam alam materi (al-maujud fi al-a’yan). Al-Farabi
sendiri secara jelas menyatakan bahwa maujud merujuk pada tiga
bentuk eksistensi: (1) Seluruh bentuk proposisi (al-maqulat), (2)
Persepsi-persepsi yang benar (shadiq) sesuai objek, dan (3)
Seluruh bentuk eksistensi di luar pikiran, baik yang dapat digambarkan maupun
tidak.(Farabi, 1970: 116-117)
2. Ontologi
Al-Farabi
Ketika
membahas tentang ontologi dari pemikiran al farabi, hal tersebut tidak bisa
dilepaskan dari pandangan metafisikanya yang kemudian melahirkan teori
emanasinya. Teori tentang metafisika yang dimaksudkan disini adalah teorinya
tentang al maujudul awwal. Al-Farabi membahas doktrin hierarki wujud
terutama dalam dua karya besarnya, yaitu al-Siyasat
al-madaniyah dan al-Madinat
al-fadhilah. Istilah yang digunakan untuk wujud atau eksistensi adalah mempunyai keutamaan
yang bervariasi. Dalam salah satu skemanya, hierarki-dengan urutan derajat
kesempurnaan yang menurun-dikemukakan sebagai berikut:[15]
a.
Tuhan
yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
b.
Para
malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali imaterial.
c.
Benda-benda
langit atau benda-benda angkasa (‘calestial)
d.
Benda-benda
bumi (‘terestrial’)
Dalam skema klasifikasi wujud
terkait lainnya, Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah
sebabnya. Pertama, wujud yang keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab.
Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama (al-maujud al-awwal) atau sebab pertama yang merupakan prinsip
tertinggi seksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini kita
hanya memiliki prinsip-prinsip pengetahuan tentang hal itudan bukan
prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristotelian,
yaitu sebab material, formal, efisien, dan final. Jenis kedua ini mengacu pada
genus-genus benda terindra, termasuk benda-benda langit. Ketiga, wujud yang
hanya mengnal tiga sebab saja. Termasuk ke dalam jenis ini adalah wujud yang
sepenuhnya imaterial-yang lain dari pada Wujud Pertama dan wujud-wujud diamana
esensinya bukanlah benda-benda tetapi berada di dalam atau menempati
benda-benda.[16]
Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud yang berkaitan erat ini basis ontologis
hierarki ilmu AL-Farabi dapat disusun.
a. Materi
Subjek Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof
lainnya, yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. al-Farabi membagi ilmu
Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud dan hal-hal
yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan
dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa
benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.[17]
al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan
pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud
al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya
Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.
Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada
alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada,
ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah
Wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud
itu tidak ada, akan timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya
bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud
tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan
yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud.[18]
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk
menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran
Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadits).
Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga
berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda
dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi
memilih hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya
kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya
satu, sungguhpun bentuknya berbeda. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama
yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya
untuk itu dua. Pertama, pengadaan keharmonisan antara filsafat
Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua,
pemberian tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk
mendukung apresiasi terhadap pemikiran Yunani.
al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles
secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika
Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang “sebab pertama” alam
semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan masalah sulit menyangkut
bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan
dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama. Eksplorasi dari sikap ini nampak dari
wacana tentang ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah
membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak
menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan
teori emanasi. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat
sistematis, dan dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak
bid’ah).
b.
Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya
dari teori Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang
pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama.
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada
apapun. Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi. Teori emanasi
adalah teori tentang proses urut- urutan kejadian suatu wujud yang mungkin
(alam makhluk) dari Zat yang wajib al wujud ( Tuhan).[19]
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia
menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang
bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti materi dan
Mahasempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan
Penggerak Pertama. Ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin
ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta, yang menciptakan dari
tiada menjadi ada. Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk
mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis
Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak
Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang
sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali,
materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang
menjadi alam adalah baharu.
3. Epistemologi
al farabi
Dalam pembahasan tentang
epistemologi Al Farabi ini, sangat tidak bisa dilepaskan dari pandangannya
tentang logika. Hal ini tercermin dalam bukunya kitabu arai ahlul madinatil
fadhilah yang membahas dan mengkategorikan keduanya ke dalam epistemologi
pemikirannya. Selain itu, dalam buku-buku sekunder lainnya yang membahas
tentang pemikiran Al Farabi, juga menurut penulis sangatlah mencerminkan
pandangan epistemologis dari Al Farabi. Seperti dalam tulisan Majid Fakhry
(2002) yang menyinggunnya sebagai bagian dari pemikiran epistemologi dari Al
Farabi.
Secara umum, pemikiran epistemologis
Al Farabi sangat erat dan bertalian dengan persoalan idea dimana pengetahuan
tidak lain adalah pengingatan kembali sebagaimana dikatakan oleh plato, dimana
ketika manusia melihat objek-objek yang dapat di indera adalah sebuah proses
pengingatan kembali. Namun selain itu, Al Farabi juga berpegang pada pandangan
Aristoteles tentang abtraksi terhadap objek-objek dengan tidak menyinggung
kehidupan jiwa manusia ke dalam alam idea sebelum turun ke bumi. Sehingga
menurut Al Farabi (dalam hal tersebut), bahwa pengetahuan tidak lain adalah
tidak lain hanya mengabstrakkan terhadap objek-objek inderawi (A. Hanafi, 1969:
95)
a. Logika
Logika sendiri dalam pandangan Al
Farabi (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa epistemologi Al Farabi
tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika). Menurut Al-Farabi,
logika berhubungan dengan “pengetahuan-pengetahuan sejauh ditunjukkan oleh
lafal-lafal dan berhubungan dengan lafal-lafal sejauh menunjukkan
pengetahuan-pengetahuan.” [20]
Tujuan umum logika adalah sebagai berikut:[21]
1)
Untuk mengatur (taqawwim)
dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benardalam hubungannya dengan setiap
pengetahuan yang mungkin salah.
2)
Untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan
kesalahan.
3)
Untuk memberikan suatu alat bantu dalam menguji atau
memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan.
Dalam membahas tentang logika ini,
Al Farabi mengemukakan beberapa pandangan tentangnya yakni tentang kegunaan
logika, ruang lingkup logika dan bagian-bagian logika. Dalam pembahasan
mengenai kegunaan logika, Al Farabi berpandangan bahwa maksud dengan adanya
logika adalah agar manusia dapat membenarkan pemikiran orang lain atau
pemikiran manusia itu sendiri sehingga tidak ada kerancuan dan saling salah
menyalahkan dalam pemikiran itu sendiri. Adapun ruang lingkup logika menurut Al
Farabi, meliputi segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dalam bentuk
kata-kata dan segala macam jenis kata-kata yang dalam kedudukannya bisa
digunakan sebagai alat untuk menyatakan pikiran tersebut. Selanjutnya, dalam
hal bagian-bagian logika menurut pandangannya adalah tersusun atas delapan
bagian yakni:
1)
Kategori (al maqulat assajr) yakni
uraian-uraian tentang term yang pertama (single term) dan aturan yang mengatur
uraian-uraian tersebut.
2)
Kata-kata atau interpretasi (al ibarah) yang
mana menguraikan tentang preposisi-preposisi atau gabungan dari berbagai
ekspresi yang ada.
3)
Analogi yang pertama (al qiyas) yakni
uraian-uraian tantang aturan-aturan percakapan secara umum.
4)
Analogi yang kedua (al burhan) yakni
uraian-uraian tentang aturan-aturan dalam mengungkapkan atau mendemonstrasikan
argumen-argumen.
5)
Dialektis (djadal) yakni uraian-uraian tentang
pertukaran argumen secara dialektis melalui tanya jawab.
6)
Shopistic (mughalatah) yakni mengutamakan
keraguan terlebih dahulu dalam proses berfikir.
7)
Retorika (khatabah) yakni uraian-uraian tentang
argumen-argumen retoris dan jenis-jenis pidato atau orasi dan kefasihan dalam
mengarahkan pembicaraan.
8)
Syair (syi’ir) yakni uraian-uraian tentang
persoalan-persoalan dalam wacana yang sangat puitis, jenis-jenisnya dan
aturan-aturan dalam penyusunan syair atau mengenai ilmu tentang persajakan
(lebih jelasnya lihat Al Farabi, 2002: 101-104).
Untuk itu, dari pemaparan diatas,
dapat dilihat bahwa sejatinya dalam urusan epistemologi (meski sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles) khususnya dalam hal logika, Al Farabi
tetap memiliki pandangan tersendiri dalam menguraikan hukum-hukum logika itu
sendiri. Sehingga ia juga dikenal sebagai al mu’allim ats tsaniy (guru
kedua) dalam dunia pemikiran Islam karena guru yang pertama adalah Aristoteles
yang sebelumnya telah menanamkan sebuah pakem logika.
b. Cara Mendapatkan Pengetahuan
Al-Farabi mempunyai gagasan
tersendiri tentang cara-cara mencapai pengetahuan ini. Namun, terlebih dahulu
akan didiskusikan pandangannya tentang sarana-sarana yang digunakan untuk
pencapaian sebuah pengetahuan. Menurutnya, sarana pencapaian pengetahuan
terdiri atas tiga hal, yaitu:
1) Daya
Mengindra
Kekuatan
kognitif jiwa manusia mula-mula berkembang melalui indra-indra eksternal.
Karena itu, al-Farabi menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling
rendah diantara indra-indra manusia.[22]
Karena itu kemampuan mengkhayal dianggap memiliki status ontologis lebih tinggi
dari kemampuan mengindra. Gagasan penting dalam psikologi al-Farabi adalah
bahwa setiap daya yang lebih rendah bertindak sebagai materi bagi daya yang
lebih tinggi.[23]
2) Daya
Mengkhayal
Dalam
teorinya tenttang daya mengkhayal al-Farabi menyinggung apa yang disebutnya
sebagai lima indra internal (al-hawass
al-bathinah), meliputi:
a) Daya
representasi/penggambaran (al-quwwat
al-mushawwi-rah)
Daya
representasi adalah kemampuan untuk
menyimpan bentuk-bentuk suatu objek, meski objek-objek itu sendiri telah hilang
dari jangkauan indra.[24]
Daya ini memang tidak memerlukan hadirnya materi untuk menghadirkan bentuk,
karena itu kekuatan abstraksinya dianggap lebih sempurna dari pada kekuatan
pengindraannya.[25]
b) Daya
esrimasi/duga (al-quwwat al-wahm)
Menurut
al-Farabi, wilayah kerja wahm berkaitan
dengan entitas-entitas di luar jangkauan pengindraan, seperti soal baik dan
buruk. Wahm mengabtraksikan
entitas-entitas non-material dan materi, sehingga abstraksinya dikatakan lebih
sempurna dibanding abstraksi daya representasi. Untuk memperjelas wahm, al-Farabi memberi contoh kasus
domba dengan serigala. Ketika domba melihat serigala, yang ditangkap sang domba
bukan sekedar bentuk fisik serigala melainkan juga kebencianterhadapnya.
Kebencian terhadap serigala, sesuatu yang sifatnya di luar jangkauan panca
indra, ditangkap melalui daya wahm domba.[26]
c) Daya
memori/ingat (al-quwwat al-hafizhah)
Daya ingat (al-quwwah al-hafizhah) adalah kemampuan
untuk menyimpan entitas-entitas non-material yang ditangkap wahm adalah sama seperti hubungan daya
representasi dengan bentuk-bentuk objek terindra. Dalam Risalah fi Jawab Masail Suila ‘Anha, al-Farabi membedakan antara
daya ingat (al-hifzh) dengan
pemahaman (al-fahm). Daya ingat
berkaitan dengan kata-kata dan lebih bersifat partikuler serta persoalan (asy-khash), sedang pemahaman lebih
mengarah pada makna-makna dan bersifat universal serta prinsipil (qawanin). Karena itu, al-Farabi
menganggap bahwa pemahaman lebih tinggi dibanding sekedar ingatan.[27]
d) Daya
imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilah)
Daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilah) adalah
kemampuan kreatif untuk menyusun atau menggabungkan citra-citra baru dengan
citra-citra lain yang tersimpan dalam daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), melalui proses kombinasi (tarkib) maupun proses pemilihan (tafshil). Maksudnya, daya imajinatif
menggabungkan citra-citra tertentu dengan citra-citra lainnya atau memilahkan
sebagian citra ketika harus memilih. Ada dua model imajinasi dalam pandangan
al-Farabi. Model imajinasi yang pertama ada pada manusia dan disebut dengan
imajinasi rasional (al-quwwah
al-mufakkirah) sedang yang kedua pada binatang dan disebut imajinasi
sensitif (al-quwwah al-mutakhayyilah).[28]
e) Daya
Berpikir
Kemampuan
berpikir adalah kekuatan yang dimanfaatkan manusia untuk memahami. Lewat
kemampuan ini pertimbangan (ruwiyah), dihadirkan
lewat instrumen yang sama manusia memperoleh ilmu-ilmu (al-ulum) dan seni-seni (shina’at),
serta membedakan tindakan yang baik dari yang buruk.[29]
Menurut
al-Farabi, tiga bentuk sarana pencapaian pengetahuan di atas saling berkaitan
dan bersifat hierarkis, tidak berdiri sendiri-sendiri. Sarana yang berkemampuan
terbatas dan lemah menjadi pendahulu sekaligus penyokong bagi sarana di atasnya
yang lebih kuat. Berikut ini akan diuraikan pemikiran al-Farabi tentang
cara-cara perolehan pengetahuan:
1) Pembentukan
Teori (Tashawwur)
Menurut
al-Farabi, ada dua macam pembentukan teori atau konsep. Pertama, terjadi secara
langsung tanpa diupayakan atau didahului keinginan untuk mengetahuinya. Ia
muncul secara lazim dalam intelek manusia tanpa disadari oleh yang bersangkutan.
Maksudnya, konsepsi tersebut bersifat lazim dan umum bagi setiap manusia yang
dilengkapi watak alami (fitriyah)
untuk mengetahuinya. Kedua, lewat penyelidikan induktif, yaitu suatu proses
berpikir yang berusaha menemukan unniversalitas dari kajian-kajian atas
objek-objek partikular.[30]
2) Penalaran
Logis
Al-Farabi
menyebutkan tiga model penalaran, yaitu silogisme (qiyas), induksi (tashaffuh),
dan retorika (khuthabiyah). Istilah
silogisme sendiri berasal dari bahasa Yunani sullogismos yang berarti mengumpulkan. Al-Farabi menggambarkan
silogisme adalah suatu bentuk penalaran di mana dua proposisi yang disebut
premis dirujukkan bersama sedemikian rupa sehingga sebuah konklusi niscaya
menyertainya.[31] Selanjutnya, berdasarkan materi dan kualitas
premis-premis yang digunakan, al-Farabi menyebutkan ada dua bentuk silogisme. Pertama, silogisme demonstrasi yang
tersusun dari premis-premis yang benar, primer, dan memang diperlukan. Kedua, silogisme dialektis dikatakan
tersusun dari premis-premis yang hanya bersifat “mendekati keyakinan”.
AL-Farabi menyamakan premis-premis seperti itu dengan opini-opini yang umumnya
diterima sebagai pernyataan-pernyataan yang diakui oleh “semua orang atau
mayoritas orang, atau semua sarjana (‘ulama)
dan orang-orang yang berakal (‘uqala)
atau mayoritas dari mereka.” Tetapi yang umumny diterima, menurut al-Farabi,
tidak niscaya benar.[32]
Sementara
itu, induksi (tashaffuh) dalam
pengertian al-Farabi adalah sebuah bentuk pengujian atas setiap contoh khusus
yang tergolong dalam suatu subjek universal untuk menentukan apakah suatu
predikat atau penilaian yang dilakukan tentang hal tersebut berlaku secara
universal atau tidak. Adapun retorika (al-khuthabi),
adalah suatu bentuk penalaran yang didasarkan atas premis-premis yang
kualitasnya hanya bersifat percaya semata (sukun
al-nafs).[33]
c. Validitas Pengetahuan
Validitas pengetahuan al-Farabi
didasarkan oleh beberapa faktor. Di bawah ini akan didiskusikan pandangan
al-Farabi tentang validitas pengetahuan:
1)
Keunggulan Premis
Al-Farabi menyatakan bahwa filsafat yang
menggunakan penalaran demonstratif yang didasarkan atas premis-premis primer
dinilai sebagai pengetahuan yang paling vallid dan unggul, disusul kemudian
ilmu-ilmu kealaman yang didasarkan atas premis-premis hasil observasi lapangan,
kemudian ilmu-ilmu keagamaan yang didasarkan atas opini-opini yang umumnya
diterima atau paling tidak opini-opini yang diterima lewat metode dialektik.
2)
Kesesuaian dengan Tujuan Akhir
Validitas pengetahuan al-Farabi dikaitkan
dengan sumbangan positifnya bagi manusia dan kemanusiaan, yaitu tercapainya
kebahagiaan yang hakiki, yaitu untuk kesempurnaan spiritual dan intelektual
manusia.
3)
Pertimbangan Realisasi
Validitas pengetahuan dan
renungan-renungan metafisis bukan dinilai dari besarnya gagasan melainkan dari
kemungkinannya untuk dapat direalisasikan dan mengubah tatanan masyarakat
menjadi lebih baik.
4. Aksiologi Al
Farabi
Tentang pemikiran aksiologi Al
Farabi ini, tidak bisa dipisahkan dari pandangannya tentang etika kepemimpinan
dan negara. Dimana dalam buku karangannya kitabu ara’u ahlil madinatil
fadhilah dibahas secara khusus tentang keduanya dalam pasal tentang alqaulu
fiil adhwi arrais (kelompok para pemimpin) dan alqaulu fii Khashali
raisil madinatil fadhilah (ciri-ciri pemimpin madinatul fadhilah). Al
Farabi sendiri juga selain terkenal dengan teori metafisikanya yang kemudian
melahirkan teori emanasinya, juga dikenal sebagai seorang negarawan di masanya.
Sehingga dalam karangannya ini Al Farabi mengemukakan seperti apa bentuk negara
yang utama tersebut. Meskipun pada pemikirannya ini sangatlah dipengaruhi oleh
teori negara dalam Republiknya Plato namun tetap memiliki perbedaan dan
keorisinalan tersendiri.
al-Farabi,
selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan
dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut
berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim
lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha
menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai
politik semata.
Dalam
persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada
filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya
sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan
bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan
kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga
sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.
Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di
masyarakat.[34]
al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat,
yakni:
a.
Masyarakat
Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang
mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau
unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar,
maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh
pusatanya. Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga
bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat
untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut
perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang
terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut
negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri
atas para penghuni satu kota (negara kota).[35]
b.
Masyarakat
Tidak/ belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum
sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang
penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga.
Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan
adalah keluarga.
Menurut
al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu
masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan
bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota tubuh
manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain
akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang
terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu
atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus
diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama
dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala
Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia.
Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan,
berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal
mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan
penyampai Wahyu.
Menurut
al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak
sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah
warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki
bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan
Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara,
membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian
di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab
untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.[36]
Meskipun
begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan,
bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan
semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam
membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar.
Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar
berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar
manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga
akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat
pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
al-Farabi
juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/ Rasul
atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan
pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada
sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada
seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki
Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada
seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus
diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin
masyarakat. Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang
sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur
dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang
sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu.
Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera yang fasik, Negara
yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah
tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama, Negeri
Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari
kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri
Kapitalis, yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda.
Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya
mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah),
yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat,
Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka
melakukan keinginan masing-masing.
Dalam pasal pertama, Al Farabi
sejatinya berbicara tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu sebagai
seorang pemimpin dalam wilayahnya yang harus mengayomi seluruh anggota
masyarakatnya dengan mendahulukan prinsip kebersamaan dan keutamaan secara
utuh. Pikiran yang ada ini, juga sepertinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran
dari Plato yang dipaparkannya dalam Republik, namun meski demikian meiliki
keorisinalitasan tersendiri.
Selanjutnya dalam pasal kedua dari
buku diatas, Al Farabi mengemukakan pandangannya tentang seperti apa ciri-ciri
seorang pemimpin adalah pemimpin yang dapat memakmurkan negaranya dan utamanya
memiliki syarat berikut:
a. Sempurna
tubuhnya (sehat secara lahiriyah);
b. Memahami
segala bentuk pesoalan yang dilakoninya (persoalan negara);
c. Memiliki
kecerdasan yang tinggi;
d. Memiliki
ingatan yang kuat;
e. Memiliki
ketanggapan terhadap setiap persoalan yang ada secara cepat;
f. Memiliki
tutur kata yang baik;
g. Cinta kepada
ilmu pengetahuan dan senantiasa mengupdate pengetahuan yang dimilikinya;
h. Senantiasa
menghiasi diri dengan kejujuran dan dapat dipercaya;
i.
Mengutamakan keadilan;
j.
Memiliki kemauan yang kuat;
k. Memiliki
cita-cita atau visi yang jelas;
l.
Tidak rakus dan menjauhi kemewahan yang bersifat
jasmani (al farabi, 2002: 127-129).
Konsep negara sendiri yang berusaha
ditawarkan oleh Al Farabi adalah negara yang yang memiliki pemimpin dan rakyat
yang saleh dan suci yang telah memperoleh kebahagiaan yang hakiki dan senantiasa
membawa diri mereka ke dalam cahaya yang terang benderang (baldhatun
thayyibatun wa rabbul ghafur). Jadi, bisa
dikatakan teori Al Farabi mengenai negara ini hampir sama dengan apa yang
diangan-angankan oleh Plato dalam Republik-nya. Dimana seluruh orang yang ada
di dalamnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana, adil, cakap dan
mengerti segala sesuatu hal tentang kehidupan agar dapat mengayomi rakyatnya
secara baik dan benar sehingga menjadikan rakyatnya menjadi makmur, aman dan
sejahtera.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat
secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang
kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap
dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus
berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh
pemikir muslim belakangan seperti al-Ghazali.terutama dalam metafisika emanasi,
figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang
fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk
menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
Dalam pemahaman teologis Islam, sumber utama
pengetahuan, yakni wahyu dan alam yang masing-masing kemudian melahirkan
ilmu-ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum, adalah satu,
yaitu intelek Ilahi. Islam menyatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan dan
alam adalah ayat-ayat-Nya. Keduanya sama-sama berasal dari Tuhan sehingga tidak
ada perbedaan diantara keduannya. Ketika membahas tentang ontologi dari pemikiran al farabi, hal
tersebut tidak bisa dilepaskan dari pandangan metafisikanya yang kemudian
melahirkan teori emanasinya. Teori tentang metafisika yang dimaksudkan disini
adalah teorinya tentang al maujudul awwal. Dalam
pembahasan tentang epistemologi Al
Farabi ini, sangat tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika. Hal
ini tercermin dalam bukunya kitabu arai ahlul madinatil fadhilah yang
membahas dan mengkategorikan keduanya ke dalam epistemologi pemikirannya.
Tentang pemikiran aksiologi Al
Farabi ini, tidak bisa dipisahkan dari pandangannya tentang etika kepemimpinan
dan negara.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Dedi Supriyadi,
Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002.
Khudori Soleh, Integrasi Agama & Filsafat Pemikiran Epistimologi al-Farabi, Malang:
UIN-MALIKI PRESS, 2010.
____________, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2013.
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata
Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: UI Perss, 1993.
Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Osman Bakar, Herarki IlmuMembangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut
Al-Farabi,Al-Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi, Bandung, Mizan, 1997.
[1] Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996). hlm. 81.
[2] Khudori
Soleh, Integrasi Agama & Filsafat
Pemikiran Epistimologi al-Farabi, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm.
27.
[3] Ibid., hlm. 28.
[4] Ibid., hlm. 29.
[5] Ibid., hlm. 29.
[6] Khudori
Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2013), hlm. 113.
[7] Ibid., hlm. 113.
[8] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 39.
[9] Ibid., hlm. 40.
[10] Osman
Bakar, Herarki IlmuMembangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi,Al-Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Bandung,
Mizan, 1997), hlm. 63.
[11] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 41.
[12] Ibid., hlm. 42.
[13] Ibid., hlm. 46.
[14] Ibid, hlm. 53.
[15] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 118.
[16] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 119.
[17]
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), hlm. 133
[18] Hasyimsah
Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 35-36
[20] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 152.
[21] Ibid., hlm. 153.
[22] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 88.
[23] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 68.
[24] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 89.
[25] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 70.
[26] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 90.
[27] Ibid., hlm. 90.
[28] Ibid., hlm. 90.
[29] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 72.
[30] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 103-104.
[31] Ibid., hlm. 103-107.
[32] Osman
Bakar, Herarki..., hlm. 106.
[33] Khudori
Soleh, Integrasi..., hlm. 107-110.
[34] Munawir
Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta:
UI Perss, 1993), hlm. 51
[35] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... , hlm. 51
[36]
Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar