Rabu, 21 Januari 2015

PEMIKIRAN KLASIK KHAWARIJ DAN SYI’AH

PEMIKIRAN KLASIK KHAWARIJ DAN SYI’AH


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Sejarah Pendidikan Islam


Dosen Pengampu: Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A






Oleh:

TRI PARIYATUN
1420411160
PAI-D (Mandiri)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para Rasul, para Malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran Nabi-Nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran-aliran kalam klasik, diantaranya; Khawarij dan Syi’ah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran-aliran kalam klasik. Untuk memudahkan dalam membahas dan menganalisis aliran ini agar sistematis, maka kami petakan permasalahannya sebagai berikut:
1.      Bagaimana latar belakang lahirnya aliran Khawarij dan Syi’ah?
2.      Bagaimana pemikiran politik Khawarij dan Syi’ah?
3.      Bagaimana pemikiran teologi Islam prespektif Khawarij dan Syi’ah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Khawarij
1.      Latar Belakang Kemunculan
Khawarij merupakan sebuah aliran kalam yang diambil dari kata kharaja dan merupakan bentuk jamak dari khaarij, yang berarti “keluar dan memisahkan dari barisan Ali”. Pemisahan dari barisan Ali ini, dipandang oleh Asy-Syahrastani sebagai “pemberontakan terhadap imam yang sah diakui oleh rakyat (umat).” Oleh karena itu, istilah Khawarij dapat dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.[1]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/ kelompok/ aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahrim), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Berdasarkan estimasi Khawarij pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.[2]
Ali sebenarnya sudah mencuium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam) nya, tetapi orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang –orang kahwarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.” Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Itulah sebabnya Khawarij disebut juga dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut dengan syyurah dan Al-Mariqah.[4]
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[5] Khawarij ini muncul di Afrika Utara, karena muncul perkataan bahwa tidak ada seoranng pun yang mempunyai hak lebih hanya karena adanya tali hubungan darah dengan sesrorang, hanya ketaqwaan dan kecakapan serta kemampuannya sajalah yang membuat seseorang lebih berhak dari pada yang lain,[6] sehingga kepala negara dipilih secara demokratis. Bahkan Khawarij masih ada sampai sekarang di daerah Oman dan Afrika Utara.[7]


2.      Pemikiran Politik dan Teologi Khawarij
Khawarij adalah aliran pemikiran politik nurani, tidak ada kaitannya dengan pemahaman agama, atau yang lazim disebut dengan mahzab. Salah satu pemikiran Khawarij bahwa khalifah atau kepemimpinan tidak dimiliki hanya oleh kaum tertentu, tetapi merupakan hak setiap muslim. Sepanjang ia memiliki syarat-syaratnya, seperti imam saleh, istiqamah, dan dibai’at seluruh lapisan masyarakat, sekalipun oranng telah memenuhi syarat itu dari Persia, Turki, atau dari Habasyah (Ethiopia). Dengan demikian, pemikiran Scrates dalam masalah ini tidak mereka akui. Bahkan, merupakan musuh atau lazim disebut lawan politik dari pemikiran Khawarij. Pembatasan hak khalifah bagi keluarga tertentu, misalnya keturunan Nabi, sangat mereka benci. Mereka memerangi penganjuran pembatasan itu dengan segala kekuatan yang dimiliki.[8]
Dengan keanekaragaman cara yang ditempuh pengikut Khawarij dalam mencapai tujuan, yaitu politik kepemimpinan, muncul perbedaan pandangan di kalangan mereka dalam hal pengaturan politik kepemimpinan. Karena sedemikian tajamnya perbedaan itu, meluas pula perbedaan pandangan mereka dalam hal prinsip-prinsip ajaran agama atau akidah. Timbulah kelompok yang mencampuradukkan antara politik dengan agama dan kepemimpinan dengan akidah. Sekalipun Khawarij berkelompok dan bercabang-cabang, mereka tetap berpandangan sama dengan dua prinsip.
Pertama, persamaan pandangan mengenai kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa khilafah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi.[9] Jadi menurut Syi’ah, kecuali Zaidiyah, bahwa pengangkatan Imam itu adalah suci dari Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis. Setiap Imam, sejak dari ‘Ali adalah orang-orang yang memangku jabatannya berdasarkan nash dan washiyat. Orang yang diangkat dinamanakan mashush. ‘Ali diangkat oleh Nabi, Imam sesudah ‘Ali diangkat oleh ‘Ali, sedang Imam-imam berikutnya diangkat oleh Imam yang mendahuluinya serta berjuang untuk merebut kedudukan Imam. Dengan demikian orfang-orang Zaidi tidak menganggap Abu Bakar ‘Umar dan ‘Utsman adalah perampas hak jabatan ‘Ali sebagai Khalifah. Kekhalifahan mereka adalah sah.[10]
Doktrin politik Khawarij ialah, kaum Muslimin harus dipimpin oleh seorang yang berkualitas terbaik. Hanya orang yang berkualitas terbaik saja yang boleh berambisi untuk menduduki jabatan Imam. Orang yang tidak berkualitas yang berusaha merebut jabatan Imam, demikian juga para pendukungnya, dihitung sebagai orang yang berbuat jahat dan berdosa. Kriteria yang dipakai untuk mengukur baik buruknyakualitas seseorang ialah kadar ketaqwaannya kepada Tuhan seperti yang termaktub di dalam al-Qur’an. Etika pribadi dan etika negara adalah sama. Orang yang berperilaku baik pasti akan baik pula dalam mengelola negara. Atau dengan kata lain indahnya pengelolaan negara  yang dilakukannya adalah pancaran dari sikap hidupnya sehari-hari.[11]
Kedua, persamaan pandangan yang berkenaan dengan akidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mendirikan shalat, berpuasa, dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna kemudian ia melakukan perbuatan dosa besar maka orang tersebut menurut anggapan Khawarij, telah kafir.[12]
Doktrin-doktrin teologi Khawarij berangkat dari pertanyaan-pertanyaan: Apakah Islam dan Iman bisa dipisahkan? Apakah seseorang yang melakukan dosa besar masih tetap Mu’min sehingga masih berhak menjadi anggota masyarakat Islam (jama’ah Islamiyah)? Siapakah yang mendapat ganjaran Syurga dan siapa pula yang mendapatkan hukuman Neraka?
a.       Orang mukmim yang berbuat dosa besar (murtakib al-kaba’ir atau capital sinner) adalah kafir dan telah keluar dari Islam dan wajib dibunuh. Karena itu kemudian Khawarij mengartikan iman adalah amal shalih. Jadi seorang mukmin adalah orang yang melakukan amal shalih dan jika yang dilakukan amalan dosa besar, maka ia dipandang tidak beriman lagi, ia telah kafir, wajib dilaknat (dibunuh)
b.      Ibidat termasuk rukun iman, maka orang yang tarikush shalat dinyatakan kafir
c.         Anak-anak orang kafir yang mati waktu kecil juga masuk neraka. [13]
Jadi, bagi Khawarij seseorang baru dikatakan beriman (mu’min) jika dia mengakuinya dengan hati, mengucapkannya dengan lidah dan mengamalkannya dengan baik semua perintah agama dan menjauhkan diri dari segala larangan yang akan berakibat berbuat dosa. Iman tidak cukup dengan adanya sikap batin saja. Dia harus diwujudkan dalam perbuatan lahir. Oleh karena itu biarpun seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadah dan menyakinkannya, tetapi tidak mengerjakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta berbuat dosa besar, orang itu menjadi kafir, keluar dari masayarakat Islam.
Basis posisi teologik Khawarij ialah perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. Orang yang berbuat dosa besar menjadi tidak Mu’min lagi. Konsekuensinya, keluar dari Islam. Inilah yang menjadi dasar pandangan mereka bahwa ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan kawan-kawannya telah keluar dari Islam. Oleh karena itu mereka berhak, bahkan wajib dibunuh.[14]
B.     Syi’ah
1.      Latar Belakang Munculnya
Syi’ah menurut  bahasa berarti “sahabat” atau “pengikut”. Dalam pengertian yang berkembang pada waktu sekarang ini, kata syi’ah telah menjurus kepada satu pengertian tersendiri, yakni nama bagi sekelompok orang yang menjadi pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib ra. [15] Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok menduung sikap Ali, kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.[16]
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAW. pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW. diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selai itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali sebagai penggantiunya dihadapan massa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanyak menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata berbicara lain.[17]
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan anggota keluarga dan beberapa orang sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman dan para pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke Mesjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi yang menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi.
Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap dikalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masayarakat untuk mengikutinya. Inilah yang disebut sebagai Syi’ah. Namun, lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.[18]
Seperti yang kita ketahui, Iran adalah salah satu negara Syiah terbesar di dunia. Iran terkenal dengan sejarahnya iaitu ‘Revolusi Islam Iran’ yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, seorang pemimpin besar Syiah. Namun, pernahkah kita bertanya, “mengapa Syiah itu berpusat di Iran dan tidak di negara lain?” Untuk menjawab persoalan berkenaan, maka adalah seharusnya kita kembali kebelakang, mengkaji sejarah masa lalu. Iran merupakan negara yang dahulunya dikenali dengan nama Parsi. Parsi merupakan sebuah kerajaan yang besar dimana majoriti penduduknya menganut agama Majusi (penyembah api, atau lebih dikenal sebagai Zoroasterisme). Kehidupan mereka mewah dengan harta benda, kerana sememangnya kota-kota di Parsi itu indah dan subur, serta peradabannya cukup maju pada masa itu.
Pada ketika itu, banyak kaum Majusi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Niat mereka hanyalah satu : untuk menghancurkan Islam dari dalam. Mereka menyusun rancangan demi meruntuhkan kekuasaan kaum muslimin dengan cara menyelewengkan ajaran Islam dengan mencampur adukkan aqidah Majusi dan Yahudi. Dan antara rancangan lain yang yang termasuk dalam strategi melemahkan Islam adalah dengan pembunuhan Umar Al-Khattab, Khalifah Islam yang telah meruntuhkan empayar Majusi Kaisar Parsi. Hal itulah yang menjadikan Syiah benar-benar benci kepada Umar Al-Khattab. Kebencian yang terlalu tinggi itu dipotretkan lagi apa bila mengagungkan Abu Lu’luah (pembunuh Khalifah Umar) dengan gelaran ‘Bapa Pembela Agama’[19]
Sementara salah seorang puteri kaisar terakhir mereka, yaitu Yazdegerd III telah menjadi tawanan kaum Muslimin sejurus kejatuhan Kaisar Parsi. Puteri Kaisar itu akhirnya dinikahkan dengan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Maka, kerana ini jugalah mereka begitu fanatik dan cenderung ‘mendewakan’ Hussein bin Ali, ekoran Hussein memiliki keturunan dari puteri Sassania yang mereka anggap sebagai keramat. Disini terjawablah sudah mengapa Syiah berpusat di Iran. Syiah adalah agama yang ‘dilahirkan’ bagi membalas dendam kekalahan Kaisar Parsi terhadap Islam. Syiah adalah simbol hasad dan kemarahan kaum Parsi kepada bangsa Arab amnya dan kaum Muslimin khasnya.[20]
2.      Pemikiran Politik dan Teologi Syi’ah
Syi’ah pada awalnya bukan merupakan mahzab atau paham dalam agama, melainkan merupakan salah satu pandangan politik yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang lebih berhak untuk memegang kepemimpinan dibandingkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.[21] Dalam masalah keimanan, Syiah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan (the devine righ of God). Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan Imam haruslah berdasarkan nash (dalil agama) dan washiyat (wasiat/testamen) dari Imam sebelumnya. Tuhan telah mendelegasikan hak suci-Nya itu kepada para Nabi dan Muhammad s.a.w. telah mewasiatkannya kepada ‘Ali. Maka ‘Ali-lah orang pertama yang menerima wasiat untuk menjadi Imam. Selanjutnya setiap Imam yang telah mendapat wasiat mempunyai hak mutlak untuk mewasiatkannya lagi kepada seseorang yang dikehendakinya.[22]
Mengingat kedudukan Imam itu begitu muia dan agung, penting serta tinggi, maka menurut kepercayaan orang-orang Syi’ah, tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan pengangkatan seorang Imam dipercayakan pada orang banyak, yang bukan Nabi atau Imam, seperti pemilihan Abu Bakar, pengangkatan ‘Umar dan pemilihan terhadap ‘Utsman yang dilakukan oleh sebuah komisi. Tetapi haruslah jelas diangkat oleh Tuhan melalui Nabi, atau melalui ‘Ali, atau oleh seorang Imam yang mendahuluinya, sebagai pemangku hak suci.[23] Jadi menurut pandangan Syi’ah, kecuali Zaidiyah, bahwa pengangkatan Imam itu adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis.[24]
Pada masa kepemimpinan Ali, umat Islam benar-benar tengah dilanda ketidakpastian. Mereka yang cenderung berpihak kepada Ali berkeyakinan bahwa Mu’awiyah tidak bersungguh-sungguh menuntut kematian Utsman. Kematian Utsman sengaja diangkat sebagai isu politik untuk mengorbankan ketidakpuasan umat sehingga beralih ketangannya. Agaknya nasib mujur ada di pihak Mu’awiyah. Ia berhasil memenuhi ambisinya. Ia mampu menggunakan tragedi berdarah yang menimpa Utsman sebagai tunggangan politik menuju puncak kepemimpinan. Kekalahan yang diderita Mu’awiyah dalam perang Shiffin sempat menghambat langkahnya. Akan tetapi, kekalahan itu dapat ditebusnya dengan tipu muslihat yang terjadi dalam perundingan. Di atas semua itu, terbunuhnya Ali menjadi penentu tercapainya impian Mu’awiyah dalam meraih tahta. Jika Ali tidak terbunuh, niscaya Mu’awiyah tidak akan pernah mencapai kepemimpinan umat dan tidak pula satu orang pun keluarga Mu’awiyah yang akan memegang kendali kepemimpinan umat Islam.
Bagi Syi’ah, Imam atau Khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya kelayakan politik semata. Mereka berpendapat pula bahwa Imam itu adalah seorang yang ma’shum, suci dari dosa.[25] Bagi orang Syi’a, Imam itu adalah seorang yang pandai dalam segala macam cabang ilmu pengetahuan, khususnya di lapangan ilmu pengetahuan agama. Dia juga seseorang yang berkualitas luhur dan mulia dan tidak ternoda dengan dosa seperti halnya para Nabi.Perbedaan antara Nabi dengan Imam hanya terletak pada penerimaan wahyu. Jika Nabi menerima pesan dan aturan-aturan agama melalui wahyu, Imam menerimanya melalui Nabi dan menjadi kewajibannya untuk membimbing manusia ke arah kehendak Allah dan Sunnah Nabi.[26] Berikut ini adalah analisis singkat atas beberapa prinsip dan konsep pemikiran Islam (Syi’ah):
1.      Itrah
Doktrin Syi’ah memandang ‘itrah sebagai sesuatu yang berasal dari sunnah Nabi Suci dan bukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Ia dipahami sejajar dan berdampingan dengan Sunnah dan Al-Qur’an. Dan ketiga-tiganya ini memiliki hubungan logis satu sama lain. Sesungguhnyalah, bisa dikatakan bahwa melalui ‘itrah itulah Al-Qur’an dan Sunnah yang benar bisa dipahami.[27]


2.      ‘Ishmah
‘Ishmah atau kesucian dalam akidah Syi’ah, adalah prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat, yakni orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak, mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.[28]
Sebagai akibat dari segala bentuk kejahatan dan pengkhianatan boleh dan bisa saja dilakukan oleh para raja, sebab hanya para imam sajalah yang suci dan kebal dari kejahatan lantaran perbedaan “intrinsik” mereka dengan orang lain. Selanjutnya akibat dari menyebarnya gagasan-gagasan yang salah ini, kepemimpinan Syi’ah melupakan segala corak pandangan tentang kesalehan dan ketakwaan selama masa pemerintahan Dinasti Safawi (dari abad ke-16 Masehi dan seterusnya). Dan prinsip ‘ishmah yang progresif serta revolusioner ini pun meninggalkan gelanggang kehidupan sehari-hari, masyarakat dan politik.[29]
3.      Wishayah
Wishayah dalam doktrin Syi’ah sesungguhnya bukanlah “pemilihan” atau pencalonan, melainkan pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi Suci dengan mengumumkan seorang mukmin yang paling saleh sebagai pengganti beliau dalam mendakwahkan pesan Islam. Dalam khutbah-khutbah Safawi, wishayah tak lain adalah rezim turun-temurun yang diwariskan dari ayah ke anak sepanjang generasi demi generasi suatu “pemerintahan melalui penunjukkan” yang dibangun atas dasar kekerabatan dengan membenarkan prasangka ras, keturunan, dan hubungan darah.[30] Orang-orang Zaidiyah berpendapat bahwa Imam itu haruslah dipilih di aklangan anak keturunan ‘Ali dengan Fathimah dengan memenuhi syarat: berilmu, taqwa, murah tangan, berani, dan berkampanye serta berjuang untuk merebut kedudukan Imam.[31]
4.      Wilayah
Wilayah dalam mahzab Syi’ah berarti menerima perwalian, kepemimpinan, dan pemerintahan oleh ‘Ali (setelah wafatnya Nabi Suci), sebab ‘Ali adalah contoh agung pengabdian kepada Allah. Sumber pengakuan atas kepemimpinannya adalah karena dia merupakan obor-petunjuk bernyala terang serta pemandu tulus kafilah umat manusia.[32]
5.      Imamah
Imamah dalam mahzab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[33]
6.      Keadilan
Keadilan al-‘adl) dalam mahzab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep bahwa keadilan adalah sifat intrisik Allah. Denagn demikian, setiap tindakan manusia benar atau salah haruslah dinilai oleh-Nya. Karena itu, ‘adl adalah infrastruktur sistem dunia. Dan pandangan dunia kaum muslim didasarkan atasnya. Konsekuensinya, jika suatu masyarakat tidak dibangun atas landasan ini, makan ia adalah masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang dipastikan bakal hancur lantaran,seperti telah disebutkan, Allah bersikap adil dan penciptaan bertumpu di atas keadilan. Oleh sebab itu, sistem-sistem kehidupan haruslah juga disasarkan atasnya dan karena kenyataan ini, maka kediktatoran dan ketidakadilan dalam pemerintahan adalah sitem-sistem anti Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti ditumbangkan dan dihancurkan.[34]
7.      Taqiyyah
Taqiyyah (menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah-masalah agama disebabkan adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadaholeh rezim penguasa tiranis dan zalim) telah dan masih memiliki dua tujuan pokookdalam diktrin Syi’ah. Tujuan pertama adalah memelihara perasaan solidaritas diantara kaum muslim dan kedua, melanjutkan perjuangan melawan pnindasan.[35]
Dalam mzhabab Syi’ah taqiyyah adalah faktor yang mempersatukan sesama kawan, tetapi melambangkan perlawanan terhadap musuh.
8.      Sunnah Nabi SAW
Mahzab Syi’ah Alawi adalah penjaga dan pemelihara sunnah Nabi dan musuh bagi berbagai bid’ah atau inovasi. Walhasil, ‘Ali adalah manifestasi dari mengikuti, melanjutkan, dan benar-benar menyadarkan diri kepada prosedur-prosedur Muhammad.
9.      Ghaybah
Ghayabah (ghaibnya Imam Mahdi) dalam mahzab Syi’ah bermakna bahwa orang-orang bertanggung jawab dalam menentukan jalan kehidupan pribadi dan sosial, keyakinan mereka dan sebagainya di jalan yang mereka yakini bahkan mengantarkan kepada kesalehan.[36]
10.  Syafa’at
Dalam mahzab Syi’ah “Alwi, syafa’ad adalah faktor untuk menjamin keselamatan di akhirat dengan penuh tanggung jawab berjuang menegakkan keadilah di muka bumi ini.[37]
11.  Ijtihad
Ijtihad dalam mahzah Syi’ah adalah faktor yang mempengaruhi dinamisme agama sepanjang waktu. Ia merupakan integrasi berbagai keputusan hukum agama dengan evolusi dan perubaha di dalam kondisi-kondisi kehidupan manusia.
Setelah prinsip-prinsip yurisprudensi (fiqih) ditetapkan, munculah persoalan menyeiringi keputusan-keputusan hukum dengan kemajuan-kemajuan mutakhir. Ijtihad berusaha memecahkan problem ini melalui empat prinsip : “kitab suci (Al-Qur’an), Sunnah, akal, dan konsensus”. Dengan cara seperti ini, semua masalah dan fenomena baru yang pernah terjadi sebelumnya dalam agama atau doktrin agama dan katrena itu menimbulkan berbagai problem bagi masyarakat secara jelas bisa diselesaikan dengan bantuan satu dari  keempat prinsip tersebut. Dengan demikian, ijtihad adalah cara yang pasti untuk menjaga agama atau pemikiran keagamaan dari kemandegan dalam pola-pola lama dan menjadi terasing dalam masyarakat yang berubah dengan cepat.[38]
12.  Doa
Doa dalam doktrin Syi’ah adalah teks permohonan yang mengajarkan, menyadarkan, dan menanamkan kebaikan serta keindahan. Berdoa merupakan satu tindakan yang mengangkat ruh dan mendekatkan seseorang kepada Allah.[39]
13.  Taqlid
Dalam pemekiran Syi’ah, taqlid (mengikuti ulama dalam masalah-masalah yang seseorang tak mampu memahaminya) adalah hubungan yang logis, ilmiah, alamiah, dan penting, antara orang awam atau bukan-ahli dengan ulama dalam masalah-masalah praktis dan hukum yang mengandung aspek-aspek teknis yang tidak diketahui oleh orang bukan ahli.[40]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberpa pemaparan diatas, serta segala penjelasan-penjelasan, kami dapat mengambil kesimpulan. Kaum Khawarij merupakan kaum yang memisahkan diri dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan sikapnya yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi dalam pertemuan dengan kekuatan Ali, kaum khawarij mengalami kekalahan besar, tapi akhirnya Ibn al- Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib. Di kemudian hari kaum Khawarij terpecah-pecah dalam beberap sub-sekte. Sekalipun Khawarij berkelompok dan bercabang-cabang, mereka tetap berpandangan sama dengan dua prinsip.
Pertama, persamaan pandangan mengenai kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa khilafah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi.
Kedua, persamaan pandangan yang berkenaan dengan akidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mendirikan shalat, berpuasa, dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna kemudian ia melakukan perbuatan dosa besar maka orang tersebut menurut anggapan Khawarij, telah kafir.
Sedangkan Syi’ah adalah golongan umat Islam yang terlampau mengagungkan keturunan Nabi. Mereka mendahulukan keturunan Nabi, untuk menjadi khalifah. Dalam hal ini golongan syi’ah menetapkan bahwa Imam Ali-lah yang paling berhak memegang jabatan kholifah setelah Nabi.




DAFTAR PUTAKA

Adeng Muchar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern, Cet. I, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005.
Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Mulyono, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Cet. I, Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010.
Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik Antar Mazhan Dalam Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Rosihon Anwar,dkk, Ilmu Kalam, Cet. II, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2006.
Sahiron Syamsudin, Islam Tradisi Dan Peradaban, Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: PT. TIARA WACANA YOGYA, 1990.
            





[1] Adeng Muchar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern, Cet. I (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005), hlm. 77.
[2] Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Kalam, Cet. II (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2006), hlm. 49.
[3] Ibid., hlm. 50.
[4] Ibid., hlm. 50.
[5] Ibid., hlm. 50.
[6] Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm. 76.
[7] www.sufigate.20.com, Pada Hari Sabtu, Tanggal 29 Desember 2014, Pukul 21.20 WIB.
[8] Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik Antar Mahzab dalam Islam, Cet. I (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013), hlm. 114.
[9] Ibid, hlm. 116.
[10] Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah..., hlm. 67-68.
[11] Ibid., hlm. 76.
[12] Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik ..., hlm. 114.
[13] Mulyono, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Cet. I (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm.107.
[14] Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ..., hlm. 79.
[15] Ibid., hlm. 5.
[16] Rosihon Anwar, dkk, Ilmu..., hlm. 90.
[17] Ibid., hlm. 91.
[18] Ibid., hlm. 91.
[19]  http://networkedblogs.com/O7lWK. Pada Tanggal 26 Oktober 2014. Pukul: 09.33 WIB.
[20]  http://networkedblogs.com/O7lWK. Pada Tanggal 26 Oktober 2014. Pukul: 09.33 WIB.
[21] Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, Konflik..., hlm. 116.
[22] Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ..., hlm. 62.
[23] Ibid., hlm. 64.
[24] Ibid., hlm. 65.
[25] Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ..., hlm. 62.
[26] Ibid., hlm. 64.
             [27] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 61.
[28] Ibid., hlm. 62.
[29] Ibid., hlm. 64.
[30] Ibid., hlm. 64.
[31] Nourouzzaman Shiddiqi, Siyi’ah ..., hlm. 68.
[32] Ali Syari’ati, Islam..., hlm. 61.
[33] Ibid, hlm. 65.
[34] Ibid., hlm. 66.
[35] Ibid., hlm. 67.
[36] Ibid., hlm. 70.
[37] Ibid., hlm. 71.
[38] Ibid., hlm. 72.
[39] Ibid., hlm. 73.
[40] Ibid., hlm. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar