Rabu, 21 Januari 2015

PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH TANTANGAN GLOBALISASI

PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH TANTANGAN GLOBALISASI


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam



Dosen Pengampu: Dr. Hamdan Daulay, M.Si, M.A





Oleh:

Tri Pariyatun, S.Pd.I
1420411160
PAI-D (Mandiri)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Globalisasi merupakan fenomena yang tak terhindarkan pada abad ke-21 ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi informasi dan transportasi telah menghasilkan perubahan dalam kebudayaan manusia. Umat Islam sebagai bagian dari komunitas dunia, cenderung kurang mampu mengikuti perkembangan zaman. Apalagi jika ingin mengungguli bangsa lain dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengarahkan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik tentu saja semakin sangat rumit. Padahal Islam sangat memperhatikan upaya menciptakan generasi qur’ani (pandangan dan perilaku berbasis nilai qur’an), pribadi berkarakter, dan berkualitas. Generasi yang diharapkan tampil dengan kekuatan iman dan taqwa, memiliki kertampilan, menguasai ilmu pengatahuan dan teknologi, menuju pembumian nilai Islam secara kaffah, cita ideal ini perlu diwujudkan sebagai upaya memenuhi tugas risalah, menyemai suburnya iman, menbagun kekuatan budaya Islam dengan mengamalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain. Visi keunggulan dan daya saing umat, sebagai umat terbaik, umat tengah/adil sebagai saksi sejarah yang mendapat petunjuk.
Dalam perspektif global ada beberapa faktor yang disoroti oleh Djamali, sebagai fonomena kemuduran umat, yaitu: kemunduran bidang agama, akhlak, keterbelakangan ilmu pengatahuan, dan teknologi, keterbelakangan ekonomi, sosial, kesehatan, politik, manajemen, dan bidang pendidikan secara global di dunia Islam, faktor-faktor tersebut yang menperlemah peran umat Islam dalam memaksimalkan kemampuan atau daya saing dalam pecaturan dunia global. Umat Islam nampaknya masih kurang memiliki daya saing global karena keterbelakangan sistemik yang belum bisa dieliminir melalui upaya melejitkan potensi dan kemampuan kompetitif serta kooperatif umat Islam. Sudah saatnya umat Islam menetapkan strategi mewujudkan kemajuan dan kedamaian dalam tatanan dunia baru Islam tidak hanya melalui peran politik, tetapi justru melalui pemantapan peran kulturalisasi Islam secara komperehensif.
Semua persoalan yang memperlemah kondisi umat harus di atas melalui upaya strategis memperkuat sumberdaya umat Islam, baik sumberdaya manusia, alam, sosial, IPTEK, maupun modal/keuangan. Salah satu upaya strategis kearah peningkatan kualitas umat adalah dengan membenahi sistem pendidikan yang secara langsung berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia berkualitas sesuai keperluan lokal, Nasional, regional, dan global. Ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) atau SDM unggul yang mampu menjawab persaingan dan bekerja sama mewujudkan kebaikan untuk semua, harus menjadi visi perjuangan umat dalam semua level dan segmen kehidupan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, banyak hal perlu dicermati dalam kerangka terhadap Pendidikan Islam dan Globalisasi. Islam di Indonesia adalah fakta mayoritas umat. Karena itu, secara konsesional umat Islam Indonesia bertanggung jawab dan memiliki kontribusi besar atas perkembangan dan kemajuan Indonesia dalam semua aspek pembangunan, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hakikat Pendidikan Islam dan globalisasi?
2.      Bagaimana Pendidikan Islam di tengah tantangan globalisasi?
3.      Bagaimana menjawab tantangan Pendidikan Islam di tengah globalisasi?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Haikat Pendidikan Islam dan Globalisasi
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmanniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia, dan alam semesta.[1] Pendidikan itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan pembinaan semaksimal mungkin yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran Islam agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan.[2]
Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.[3]
Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan yaitu tujuan duniawi maupun ukhrawi.
2.      Dasar-dasar Pendidikan Islam
Landasan pendidikan islam terdiri menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut:
a.       Al Qur’an
Al Qur’an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut AQIDAH, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut SYARI’AH.[4]
b.      Sunnah
As-Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an, Seperti Al-Qur’an, sunnah juga berisi aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemashlahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.[5]
c.       Ijtihad
Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bermuara kepada perubahan kehidupan sosial telah menuntut ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran Islam. [6]
3.      Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai bagian dari komponen kegiatan pendidikan, keberadaan rumusan tujuan pendidikan memegang peranan sangat penting. Karena memang tujuan berfungsi mengarahkan aktivitas, mendorong untuk bekerja, memberi nilai dan membantu mencapai keberhasilan.[7] Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan, dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai islami yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadis.[8] Sedangkan Anwar Jundi menjelaskan di dalam konsep Islam, tujuan pertama dan pokok dari pendidikan ialah terbentuknya manusia yang berpribadi muslim.[9]
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.[10]
Oleh karena itu, tujuan akhir dari pendidikan Islam, yaitu membentuk kemampuan dan bakat manusia agar mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan yang penuh rahmat dan berkat Allah di seluruh penjuru alam ini. Hal ini berarti bahwa potensi rahmat dan berkat Allah tersebut tidak akan terwujut nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan tepat.
4.      Fungsi Pendidikan Islam
Menurut Abdul Halim, fungsi pendidikan dilihat secara operasional adalah:[11]
1.      Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat nasioanal
2.      Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.
Menurut pandangan pendidikan islam, fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan dan pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya, agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu, terus menerus mengokohkannya, sehinggamati dalam keadaan fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi, Nashrani, Majusi ataupun agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.[12]
Dari Pemaparan fungsi Pendidikan Islam di atas, betapa pentingnya fungsi pendidikan dan pengajaran di dalam menyelamatkan dan mengembangkan fitrah ini. Di pihak lain, pendidikan dan pengaajaran juga berfungsi untuk mengembangkan potensi-potensi/ kekuatan-kekuatan yang ada pada diri anak agar ia bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi pergaulan hidup di sekelilingnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
5.      Hakikat Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau “mensejagat”.[13] Globalisasi berasal dari kata “the globe”(Inggris) atau “la monde” (Prancis) yang berarti bummi, dunia ini. Maka “globalisasi” atau “mondialisation” secara sederhana dapat diartikan sebagai proses menjadikan semuannya satu bumi atau satu dunia.[14]
Baylis dan Smith mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses meningkatnya keterkaitan antara masyarakat sehingga satu peristiwa yang terjadi di wilayah tertentu semakin lama akan kian berpengaruh terhadap manusia dan masyarakat yang hidup di bagian lain di muka bumi ini. Anthony Giddens memandang globalisasi sebagai sebuah proses sosial yang ditandai dengan semakin intensifnya hubungan sosial yang mengglobal. Artinya, kehidupan manusia disuatu wilayah akan berpengaruh kepada kehidupan manusia di wilayah lain dan begitupun sebaliknya.[15]
B.     Pendidikan Islam di Tengah Tantangan Globalisasi
Arus global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan Islam, melaikan sebagai dinamisator bagi “mesin” yang namanya pendidikan Islam. Bila pendidikan Islam mengambil posisi anti global, maka “mesin” tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan Islam pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intelektual. Sebaliknya, bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilindas oleh “mesin” tadi. Karenanya, pendidikan Islam menarik ulur arus global, yang sesuai ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuaui diulur, dilepas atau ditingggalkan.[16]
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfer modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membetengi diri dari akses negatif globalisasi, tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari impitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.[17]
1.      Krisis Moral-Akhlak
Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggaraan pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu. Kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain.[18]
Karena globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktik pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra-moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam dengan relitas di lapangan, maka dalam pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran Islam yang hendak dididikkan itu dapat landing, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Bila tema yang diangkat itu adalah puasa, misalnya, maka bagaimana masalah puasa ini dapat dijelakan secara psikologis, sosiologis, bahkan sudut pandang medis, sehingga ibadah puasa tersebut terasa amat berarti dan dibutuhkan oleh sang pelaku. Pendidikan Islam yang tidak mau tahu atas apa yang terjadi di sekelilingnya, baik skope lokal maupun global, akan kehilangan makna ibadah itu sendiri.
Pendidikan Islam mengajarkan hidup damai, tetapi idealisme tersebut mengalami benturan nilai dengan peristiwa yang terjadi diberbagai belahan dunia, berupa perang antar negara, kerusuhan masal, pemberontakan, gerakan separatis, bahkan aksi teroris. Dalam pendidikan Islam diajarkan batas aurat, serta hak dan kewajiban seorang Muslim yang menginjak dewasa atau baligh dan mukallaf, tetapi arus global non-Islam menciptakan “kekacauan” nilai batas aurat dan si mukallaf tadi sehingga menimbulkan image bahwa perkara “bupati” (buka paha tinggi-tinggi) dan sekwilda (sekitar wilayah dada), sebagaimana marak ditayangkan di media masa elektronika semisal televisi dan internet, berupa pornografi dan pornoaksi, adalah trends modernitas. Padahal, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hadirnya media massa, terutama televisi, memberikan dampak tertentu kepada masyarakat, khususnya kaum remaja SLTP dan SLTA, yang kadang kala menimbulkan efek dehumanisasi, demoralisasi, dan dekulturalisasi.[19]
Di sinilah tantangan terbesar bagi Perguruan Tinggi Agama Islam, yakni melahirkan intelektual Muslim yang mampu melahirkan konsep-konsep Islamiah yang aplikatif dalam masyarakat Islam yang hidup dalam era globalisasi ini. Khususnya untuk masyarakat Islam Indonesia, kebhinekaan masyarakat Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi perumusan konsep-konsep tersebut.[20] Tuntutan masa depan bagi Perguruan Tinggi Agama Islam adalah menghasilkan alumni yang memiliki moral yang tinggi serta kedalaman ilmu pengetahuan. Dalam pada itu secara institusi, Perguruan Tinggi Agama Islam diharapkan dapat mengaplikasikan nilai-nilai moral yang tinggi secara internal di lingkungan kampus dan dapat menyebarluaskan di masyarakat.[21]
2.      Masih Kuatnya Manajemen Patriarki
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnnya dari unsur ketua yayasan, pembina, pengawas, pengurus, kepala sekolah, bahkan guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada, hal tersebut sudah barang tentu akan menggangu profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut, sehingga dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan.[22]
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-program sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan reliabilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.[23]
Guna mencapai birokrasi seperti di atas, perlu dilakukan terobosan tradisi baru. Misalnya, mengedepankan transparansi dan kompetensi dalam proses penerimaan calon tenaga administrasi, calon PNS dan honorer. Terobosan seperti ini hanya bisa berjalan bila dalam waktu yang sama juga dilakukan pemberantasan proses rekrutmen dengan cara-cara klasik yang umumnya didasarkan pada ikatan primordial yang sempit (hubungan saudara, sedaerah, seorganisasi, sekolega) serta sarat dengan kolusi dan nepotisme. Di samping mementingkan aspek kompetensi, keterampilan, keahlian, dan integritas, manajemen pendidikan modern juga mensyaratkan bersebdikan pada sistem promosi jabatan yang transparan atas dasar pertimbangan yang rasional dan objektif. Jika hal-hal yang demikian dapat diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka pemberdayaan manajemen birokrasi akan berjalan semakin baik pula di masa depan. Salah satu indikatornya adalah, setiap pegawai memiliki etos kerja sebagai pegawai yang profesional. Satu yang perlu dicatat bahwa corporate culture dari IAIN adalah bersifat akademik. Oleh karenanya, iklim birokrasi yang hendak dikembangkan harus pula diarahkan kepada iklim birokrasi akademis.Hal ini membawa implikasi bahwa pihak-pihak yang terlibat di dalam sistem birikrasi IAIN harus pula memiliki visi birokrasi akademis.[24]
3.      Semakin diminatinya Pendidikan Umum
Telah lama dirasakan bahwa perguruan tinggi IAIN dianggap sebagai “kelas kedua” mereka masuk IAIN setelah mereka tidak diterima di universitas atau perguruan tinggi lain. Pendidikan Umum yang ternyata lebih mampu menghadapi tantangan duniawi dalam arti jasmaniah dan materi. Sedangkan pendidikan umum yang lebih bercorak Islam milik lembaga atau yayasan umat Islam tidak mampu bersaing dalam segi kualitas dan kuantitas.[25]
4.      Pendidikan menjadi tuntutan duniawi
Masyarakat cenderung untuk memilih pendidikan yang lebih dapat menjawab tuntutan dan tantangan atas kebutuhan hidup duniawi. Sedangkan Pendidikan Umum hanya memberikan bagian waktu yang kecil bagi Pelajaran Agama, misalnya hanya 2 kali 45 menit saja dalam satu minggu. Berarti kekurangan yang terjadi dalam Pendidikan Agama ini harus diperoleh dari sumber-sumber lain (pendidikan non formal). Jika kekurangan ini tidak terisi berarti akan hilanglah keseimbangan antara IMTAQ dan IPTEK dari pada peserta didik.[26] Akibat Pendidikan Umum telah “lebih mampu” menjawab tantangan duniawi dan materi dari masyarakat, maka Pendidikan Agama dalam arti lembaga (institusionil) merupakan pendidikan yang kurang mempunyai daya tarik bagi sebagian masyarakat Islam Indonesia. [27]
5.      Persaingan dunia kerja
Khusus bagi IAIN dan universitas swasta yang mengelola pendidikan Islam (misalnya Fakultas-Fakultas Tarbiyah Swasta) mulai saat ini sebaiknya meninjau kembali projeksi jumlah sarjana yang akan ditamatkan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Jika tidak hal ini akan menimbulkan inflasi bagi gelar sarjana pendidikan Agama Islam itu sendiri. Hal ini bukanlah merupakan batasan yang dibuat semata-mata oleh Pemerintah, tetapi ini adalah merupakan bagian dari persaingan hidup duniawi. Sebagai contoh lapangan pekerjaan bagi sarjana tamatan IKIP masih lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan pekerjaan bagi tamatan IAIN atau yang sama dengannya.[28]
Perguruan Tinggi Agama Islam seperti IAIN atau UIN, STAIN atau STAIS tidak sepenuhnya dipersiapkan memproduksi lulusan yang berorientasi kepada pegawai negeri karena hanya kecil presentase yang bisa menyerap mereka. Umumnya mereka tidak terserap ke profesi itu. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana dengan mereka yang tidak terserap menjadi pegawai negeri.
6.      Perubahan IAIN Menjadi UIN
      Perguruan Tinggi Agama Islam pada awal berdirinya menyandang misi utama, yakni mencetak ulama yang berwawasan luas dan mampu menjadi panutan masyarakat. Perguruan Tinggi Islam ini umumnya merupakan lembaga bagi anak didik atau santri lulusan Madrasah, Madrasah Diniyah, dan Pesantren untuk melanjutkan pendidikannya.[29] IAIN merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam. IAIN diharapkan memproduk srjana Muslim yang mempunyai keahlian dalm ilmu agama Islam, berakhlak mulia, cakap, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan umat serta masa depan bangsa Indonesia.[30] Disamping itu juga harapan pemerintah untuk mengisi birokrasi pemerintahan di Departemen Agama, seperti urusan Haji, urusan Penerangan, dan urusan Pendidikan. Maka, dengan berkembangnya birokrasi Departemen Agama, tentu saja yang diharapakan untuk mengisinya adalah mereka yang berasal dari perguruan tinggi Islam seperti IAIN.
      Melihat fenomena semakin banyaknya IAIN berkeinginan menjadi UIN, karena dari segi animo mahasiwa cukup besar, maka UIN di masa mendatang semakin bertambah. Hanya saja pendirian IAIN ke UIN memunculkan pertanyaan, apakah produknya terutama program-program umum seperti kedokteran, teknik informatika dan lainnya hanya menambah daftar lulusan yang unggul dalam bidang teori? atau hanya memproduk lulusan untuk memenuhi tenaga pengajar di pendidikan tinggi tetapi lemah tetapi lemah dalam bidang riset, yang hasilnya hanya pandai berteori namun tidak bisa mengembangkan ilmu? Jika demikian, nasib UIN akan sama dengan pendidikan tinggi di berbagai Negara Islam yang tidak memberi kontribusi apa-apa dalam pengembangan keilmuwan baik dalam sains maupun teknologi.[31]
      Para ilmuwan dan elit IAIN sudah lama menyadari dua “kelemahan” IAIN, yakni dalam merespon masa depan umatnya, dan dalam mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Jakarta menjadi salah satu bukti nyata perihal kesadaran tentang perlunya revisi esensi-substansi kurikulum IAIN. Demikian pula halnya dengan sejumlah IAIN lain. Sebenarnya, yang terpenting bukanlah perubahan nama dari IAIN menjadi UIN; tetapi sejauh mana esensi-substansi kurikulum memiliki relevansi dengan makna filosofis pendidikan Islam dan kebutuhan umat Islam. Ini berarti berubah atau tidaknya nama IAIN yang diekspresikan dalam bentuk fakultas/jurusan/program dapat diwujudkan.[32]
C.    Menjawab Tantangan Pendidikan Islam di Tengah Globalisasi
Dengan demikian maka para lulusan perguruan tinggi Islam diharapkan dapat memilih tiga peluang di bawah ini:[33]
1.      Para lulusan yang berminat kembali ke desa, sudah barang tentu di samping keharusan untuk mampu beradaptasi dengan suasana kehidupan pedwsaan-agraris namun bercampur dengan lembaga-lembaga modernitas, mereka tentunya diharapkan  mampu memberikan santunan keagamaan dalam tingkstsn yang elementer.
2.      Para lulusan yang memilih tinggal bersama dengan masyarakat perkotaan dan terlibat aktivitas di lapangan birokratis baik pemerintahan maupun swasta. Kepada mereka ini dititipkan harapan agar mampu mewarnai suasana birokratis itu dengan sentuhan-sentuhan religi sehingga perkembangan warga birokratis sebagai kelompok elit strategis masyarakat dapat membawa kemajuan bagi perkembangan masyarakat. Msayarakat perkotaan sebagai pengaruh dari kehidupan modernitas itu telah mulai dirasakan sebagai tragedi dehumanisasi. Untuk agama hendaknya dapat dijadikan sebagai terapi untuk melakukan penyembuhan itu.
3.      Para lulusan yang tidak berminat terlibat di lapangan birokrasi tetapi lebih memuatkan perhatian untuk memberikan sumbanggan pemikiran-pemikiran filosofis kepada jalannya pembangunan bangsa. Para lulusan perguruan tinggi Islam tersebut mempersiapkan dirinya sebagai kritikus terhadap perjalanan kehidupan masyarakat.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Globalisai merupakan suatu entitas, betapapun kecilnya, yang bila mana disampaikan oleh siapapun, dimana pun, dan kapan pun, akan dengan cepat menyebar keseluruh pelosok dunia. Bila mana entitas tadi telah menjadi lifestyle dan simbol kemodernan, ia dapat mengubah kebiasaan hidup seseorang, bahkan tak jarang menilai ajaran agama sebagai ketinggalan zaman. Jika pendidikan Islam tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih dan modern tersebut, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton, bukan pemain, atau sebagai konsumen, bukan produsen. Maka, upaya memformat ulang teori dan praktik pendidikan Islam, tidak bisa tidak, mestilah segera dilakukan, yaitu dengan pembenahan wawasan dan pola pikir: berbuat secara lokal, berfikir secara global.
            Pendidikan Islam hendaknya dapat kembali kepada sumber “lokalnya” yang autentik, yakni AL-Qur’an dan Hadist, sambil memperluas wawasan terhadap kemajuan zaman, modernitas, dan temuan sains dan teknologi, sedemikian hingga pembaharuan pendidikan Islam tidak mulai dari nol lagi. Fakultas Tarbiyah sebenarnya merupakan aset yang amat berharga dalam melakukan upaya membangun format pendidikan Islam di masa depan. Sebab, ibarat sebuah laboratorium, fakultas ini diarahkan untuk menghasilkan masterpiece dalam hal konsep baru pendidikan Islam. semua tergantung dari apa yang dilakukan sekarang.





BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Abdul Majid, Pembelajaran dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012.
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta, Teras, 2010.
Imam Machali, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar, Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta: PRESMA, 2004.
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: RIDAMULIA, 2005.
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri, 2010.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002.
Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam Di Era Globalisasi, Yogyakarta: TIARA WACANA YOGYA, 1998.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: BUMI AKSARA, 2009.
https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam/, diakses pada tanggal 5 Januari 2015, pukul 13.20 WIB





[1] Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 47.
[2] Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: TIARA WACANA, 2006), hlm. 51.
[3] https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam/, diakses pada tanggal 5 Januari 2015, pukul 13.20 WIB
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (BUMI AKSARA: Jakarta, 2009), hlm. 19.
[5] Ibid., hlm. 20.
[6] Ibid., hlm. 22.
[7] Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), hlm. 27
[8] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 110.
[9] Mangun Budiyanto, Ilmu..., hlm. 28
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002). hlm. 34
[12] Mangun Budiyanto, Ilmu..., hlm. 107
[13] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm. 140
[14] Imam Machali, Musthofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, (Yogyakarta: PRESMA, 2004), hlm. 109.
[15] Ibid., hlm. 109.
[16] Ibid., hlm. 11.
[17] Abdul Majid, Belajar..., hlm. 25
[18] Ibid., hlm. 25
[19] Imam Machali, Musthofa, Pendidikan..., hlm. 12.
[20] Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: TIARA WACANA YOGYA, 1998), hlm. 17.
[21] Ibid., hlm. 19.
[22] Abdul Majid, Belajar..., hlm.28.
[23] Ibid., hlm.32.
[24] Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi ..., hlm. 199.
[25] Syahrin Harahap, Perguruan ..., hlm. 81.
[26] Ibid., hlm. 81.
[27] Ibid., hlm. 82.
[28] Ibid., hlm. 85.
[29] Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta: RIDAMULIA, 2005), hlm. 222.
[30] Ibid., hlm. 224.
[31] Ibid., hlm. 227.
[32] Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi..., hlm. 198.
[33] Syahrin Harahap, Perguruan..., hlm. 207-209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar