PENDIDIKAN ISLAM
DI TENGAH TANTANGAN GLOBALISASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. Hamdan Daulay, M.Si, M.A
Oleh:
Tri Pariyatun,
S.Pd.I
1420411160
PAI-D (Mandiri)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Globalisasi
merupakan fenomena yang tak terhindarkan pada abad ke-21 ditandai dengan
kemajuan teknologi komunikasi informasi dan transportasi telah menghasilkan
perubahan dalam kebudayaan manusia. Umat Islam sebagai bagian dari komunitas
dunia, cenderung kurang mampu mengikuti perkembangan zaman. Apalagi jika ingin
mengungguli bangsa lain dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mengarahkan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik tentu saja semakin
sangat rumit. Padahal Islam sangat memperhatikan upaya menciptakan generasi
qur’ani (pandangan dan perilaku berbasis nilai qur’an), pribadi berkarakter,
dan berkualitas. Generasi yang diharapkan tampil dengan kekuatan iman dan
taqwa, memiliki kertampilan, menguasai ilmu pengatahuan dan teknologi, menuju
pembumian nilai Islam secara kaffah, cita ideal ini perlu diwujudkan sebagai
upaya memenuhi tugas risalah, menyemai suburnya iman, menbagun kekuatan budaya
Islam dengan mengamalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain. Visi keunggulan
dan daya saing umat, sebagai umat terbaik, umat tengah/adil sebagai saksi sejarah
yang mendapat petunjuk.
Dalam
perspektif global ada beberapa faktor yang disoroti oleh Djamali, sebagai
fonomena kemuduran umat, yaitu: kemunduran bidang agama, akhlak,
keterbelakangan ilmu pengatahuan, dan teknologi, keterbelakangan ekonomi,
sosial, kesehatan, politik, manajemen, dan bidang pendidikan secara global di
dunia Islam, faktor-faktor tersebut yang menperlemah peran umat Islam dalam
memaksimalkan kemampuan atau daya saing dalam pecaturan dunia global. Umat
Islam nampaknya masih kurang memiliki daya saing global karena keterbelakangan
sistemik yang belum bisa dieliminir melalui upaya melejitkan potensi dan
kemampuan kompetitif serta kooperatif umat Islam. Sudah saatnya umat Islam
menetapkan strategi mewujudkan kemajuan dan kedamaian dalam tatanan dunia baru
Islam tidak hanya melalui peran politik, tetapi justru melalui pemantapan peran
kulturalisasi Islam secara komperehensif.
Semua
persoalan yang memperlemah kondisi umat harus di atas melalui upaya strategis
memperkuat sumberdaya umat Islam, baik sumberdaya manusia, alam, sosial, IPTEK,
maupun modal/keuangan. Salah satu upaya strategis kearah peningkatan kualitas
umat adalah dengan membenahi sistem pendidikan yang secara langsung berkaitan
dengan pengembangan sumber daya manusia berkualitas sesuai keperluan lokal,
Nasional, regional, dan global. Ketersediaan sumberdaya manusia (human
resources) atau SDM unggul yang mampu menjawab persaingan dan bekerja sama
mewujudkan kebaikan untuk semua, harus menjadi visi perjuangan umat dalam semua
level dan segmen kehidupan.
Dalam
konteks ke-Indonesiaan, banyak hal perlu dicermati dalam kerangka terhadap
Pendidikan Islam dan Globalisasi. Islam di Indonesia adalah fakta mayoritas
umat. Karena itu, secara konsesional umat Islam Indonesia bertanggung jawab dan
memiliki kontribusi besar atas perkembangan dan kemajuan Indonesia dalam semua
aspek pembangunan, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hakikat Pendidikan Islam dan globalisasi?
2. Bagaimana
Pendidikan Islam di tengah tantangan globalisasi?
3. Bagaimana menjawab tantangan Pendidikan Islam di tengah
globalisasi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Haikat
Pendidikan Islam dan Globalisasi
1. Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmanniah
maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan
Allah, manusia, dan alam semesta.[1]
Pendidikan itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan
terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang
lain. Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan pembinaan semaksimal
mungkin yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran Islam agar orang
tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan.[2]
Pendidikan
Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah
menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam
adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi
seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.[3]
Dengan
demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu
sepenuhnya, agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang
diharapkan yaitu tujuan duniawi maupun ukhrawi.
2. Dasar-dasar Pendidikan
Islam
Landasan
pendidikan islam terdiri menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut:
a.
Al Qur’an
Al Qur’an
adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan
masalah keimanan yang disebut AQIDAH, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut
SYARI’AH.[4]
b.
Sunnah
As-Sunnah
merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an, Seperti Al-Qur’an, sunnah juga
berisi aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk
kemashlahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia
seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.[5]
c.
Ijtihad
Pergantian
dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang bermuara kepada perubahan kehidupan sosial telah menuntut ijtihad dalam
bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran Islam. [6]
3. Tujuan
Pendidikan Islam
Sebagai bagian dari komponen kegiatan pendidikan,
keberadaan rumusan tujuan pendidikan memegang peranan sangat penting. Karena
memang tujuan berfungsi mengarahkan aktivitas, mendorong untuk bekerja, memberi
nilai dan membantu mencapai keberhasilan.[7]
Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan, dan mengembangkan
kelangsungan berfungsinya nilai-nilai islami yang bersumber dari kitab suci
Al-Qur’an dan Al-Hadis.[8]
Sedangkan Anwar Jundi menjelaskan di dalam konsep Islam, tujuan pertama dan
pokok dari pendidikan ialah terbentuknya manusia yang berpribadi muslim.[9]
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang
yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional,
perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan
seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi,
fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong
semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan
terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna
kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.[10]
Oleh karena itu, tujuan akhir dari pendidikan Islam,
yaitu membentuk kemampuan dan bakat manusia agar mampu menciptakan
kesejahteraan dan kebahagiaan yang penuh rahmat dan berkat Allah di seluruh
penjuru alam ini. Hal ini berarti bahwa potensi rahmat dan berkat Allah
tersebut tidak akan terwujut nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui
ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan tepat.
4.
Fungsi
Pendidikan Islam
Menurut Abdul
Halim, fungsi pendidikan dilihat secara operasional adalah:[11]
1. Alat
untuk memelihara, memperluas, dan menghubungan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat nasioanal
2. Alat
untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya,
upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki,
serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam
menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.
Menurut
pandangan pendidikan islam, fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar
mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik, tetapi juga
menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan dan pengajaran Islam
dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk menjaga, menyelamatkan,
dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya, agar anak tetap memiliki
aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu, terus menerus mengokohkannya,
sehinggamati dalam keadaan fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi,
Nashrani, Majusi ataupun agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.[12]
Dari
Pemaparan fungsi Pendidikan Islam di atas, betapa pentingnya fungsi pendidikan
dan pengajaran di dalam menyelamatkan dan mengembangkan fitrah ini. Di pihak
lain, pendidikan dan pengaajaran juga berfungsi untuk mengembangkan
potensi-potensi/ kekuatan-kekuatan yang ada pada diri anak agar ia bisa menjadi
manusia yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi pergaulan hidup di
sekelilingnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai
khalifah Allah di muka bumi ini.
5. Hakikat
Globalisasi
Globalisasi
sering diterjemahkan “mendunia” atau “mensejagat”.[13]
Globalisasi berasal dari kata “the globe”(Inggris)
atau “la monde” (Prancis) yang
berarti bummi, dunia ini. Maka “globalisasi”
atau “mondialisation” secara
sederhana dapat diartikan sebagai proses menjadikan semuannya satu bumi atau
satu dunia.[14]
Baylis dan
Smith mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses meningkatnya keterkaitan
antara masyarakat sehingga satu peristiwa yang terjadi di wilayah tertentu
semakin lama akan kian berpengaruh terhadap manusia dan masyarakat yang hidup
di bagian lain di muka bumi ini. Anthony Giddens memandang globalisasi sebagai
sebuah proses sosial yang ditandai dengan semakin intensifnya hubungan sosial
yang mengglobal. Artinya, kehidupan manusia disuatu wilayah akan berpengaruh
kepada kehidupan manusia di wilayah lain dan begitupun sebaliknya.[15]
B. Pendidikan Islam di Tengah
Tantangan Globalisasi
Arus
global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan Islam, melaikan sebagai
dinamisator bagi “mesin” yang namanya pendidikan Islam. Bila pendidikan Islam
mengambil posisi anti global, maka “mesin” tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan
Islam pun mengalami intellectual shut
down atau penutupan intelektual. Sebaliknya, bila pendidikan Islam terseret
oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan
akan dilindas oleh “mesin” tadi. Karenanya, pendidikan Islam menarik ulur arus
global, yang sesuai ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuaui
diulur, dilepas atau ditingggalkan.[16]
Sebagai
agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfer modernisasi
dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara
dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan
kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran
intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekedar proses
penanaman nilai moral untuk membetengi diri dari akses negatif globalisasi,
tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah
ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari impitan
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.[17]
1. Krisis
Moral-Akhlak
Memperhatikan
kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya
penyelenggaraan pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama
tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan
pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah
parah itu. Kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak faktor, seperti
pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain.[18]
Karena
globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktik
pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra-moralitas antara apa yang
diidealkan dalam pendidikan Islam dengan relitas di lapangan, maka dalam
pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu,
sehingga ajaran Islam yang hendak dididikkan itu dapat landing, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Bila tema yang
diangkat itu adalah puasa, misalnya, maka bagaimana masalah puasa ini dapat
dijelakan secara psikologis, sosiologis, bahkan sudut pandang medis, sehingga
ibadah puasa tersebut terasa amat berarti dan dibutuhkan oleh sang pelaku.
Pendidikan Islam yang tidak mau tahu atas apa yang terjadi di sekelilingnya,
baik skope lokal maupun global, akan kehilangan makna ibadah itu sendiri.
Pendidikan
Islam mengajarkan hidup damai, tetapi idealisme tersebut mengalami benturan
nilai dengan peristiwa yang terjadi diberbagai belahan dunia, berupa perang
antar negara, kerusuhan masal, pemberontakan, gerakan separatis, bahkan aksi
teroris. Dalam pendidikan Islam diajarkan batas aurat, serta hak dan kewajiban seorang Muslim yang menginjak dewasa
atau baligh dan mukallaf, tetapi arus global non-Islam menciptakan “kekacauan” nilai
batas aurat dan si mukallaf tadi sehingga menimbulkan image bahwa perkara “bupati” (buka paha
tinggi-tinggi) dan sekwilda (sekitar wilayah dada), sebagaimana marak
ditayangkan di media masa elektronika semisal televisi dan internet, berupa
pornografi dan pornoaksi, adalah trends modernitas.
Padahal, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hadirnya media massa,
terutama televisi, memberikan dampak tertentu kepada masyarakat, khususnya kaum
remaja SLTP dan SLTA, yang kadang kala menimbulkan efek dehumanisasi,
demoralisasi, dan dekulturalisasi.[19]
Di
sinilah tantangan terbesar bagi Perguruan Tinggi Agama Islam, yakni melahirkan
intelektual Muslim yang mampu melahirkan konsep-konsep Islamiah yang aplikatif
dalam masyarakat Islam yang hidup dalam era globalisasi ini. Khususnya untuk
masyarakat Islam Indonesia, kebhinekaan masyarakat Indonesia merupakan
tantangan tersendiri bagi perumusan konsep-konsep tersebut.[20]
Tuntutan masa depan bagi Perguruan Tinggi Agama Islam adalah menghasilkan
alumni yang memiliki moral yang tinggi serta kedalaman ilmu pengetahuan. Dalam
pada itu secara institusi, Perguruan Tinggi Agama Islam diharapkan dapat
mengaplikasikan nilai-nilai moral yang tinggi secara internal di lingkungan
kampus dan dapat menyebarluaskan di masyarakat.[21]
2. Masih
Kuatnya Manajemen Patriarki
Dalam
ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan
manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku kebijakan di
lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnnya dari
unsur ketua yayasan, pembina, pengawas, pengurus, kepala sekolah, bahkan guru
dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan
disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada, hal tersebut
sudah barang tentu akan menggangu profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga
tersebut, sehingga dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit
dipertanggungjawabkan.[22]
Kondisi
tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur manajemen secara
baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-program
sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas
dan reliabilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam
konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen
lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya
tetap memperhatikan profesionalitas.[23]
Guna
mencapai birokrasi seperti di atas, perlu dilakukan terobosan tradisi baru.
Misalnya, mengedepankan transparansi dan kompetensi dalam proses penerimaan
calon tenaga administrasi, calon PNS dan honorer. Terobosan seperti ini hanya
bisa berjalan bila dalam waktu yang sama juga dilakukan pemberantasan proses
rekrutmen dengan cara-cara klasik yang umumnya didasarkan pada ikatan
primordial yang sempit (hubungan saudara, sedaerah, seorganisasi, sekolega)
serta sarat dengan kolusi dan nepotisme. Di samping mementingkan aspek
kompetensi, keterampilan, keahlian, dan integritas, manajemen pendidikan modern
juga mensyaratkan bersebdikan pada sistem promosi jabatan yang transparan atas
dasar pertimbangan yang rasional dan objektif. Jika hal-hal yang demikian dapat
diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka pemberdayaan
manajemen birokrasi akan berjalan semakin baik pula di masa depan. Salah satu
indikatornya adalah, setiap pegawai memiliki etos kerja sebagai pegawai yang
profesional. Satu yang perlu dicatat bahwa corporate
culture dari IAIN adalah bersifat akademik. Oleh karenanya, iklim birokrasi
yang hendak dikembangkan harus pula diarahkan kepada iklim birokrasi
akademis.Hal ini membawa implikasi bahwa pihak-pihak yang terlibat di dalam
sistem birikrasi IAIN harus pula memiliki visi birokrasi akademis.[24]
3. Semakin
diminatinya Pendidikan Umum
Telah
lama dirasakan bahwa perguruan tinggi IAIN dianggap sebagai “kelas kedua”
mereka masuk IAIN setelah mereka tidak diterima di universitas atau perguruan
tinggi lain. Pendidikan Umum yang ternyata lebih mampu menghadapi tantangan
duniawi dalam arti jasmaniah dan materi. Sedangkan pendidikan umum yang lebih
bercorak Islam milik lembaga atau yayasan umat Islam tidak mampu bersaing dalam
segi kualitas dan kuantitas.[25]
4. Pendidikan
menjadi tuntutan duniawi
Masyarakat
cenderung untuk memilih pendidikan yang lebih dapat menjawab tuntutan dan
tantangan atas kebutuhan hidup duniawi. Sedangkan Pendidikan Umum hanya
memberikan bagian waktu yang kecil bagi Pelajaran Agama, misalnya hanya 2 kali
45 menit saja dalam satu minggu. Berarti kekurangan yang terjadi dalam
Pendidikan Agama ini harus diperoleh dari sumber-sumber lain (pendidikan non
formal). Jika kekurangan ini tidak terisi berarti akan hilanglah keseimbangan
antara IMTAQ dan IPTEK dari pada peserta didik.[26]
Akibat Pendidikan Umum telah “lebih mampu” menjawab tantangan duniawi dan
materi dari masyarakat, maka Pendidikan Agama dalam arti lembaga
(institusionil) merupakan pendidikan yang kurang mempunyai daya tarik bagi
sebagian masyarakat Islam Indonesia. [27]
5. Persaingan
dunia kerja
Khusus
bagi IAIN dan universitas swasta yang mengelola pendidikan Islam (misalnya
Fakultas-Fakultas Tarbiyah Swasta) mulai saat ini sebaiknya meninjau kembali
projeksi jumlah sarjana yang akan ditamatkan sesuai dengan kebutuhan lapangan
pekerjaan. Jika tidak hal ini akan menimbulkan inflasi bagi gelar sarjana
pendidikan Agama Islam itu sendiri. Hal ini bukanlah merupakan batasan yang
dibuat semata-mata oleh Pemerintah, tetapi ini adalah merupakan bagian dari
persaingan hidup duniawi. Sebagai contoh lapangan pekerjaan bagi sarjana
tamatan IKIP masih lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan pekerjaan bagi
tamatan IAIN atau yang sama dengannya.[28]
Perguruan
Tinggi Agama Islam seperti IAIN atau UIN, STAIN atau STAIS tidak sepenuhnya
dipersiapkan memproduksi lulusan yang berorientasi kepada pegawai negeri karena
hanya kecil presentase yang bisa menyerap mereka. Umumnya mereka tidak terserap
ke profesi itu. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana dengan mereka yang tidak
terserap menjadi pegawai negeri.
6.
Perubahan IAIN Menjadi UIN
Perguruan Tinggi Agama Islam pada awal
berdirinya menyandang misi utama, yakni mencetak ulama yang berwawasan luas dan
mampu menjadi panutan masyarakat. Perguruan Tinggi Islam ini umumnya merupakan
lembaga bagi anak didik atau santri lulusan Madrasah, Madrasah Diniyah, dan
Pesantren untuk melanjutkan pendidikannya.[29] IAIN
merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam. IAIN diharapkan
memproduk srjana Muslim yang mempunyai keahlian dalm ilmu agama Islam, berakhlak
mulia, cakap, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan umat serta masa depan
bangsa Indonesia.[30]
Disamping itu juga harapan pemerintah untuk mengisi birokrasi pemerintahan di
Departemen Agama, seperti urusan Haji, urusan Penerangan, dan urusan
Pendidikan. Maka, dengan berkembangnya birokrasi Departemen Agama, tentu saja
yang diharapakan untuk mengisinya adalah mereka yang berasal dari perguruan
tinggi Islam seperti IAIN.
Melihat fenomena semakin banyaknya IAIN
berkeinginan menjadi UIN, karena dari segi animo mahasiwa cukup besar, maka UIN
di masa mendatang semakin bertambah. Hanya saja pendirian IAIN ke UIN
memunculkan pertanyaan, apakah produknya terutama program-program umum seperti
kedokteran, teknik informatika dan lainnya hanya menambah daftar lulusan yang
unggul dalam bidang teori? atau hanya memproduk lulusan untuk memenuhi tenaga
pengajar di pendidikan tinggi tetapi lemah tetapi lemah dalam bidang riset,
yang hasilnya hanya pandai berteori namun tidak bisa mengembangkan ilmu? Jika
demikian, nasib UIN akan sama dengan pendidikan tinggi di berbagai Negara Islam
yang tidak memberi kontribusi apa-apa dalam pengembangan keilmuwan baik dalam
sains maupun teknologi.[31]
Para ilmuwan dan elit IAIN sudah lama
menyadari dua “kelemahan” IAIN, yakni dalam merespon masa depan umatnya, dan
dalam mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana ditetapkan
oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menjadi Universitas Islam Negeri Jakarta menjadi salah satu bukti nyata perihal
kesadaran tentang perlunya revisi esensi-substansi
kurikulum IAIN. Demikian pula halnya dengan sejumlah IAIN lain. Sebenarnya,
yang terpenting bukanlah perubahan nama dari IAIN menjadi UIN; tetapi sejauh
mana esensi-substansi kurikulum
memiliki relevansi dengan makna filosofis pendidikan Islam dan kebutuhan umat
Islam. Ini berarti berubah atau tidaknya nama IAIN yang diekspresikan dalam
bentuk fakultas/jurusan/program dapat diwujudkan.[32]
C.
Menjawab Tantangan Pendidikan Islam
di Tengah Globalisasi
Dengan demikian maka para lulusan perguruan tinggi
Islam diharapkan dapat memilih tiga peluang di bawah ini:[33]
1. Para
lulusan yang berminat kembali ke desa, sudah barang tentu di samping keharusan
untuk mampu beradaptasi dengan suasana kehidupan pedwsaan-agraris namun
bercampur dengan lembaga-lembaga modernitas, mereka tentunya diharapkan mampu memberikan santunan keagamaan dalam
tingkstsn yang elementer.
2. Para
lulusan yang memilih tinggal bersama dengan masyarakat perkotaan dan terlibat
aktivitas di lapangan birokratis baik pemerintahan maupun swasta. Kepada mereka
ini dititipkan harapan agar mampu mewarnai suasana birokratis itu dengan
sentuhan-sentuhan religi sehingga perkembangan warga birokratis sebagai
kelompok elit strategis masyarakat dapat membawa kemajuan bagi perkembangan
masyarakat. Msayarakat perkotaan sebagai pengaruh dari kehidupan modernitas itu
telah mulai dirasakan sebagai tragedi dehumanisasi. Untuk agama hendaknya dapat
dijadikan sebagai terapi untuk melakukan penyembuhan itu.
3. Para
lulusan yang tidak berminat terlibat di lapangan birokrasi tetapi lebih
memuatkan perhatian untuk memberikan sumbanggan pemikiran-pemikiran filosofis
kepada jalannya pembangunan bangsa. Para lulusan perguruan tinggi Islam
tersebut mempersiapkan dirinya sebagai kritikus terhadap perjalanan kehidupan
masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Globalisai merupakan suatu entitas,
betapapun kecilnya, yang bila mana disampaikan oleh siapapun, dimana pun, dan
kapan pun, akan dengan cepat menyebar keseluruh pelosok dunia. Bila mana
entitas tadi telah menjadi lifestyle dan
simbol kemodernan, ia dapat mengubah kebiasaan hidup seseorang, bahkan tak
jarang menilai ajaran agama sebagai ketinggalan zaman. Jika pendidikan Islam
tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih dan
modern tersebut, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton,
bukan pemain, atau sebagai konsumen, bukan produsen. Maka, upaya memformat
ulang teori dan praktik pendidikan Islam, tidak bisa tidak, mestilah segera
dilakukan, yaitu dengan pembenahan wawasan dan pola pikir: berbuat secara
lokal, berfikir secara global.
Pendidikan Islam hendaknya dapat
kembali kepada sumber “lokalnya” yang autentik, yakni AL-Qur’an dan Hadist,
sambil memperluas wawasan terhadap kemajuan zaman, modernitas, dan temuan sains
dan teknologi, sedemikian hingga pembaharuan pendidikan Islam tidak mulai dari
nol lagi. Fakultas Tarbiyah sebenarnya merupakan aset yang amat berharga dalam
melakukan upaya membangun format pendidikan Islam di masa depan. Sebab, ibarat
sebuah laboratorium, fakultas ini diarahkan untuk menghasilkan masterpiece
dalam hal konsep baru pendidikan Islam. semua tergantung dari apa yang
dilakukan sekarang.
BAB
IV
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006.
Abdul Majid, Pembelajaran dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2012.
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi
Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta, Teras, 2010.
Imam Machali, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar,
Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta: PRESMA, 2004.
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: RIDAMULIA, 2005.
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri, 2010.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,
Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002.
Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam Di Era Globalisasi, Yogyakarta: TIARA WACANA
YOGYA, 1998.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: BUMI AKSARA, 2009.
https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam/,
diakses pada tanggal 5 Januari 2015, pukul 13.20 WIB
https://hamamburhanuddin.wordpress.com/artikel-2/pendidikan/hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islam/,
diakses pada tanggal 5 Januari 2015, pukul 12.34 WIB.
[1]
Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 47.
[2]
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: TIARA WACANA, 2006), hlm. 51.
[3] https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam/, diakses
pada tanggal 5 Januari 2015, pukul 13.20 WIB
[4]
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (BUMI
AKSARA: Jakarta, 2009), hlm. 19.
[5]
Ibid., hlm. 20.
[6]
Ibid., hlm. 22.
[7] Mangun
Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Griya Santri, 2010), hlm. 27
[8] Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2003), hlm. 110.
[9] Mangun
Budiyanto, Ilmu..., hlm. 28
[10] https://hamamburhanuddin.wordpress.com/artikel-2/pendidikan/hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islam/, diakses pada
tanggal 5 Januari 2015, pukul 12.34 WIB.
[11] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002). hlm. 34
[12] Mangun
Budiyanto, Ilmu..., hlm. 107
[13]
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam:
Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus
Globalisasi, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm. 140
[14]
Imam Machali, Musthofa, Pendidikan Islam
dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, (Yogyakarta: PRESMA, 2004), hlm. 109.
[15]
Ibid., hlm. 109.
[16]
Ibid., hlm. 11.
[17]
Abdul Majid, Belajar..., hlm. 25
[18]
Ibid., hlm. 25
[19]
Imam Machali, Musthofa, Pendidikan...,
hlm. 12.
[20]
Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam
di Era Globalisasi, (Yogyakarta: TIARA WACANA YOGYA, 1998), hlm. 17.
[21]
Ibid., hlm. 19.
[22]
Abdul Majid, Belajar..., hlm.28.
[23]
Ibid., hlm.32.
[24]
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi
..., hlm. 199.
[25]
Syahrin Harahap, Perguruan ..., hlm.
81.
[26]
Ibid., hlm. 81.
[27]
Ibid., hlm. 82.
[28]
Ibid., hlm. 85.
[29]
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan
Globalisasi, (Jakarta: RIDAMULIA, 2005), hlm. 222.
[30]
Ibid., hlm. 224.
[31]
Ibid., hlm. 227.
[32]
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi...,
hlm. 198.
[33]
Syahrin Harahap, Perguruan..., hlm.
207-209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar