Senin, 08 Desember 2014


PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
PADA MASA KLASIK

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas pengganti UTS
Matakuliah: Pembaharuan dalam Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Hendro Widodo, M.Pd.




Di susun oleh:
Tri Pariyatun
09470111

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
PENDAHULUAN

Sejarah merupakan realitas masa lalu, keseluruhan fakta, dan merupakan pristiwa yang unik dan berlaku hanya sekali dan tidak akan terulang kedua kalinya. Oleh karena itu, orang yang tidak beradab, berhayal, bahwa masa lalu tidak perlu dihiraukan lagi. Pandangan ini sungguh sangat keliru, dan cenderung tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Umat manusia dalam sejarahnya telah memperlihatkan tentang pentingnya pendidikan. Hal ini dapat ditelusuri sejak dari masa rasul hingga masa sekarang ini. Kegiatan yang dilakukan Rasulullah seperti mengadakan ta’lim (pembelajaran) kepada para sahabatnya, guna mengetahui ajaran-ajaran Islam, sehingga rasul membuat kompleks belajar Dar-al-Arqam, ini semua merupakan salah satu bukti besarnya perhatian rasul terhadap pendidikan.[1]
Usaha pendidikan ini kemudian ditindaklanjuti oleh generasi berikutnya, pendidikan dan pengajaran terus tumbuh dan berkembang pada masa Khulafaur Rasyidin, masa Bani Ummayah, dan masa Bani Abbasiyah. Pada masa awal Daulat Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat pesat di seluruh negara Islam hingga lahir madrasah-madrasah yang tidak terhitung banyaknya, bahkan madrasah berdiri dari kota hingga ke desa.[2] Anak-anak dan orang dewasa berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, demi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Untuk mencapai pendidikan tentunya diperlukan metode, sistem, dan materi pendidikan. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perkembangan lembaga-lembaga pendidikan pada masa klasik?
2.      Bagaimana sistem pendidikan Islam pada masa klasik?
Adapun tujuan makalah ini yaitu agar dapat menegtahui secara khusus bagaimana sistem pendidikan Islam pada masa klasik (pada masa awal daulah Abbasiyah). Serta mengetahui bagaimana pembaharuan dalam pendidikan Islam.



PEMBAHASAN

A.      BERKEMBANGNYA LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-betuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah:
1.      Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
Kuttab/maktabberasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan untuk tulis-menulis.[3] Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern.[4]

2.      Pendidikan rendah di Istana
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah dewasa. Oleh karena itu mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.[5]
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya. Di istana orang tua murid (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya.[6]

3.      Toko-toko Kitab
Pada mulanya toko-toko kitab berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Tetapi, toko-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpul para ulama, pujangga, dan  ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pegembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.[7]

4.      Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)
Dengan dijadikannya oleh Rasulullah Muhammad SAW., rumah Al-Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat berkumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah SWT melalui malaikat Jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi-materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad SAW.[8] Dalam perkembangan pendidikan Islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.

5.      Majlis atau saloon kesusasteraan
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya kata majlis merujuk pada arti tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya, di saat dunia pendidikan Islam mencapai zaman keemasan, majlis berarti sessi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung, dan belakangan majlis diartikan sejumlah aktivitas. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu sehingga majlis banyak ragamnya.[9]

6.      Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
Banyak ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli lagi murni. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.[10]

7.      Rumah Sakit
Rumah sakit bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-rang sakit, rumah sakit juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[11]

8.      Perpustakaan
Perpustakaan juga mempunyai peranan penting dalam transmisi pengetahuan. Di perpustakaan telah disimpan beribu-ribu buku dan dilengkapi ruangan untuk menyelenggarakan halaqah-halaqah. Penguasa-penguasa biasanya mengundang ulama-ulama untuk memanfaatkan perpustakaan mereka untuk mengembangkan keilmuan.[12]

9.      Masjid
Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi. Ia mempunyai peran penting bagi masyarakat Islam sejak awal sampai sekarang. Masjid berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, tempat ibadah, tempat pengadilan, dan sebagainya. Tetapi yang lebih penting adalah sebagailembaga pendidikan.[13]

B.       SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK
Pendidikan sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan dari beberapa unsur dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan dan saling bergantung dalam mencapai tujuan.
Mengkaji sistem pendidikan Islam di masa Klasik tidak pas jika hanya dilihat dari sistem pendidikan Islam di masa sekarang;karena kondisi periode Klasik jauh berbeda dari kondisi sekarang. Oleh karena itu, akan digunakan kategori-kategori dalam sistem pendidikan Islam, di sini diamati pada masa kejayaan pendidikan Islam berdasarkan pengamatan pada fakta sejarah dan menggunakan patokan konsep-konsep pendidikan sekarang, meski patokan-patokan tersebut tidak sama persis.

1.      Kurikulum
Kurikulum pendidikan Islam masa Klasik tentu tidak sama dengan kurikulum di zaman sekarang ini. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[14] Selain itu,  kurikulum juga mengandung arrti bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan.[15]
Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, ia juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman belajar. Sedangkan di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar tulis-baca. Berikutnya, ia belajar berhitung dan seterusnya. Ini disebabkan belum adanya koordinasi lembaga oleh suatu organisasi atau pemerintahan seperti sekarang ini. Meski dalam kasus tertentu penguasa turut mengendalikan pelaksanaan pengajaran di masjid-masjid, pelaksanaan proses belajar-mengajar sepenuhnya tergantung pada guru yang memberikan pelajaran.
Di mesjid-mesjid yang dibangun oleh penguasa atau orang kaya, penguasa/hartawan tersebut yang memberi izin kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selanjutnya pelaksanaan pengajaran terserah kepada guru. Jika guru yang dikehendaki hanya ahli di bidang hadis, ia akan mengajar hadis. Jika ia ahli di bidang fikih, ia akan mengajar fikih. Antara satu guru dengan guru lain yang mengajar di satu masjid tidak ada kaitan dalam kelulusan siswa. Tiapp-tiap guru akan memberi ujian sendiri terhadap siswa yang telah selesai mengikuti pelajarannya, lalu ia akan diberi ijazah karena telah mneguasai pelajaran dari guru tersebut. Oleh karena itu, seorang siswa boleh jadi memiliki banyak ijazah, baik dalam satu bidang studi atau dari berbagai macam bidang studi. Setelah memperoleh ijazah baru boleh mnegajarkan ilmunya kepada olrang lian. Ijazah tersebut dapat dijadikan indikasi kualitas atau kredibilitas ilmu seorang guru. Dari ijazah tersebutpula dapat diketahui dari siapa ia berguru, jaringan intelektual keagamaan seseorang, apakah ia ulama terkenal atau tidak.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan Islam di masa Klasik pada mulanyaberkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural, materi kurikulum semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada belajar menulis. Membaca al-Qur’an, keimanan, ibadah, dasar ekonomi, dasar politik, dan kesatuan.[16]
Setelah wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budayamasyarakat non-Islam yang menyebabkan permasalahan sosial semakin kompleks. Problem sosial itu pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain dalam kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkan ilmu-ilmu baru seperti tafsir, hadis, fikih, tata bahasa, sastra, matematika, teologi, filsafat, astronomi, dan kedokteran.
Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran pada berbagai tingkatan pendidikan tersebut sebagai berikut:
a.      Rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar)
Lama pelajaran di kuttab ini, tidaklah sama, tergantung kepada kecerdasan dan kemampuan masing-masing anak, karena sistem pengajaran pada masa itu belum dilaksanakan secara klasikal sebagaimana umumnya, anak-anak menyelesaikan pendidikan dasarini selama kurang lebih 5 tahun. Rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran sebagai berikut:[17]
                                             1.      Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya.
                                             2.      Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudlu, shalat, puasa, dan sebagainya.
                                             3.      Menulis.
                                             4.      Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam.
                                             5.      Membaca dan menghafalsyair-syair atau natsar (prosa).
                                             6.      Berhitung.
                                             7.      Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya.
b.         Rencana pelajaran tingkat menengah
Rencana pelajaran untuk pendidikan tingkat menengahpun tidak ada keseragaman di seluruh negara Islam, karena pada saat itu telah bercerai berai satu dengan lainnya. Pada umumnya rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran-mata pelajaran yang bersifat umum, sebagai berikut:[18]
                                             1.      Al-Qur’an
                                             2.      Bahasa Arab dan kesusasteraannya
                                             3.      Fiqih
                                             4.      Tafsir
                                             5.      Hadist
                                             6.      Nahwu/sharaf/balaghah
                                             7.      Ilmu-ilmu pasti
                                             8.      Mantiq
                                             9.      Ilmu Falak
                                         10.      Tarikh (sejarah)
                                         11.      Ilmu-ilmu alam
                                         12.      Kedokteran
                                         13.      Musik
Di samping itu ada mata pelajaran yang bersifat kejuruan, misalnya untuk menjadi juru tulis di kantor-kantor. Selain dari belajar bahasa, murid di sini harus belajar surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.
c.         Rencana pelajaran pada pendidikan tinggi
Pada umumnya rencana pelajaran pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu:[19]
                                                  1.      Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa sastra Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu Naqliyah, yang meliputi:
a.         Tafsir Al-Qur’an
b.        Hadist
c.         Fiqih dan Ushul Fiqih
d.        Nahwu/Sharaf
e.         Balaghah
f.         Bahasa Arab dan Kesusasteraannya
                                                  2.      Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai Ilmu Aqliyah, yang meliputi:
a.         Mantiq
b.        Ilmu-ilmu Alam dan Kimia
c.         Musik
d.        Ilmu-ilmu Pasti
e.         Ilmu Ukur
f.         Ilmu Falaq
g.        Ilmu Illahiyah (Ketuhanan)
h.        Ilmu Hewan
i.          Ilmu Tumbuh-tumbuhan
j.          Kedokteran
Semua mata pelajaran (ilmu-ilmu) tersebut diajarkan seluruhnya pada perguruan tinggi, dan belum diadakan takhasus untuk salah satu bidang Ilmu. Takhasus (pendalaman salah satu bidang ilmu) adalah sesudah seseorang tamat dari perguruan tinggi, dan disesuaikan dengan bakat dan kecenderungan masing-masing.

2.      Metode Pengajaran
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahua oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.[20]
Pada dinasti Abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan:
a.      Metode Lisan
Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi. Metode dikte (ilma) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan ilma ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa Klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.[21]
Metode ceramah disebut juga metode al-asma’, sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya.[22] Pada saat-saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar untuk menulis dan bertanya.
Metode qira’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.[23] Ulama-ulama sering mengadakan majelis-majelis diskusi atau perdebatan. Metode ini banyak digunakan dalam pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat filosofis dan fiktif, bahkan menurut Ahmad Amin, aliran Mu’tazilah menjadikan metode ini sebagai salah sati “rukun Islam”.[24] Dalam proses penyerapan ilmu, diskusi adalah metode yang lebih efektif dari pada metode-metode di atas. Diskusi dapat menjadikan murid aktif. Diskusi juga melatih murid menguraikan ilmu dan mnggunakan daya berfikir secara aktif, sedangkan menulis, membaca dan sebagainya lebih bersifat pasif.[25]
b.      Metode Menghafal
Metode menghafal merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sempai dia menghafalnya.[26] Sehingga dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang baru. Akan tetapi, metode menghafal bisa bersifat pasif jika murid hanya sekedar menghafal tanpa diikuti pemahaman, kemampuan mengabstraksi, atau mengkontekstualisasi, sehingga ilmunya tidak berkembang.[27]
c.       Metode Tulisan
Metode tulisan ini dianggap metode yang paling penting pada masa klasik. Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat, dan akhirnya menimbulkan sisten ta’liqah terhadap karya-karya ulama. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi pengadaan jumlah buku teks, karena pada masa klasik belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.[28]

3.      Kehidupan Murid
Ketika mempelajari kehidupan murid pada periode Klasik, kita akan menemui peristiwa-peristiwa yang menarik dan lucu untuk dikaji. Banyak hal yang bisa diambil pelajaran untuk diterapkan dalam dunia pendidikan Islam sekarang. Tetapi, ada juga keadaan yang kurang memuaskan yang dapat dipakai sebagai kaca cermin bagi kemajuan pendidikan Islam di masa mendatang. Karakteristik pendidikan Islam masa Klasik yang masih rendah dan sejumlah ciri-ciri yang negatif perlu digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan dan menyusun lingkungan pendidikan Islam.
Membahas kehidupan murid di masa Klasik, maka perlu membedakan kehidupan sekolah di tingkat dasar dan kehidupan sekolah di tingkat tinggi.
Ciri utama kehidupan murid sekolah dasar adalah bahwa ia diharuskan belajar membaca dan menulis. Pada pendidikan tingkat dasar, murid-murid tidak hanya diajarkan membaca A-Qur’an, tetapi juga menghafalkannya. Murid-murid yang berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an lebih cepat akan diberi keistimewaan dengan diperbolehkan berlibur. Mereka yang berhasil lulus dengan hasil yang gemilang akan dikirap dengan naik unta dan di sepankang jalan mereka dilempari buah almond.[29]
Belajar di tingkat dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan bergantung pada kemampuan anak-anak. Anak-anak yang tajam otaknya serta rajin akan cepat selesai, sedcangkan anak-anak yang kurang mampu dan malas tentu lambat belajarnya. Misalnya, ada murid yang menghafal Al-Qur’an pada masa dua tahun, dan ada yang tiga tahun. Contohnya, Umar bin Ahmad bin al-Nadim masuk maktab pada usia tujuh tahun dan selesai menghafal al-Qur’an dalam usia sembilan tahun. Imam Ayafi’i selesai menghafal Al-Qur’an ketika ia berusia tujuh tahun.[30] Dengan demikian, tidak ada batasan usia dan tidak terbatas lamanya; semua bergantung kepada kemampuan si murid.
Pada periode klasik, guru bisa meminta gaji dari murid-muridnya. Jumlah gaji terserah kepada setiap anak didiknya, tergantung kepada kemampuan orang tua si murid. Secara umum, gaji guru dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu gaji yang berhubungan dengan waktu dan gaji yang berhubungan dengan pelajaran yang didapat oleh si anak. Bentuk gaji yang pertama hampir dibayar oleh semua murid, yaitu berupa sejumlah kecil uang yang dibayarkan setiap minggu atau setiap bulan ditambah sepotong roti yang diberikan setiap minggu. Kadang-kadang pembayaran ini dilakukan pada musim-musim tertentu. Dalam keadaan tertentu sering pula diberikan sejumlah gandum atau jagung sebagai ganti pembayaran uang yang bisa dibayarkan oleh si murid setelah mereka menghafal suatu surat tertentu. Bahkan, jika mereka selesai menghafal seluruh Al-Qur’an, sebagai ungkapan kebahagiaan, mereka akan memberikan bahan-bahan pakaian, uang dan sebagainya sesuai dengan kemampuan kekluarga si murid.[31]
Selain itu, ada juga kuttab atau sekolah tingkat dasar yang tidak menuntut pembayaran dari murid-muridnya. Kuttab ini murid-muridnya biasanya terdiri dari anak-anak yatim. Kuttab ini oleh Izzuddin Abbas seperti dikutip Hasan Langgulung dalam bukunya Hanun Asrohah, disebut kuttab al-sabil. [32] Dan yang diperlukan untuk membiayai kuttab al-sabil diperoleh dari harta wakaf. Anak-anak yatim yang belajar di sini juga digaji tiap bulan, begitu juga dengan keperluan alat-alat tulis belajar, seperti papan tulis, tinta, kertas, dan sebagainya. Anak-anak yatim yang sudah baligh tidak lagi ditanggung biayanya kecuali mereka yang telah menghafal Al-Qur’an dan tinggal sedikit yang belum dihafal, sedang diharap mereka akan berhasil menyelesaikan.
Para ulama pendidikan memilih kata al-Muta’allim. Digunakannya istilah ini hanya melihat adanya sifat universal, sehingga mudah dipahami bahwa peserta didik memiliki hubungan yang erat dengan guru. Tampak juga dalam istilah ini adanya hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara guru dengan murid.[33] Hubungan guru dan anak (murid) pada pendidikan tingkat dasar seperti hubungan orang tua dan anak. Guru akan mengajar anak didiknya dengan rendah hati. Jika guru menemui anak didiknya berbuat salah, ia akan menegurnya dengan lemah lembut tidak dengan kasar. Tetapi jika guru sudah tidak dapat menguasai keadaan, ia akan melakukan kekerasan.
Di samping guru memperhatikan tingkah laku anak didiknya, dia juga memperhatikan kemampuan si murid dalam belajar. Dengan melihat kemampuan si murid dalam belajar. Dengan melihat kemampuan si murid, guru sering memberi petunjuk kepada anak didiknya tentang pelajaran apa yang cocok bagi mereka. Guru mengukur kecerdasan anak didiknya dengan cara: guru mula-mula memberikan pelajaran kepada si anak; kemudian guru mengambil kesimpulan tentang kecerdasan si murid terhadap pelajaran yang telah disampaikan oleh guru, seperti guru mengukur kekuatan hafalan murid untuk mengetahui apakah ia suka menghafal atau suka berfikir penalaran. Kalau si anak suka menghafal, ia akan diarahkan untuk mempelajari hadist. Tetapi, kalau ternyata si anak suka berfikir secara mendalam, ia disuruh belajar filsafat, ilmu debat, dan ilmu kalam.[34]
Murid-murid yang telah menamatkan sekolah tingkat dasar bisa langsung memasuki sekolah lanjutan (tingkat tinggi) tanpa memasuki sekolah tingkat menengah. Namun, tidak berarti setiap anak harus menamatkan sekolah tingkat dasar terlebih dahulu agar dapat mengikuti sekolah tingkat tinggi. Kadang-kadang mereka diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat tinggi sebelum mereka menyelesaikan pelajarannya di sekolah dasar.
Biasanya memang guru menolak murid-murid yang terlalu muda untuk mengikuti pelajarannya. Ada contoh yang menjelaskan bahwa seorang guru dari Kufah menolak murid yang belum berusia dua puluh tahun untuk mengikuti pelajaran hadis, bahkan guru-guru di Siria menetapkan bahwa hanya orang-orang yang sudah dewasa saja yang diperbolehkan mengikuti pelajaran hadis.
Secara umum batas usia untuk dapat mengikuti pelajaran hadis adalah setelah menamatkan sekolah dasar. Rata-rata anak yang berhasil menamatkan pendidikan tingkat dasar adalah berkisar antara usia sepuluh sampai dua belas tahun. Ada contoh di mana anak-anak pada usia delapan, sembilan, dan sepuluh tahun diizinkan untuk mengikuti pelajaran hadis.
Mengenai batas waktu yang harus ditempuh oleh pelajar agar menyelesaikan studinya tidak ada keseragaman. Hal ini tergantung pada minat murid. Alasan mengapa batas waktu yang harus ditempuh oleh si pelajar tidak seragam adalah:
a.         Karena guru-guru, bahkan lembaga-lembaga pendidikan tidak pernah menawarkan pelajar khusus yang harus diselesaikan pada waktu tertentu; dan
b.         Sedah menjadi ciri sistem pendidikan Islam di masa Klasik, bahwa pelajar diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja ia menyelesaikan pelajarannya.
Oleh karena itu, murid-murid bebas memilih guru yang mereka sukai dan yang mereka anggap paling baik. Mereka bebas pindah dari satu guru kepada guru lain jika ia merasa bahwa guru tersebut yang lebih bagus.
Suatu laporan menjelaskan bahwa ada pelajar-pelajar yang harus belajar kepada seorang guru selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun, bahkan sampai tiga puluh tahun. Seorang murud yang belajar hadis biasanya harus mengikuti pelajaran gurunya tidak kurang dari empat belas tahun. Seorang guru tafsir memerlukan waktu enam tahun untuk membaca buku karangannya. Untuk pelajar fikih tidak ada penjelasan secara jelas berapa lama waktu yang harus ditempuh oleh seorang murid untuk belajar fikih dari seorang guru. Akan tetapi, ada riwayat yang melaporkan bahwa Abu Yusuf telah menghabiskan waktu tujuh belas tahun untuk belajar fikih dengan gurunya, Abu Hanifah. Sedangkan Abu Hanifah memerlukan waktu sepuluh tahun untuk belajar fikih kepada Hammad.[35]
Di antara ciri khas pendidikan Islam periode Klasik adalah teacher oriented, bukan institution oriented. Kualitas suatu pendidikan tergantung kepada guru, bukan kepada lembaga. Pelajar-pelajar bebas mengikuti suatu pelajaran yang mereka kehendaki. Mereka memilih sebuah pengajian berdasarkan guru/ulama yang mengajarnya, bukan lembaganya. Oleh karena itu, mereka tidak harus belajar di masjid-masjid saja, tetapi bisa saja di perpustakaan, toko buku, rumah ulama, atau tempat terbuka.[36]
Sebelum muncul madrasah, pelajar yang mengikuti suatu halaqah atau mesjid tiada terbatas jumlahnya. Setelah muncul madrasah, pelajar yang ingin belajar di madrasah tidak bisa sekehendak hatinya belajar di madrasah. Mereka harus mendapat izin dari pengelola madrasah. Sedangkan selain madrasah, pelajar bebas mengikuti. Pelajar-pelajar ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelajar tak tetap dan pelajar tetap. Pelajar tetap biasanya terdiri dari para pekerja. Mereka mengikuti pelajaran bukan untuk studi, tetapi untuk menunjang profesi mereka. Mereka mengikuti pelajaran tidak kontinue, tetapi pada waktu tertentu saja. Namun demikian, jumlah mereka seringkali melebihi pelajar tetap.
Pelajar-pelajar yang disebut sebagai pelajar tetap adalah mereka yang mempunyai tujuan utama untuk belajar dan mereka menghabiskan sebagian hidup mereka untuk belajar. Apabila guru melihat salah satu pelajar tidak berhasil dalam menguasai suatu pelajaran, dia akan menyuruh murid tersebut pindah kepada guru lain yang lebih cocok; atau meyarankan muridnya pindah menekuni bidang lain.
Begitu mengesankan hubungan guru dan murid pada masa klasik. Hubungan guru dan murid tidak hanya sebatas berkaitan dengan transmisi keilmuan dan pembentukan perilaku si murid. Sangat besar perhatian guru kepada murid-muridnya. Lebih dari itu guru sering memberikan bantuan kepada murid-murid yang membutuhkannya.

4.      Rihlah Ilmiyah
Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa Klasik adalah sistem rihlah ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Menurut Syalabi, cara seperti ini telah berkembang dalam Islam sejak awa. Setelah wilayah Islam meluas, banyak sahabat Nabi dikirim ke daerah-daerahyang telah ditakhlukkan. Di daerah masing-masing ia mendirikan lembaga pendidikan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama, termasuk Al-Qur’an dan Hadis karena pada masa itu terdapat hadis-hadis Nabi yang hanya diketahui dan diriwyatkan oleh sahabat-sahabat tertentu; sedangkan umat Ilsma membutuhkan hadis-hadis Nabi demi kepentingan agama. Kemudian mereka mengunjungi shabat-sahabat yang bisa meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah walaupun tempat sahabat-sahabat tersebut sangat jauh untuk menuntut ilmu. Dari sini timbul sistem melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu.[37]
Dengan adanya sistem rihlah ‘ilmiyah, pendidikan Islam di masa Klasik tidak hanya dibatasi dengan dinding kelas (school without wall). Pendidikan Isdlam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian, sistem rihlah ‘ilmiyah disebut dengan learning society (masyarakat belajar).[38]
Sistem perjalanan ilmiah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi umat Islam. Dengan adanya perjalanan ilmiah guru-guru dan pelajar ke berbagai daerah Islam yang terpisah-pisah dan jauh jaraknya, akan terjadi jalinan budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kebebasan perjalanan ke berbagai daerah Islam menyebabkan pertukaran pemikiran terus menerus berlangsung antar masyarakat Islam. Proses culture contact tersebut menyebabkan dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.
Syalabi, dengan mengutip Nicholson, menjelaskan bahwa melakukan perjalanan ilmuah laksana lebah yang mencari sari bunga ke tempat yang jauh. Kemudian, mereka kembali ke kota kelahiran mereka dengan membawa madu manis. Selanjutnya, pelajar-pelajar tersebut menetap di negeri mereka untuk memenuhi hasrat masyarakat yang telah lama menantikan kedatangan mereka. Umat Islam berdatangan kepada mereka untuk belajar. Selain itu, ulama-ulama ini menulis ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari dari berbagai daerah, kemudian dipersembahkan ke dalam bentuk karya-karya ilmuah.[39]

5.      Wakaf
Dalam sistem pendidikan Islam di masa Klasik, tampaknya antara pendidikan Islam dan wakaf mempunyai hubungan yang erat. Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi kegiatan pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam dapat berlangsung dengan baikdan lancar. Adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh sisitem ekonimi Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat Islam dan adanya keseimbangan antara ekonomi dengan kemaslahatan masyarakat sehingga aktivitas ekonomi mempunyai tujuan ibadat dan demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, di saat ekonomi Islam mengalami kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya demi kepentingan agama dan kesejahteraan umat Islam. Karena di dorong oleh ajaran Islam yang menghargai fungsi pendidikan untuk kemajuan agama dan negara, mereka berlomba-lomba untuk menafkahkan harta untuk pelaksanaan pendidikan, dan pada akhirnya pendidikan Islam berkembang maju. Karena pendidikan maju, pemikiran dalam Islam menjadi maju pula.
Peranan wakaf sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan, dengan wakaf, umat Islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Karena wakaf, pendidikan Islam tidak terlalu menuntut banyak biaya bagi pelajar-pelajar sehingga mereka baik miskin atau kaya mendapat kesempatan belajar yang sama, bahkan mereka, khususnya yang miskin, akan mendpat fasilitas-fasilitas yang luar biasa dan tiada putus-putusnya. Karena itulah, pelajar-pelajar dan guru-guru terdorong untuk melakukan perjalannan ilmiah.

6.      Pendidikan Islam Bagi Wanita
Sebenarnya Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki dalam pendidikan. Islam memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu. Sejak masa klasik telah ditemui wanita-wanita terpelajar. K. Hitti menandaskan bahwa anak-anak perempuan diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat dasar. Fayyaz Mahmud juga menjelaskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, anak-anak perempuan juga mempunyai kesempatan untuk belajar di maktab-maktab. Akan tetapi, tidak banyak data yang menerangkan bahwa wanita-wanita pun ikut belajar di lembaga pendidikan tingkat tinggi.[40]
Dalam sistem pendidikan Islam di masa klasik, pendidikan Islam bukanlah dsiperuntukkan hanya bagi laki-laki saja. Wanita pun tidak dilarang pergi ke mesjid untuk mengikuti pelajaran. Akan tetapi, apakah mereka diperbolehkan terlibat langsung dengan murid laki-laki dalam proses belajar mengajar, atau mereka belajar secara terpisah.
Syalaby tidak mengingkari adanya pengajaran untuk wanita dan anak-anak perempuan. Namun, ia menolak adanya pengajaran anak-anak perempuan secara terbuka dan terlibat langsung dengan murid laki-laki. Memang dalam kitab al-Aghani, sebagaimana dijelaskan oleh Syalaby, ditemukan teks yang menerangkan adanya dua kasus yang meriwayatkan bahwa seorang anak perempuan telah mengikuti pelajaran pada sebuah sekolah tingkat dasar. Kedua perempuan tersebut adalah hamba sahaya, bukan orang  merdeka. Oleh sebab itu, Syalaby menolak bahwa pengajaran untuk budak dapat dinilai sebagai “pendidikan” karena pengajaran untuk budak-budak hanyalah untuk menaikkan harga mereka dengan cara mengajar mereka membaca dan menulis.[41] Dengan demikian. Riwayat tersebut tidak dapat dipakai sebagai bukti sejarah bahwa anak-anak perempuan merdeka pernah mengikuti pengajaran tingkat dasar di kuttab bersama-sama dengan murid-murid laki-laki.
Boleh jadi pengajaran untuk anak-anak perempuan tidak dilaksanakan secara terbuka dengan siswa laki-laki. Mereka memperoleh pengajaran di rumah-rumah dengan mendatangkan guru-guru privat. Menurut Muniruddin Ahmed, pelaksanaan pengajaran bagi anak-anak perempuan masih belum jelas. Apakah mereka bisa belajar bersama anak laki-laki atau masih belajar di rumah-rumah.
Sedangkan pengajaran wanita, menurut Muniruddin Ahmed, ada beberapa indikasi yang menunjukkan adanya kelompok belajar wanita, tetapi semuanya dilaksanakan secara terpisah. Misalnya, Ahmad bin Hanbal mengajar di kelas wanita yang dilaksanakan pada sore hari. Kelas-kelas wanita ini biasanya dilaksanakan dirumah-rumah wanita yang masih ada hubugan keluarga dengan ulama tertentu. Sedangkan wanita yang bukan keluarga dari seorang ulama biasanya belajar kepada ayah mereka sendiri atau mendatangkan guru pribadi.
Ajaran Islam sesungguhnya tidak membedakan hak antara wanita dan laki-laki untuk menuntut ilmu. Ajaran Islam mewajibkan bagi laki-laki Muslim maupun wanita Muslimah untuk menuntut ilmu. Tetapi, dalam praktiknya wanita tidak diberi kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam menuntut ilmu. Mereka tidak boleh belajar bersama-sama baik di masjid maupun di madrasah. Menurut Jonathan Berkey, alasan pemisahan pendidikan murid wanita dan laki-laki dalam pendidika adalah karena kehadiran wanita di tengah-tengah kaum laki-laki dianggap tabu dan dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena ancaman inilah, al-Din bin Jama’ah, sebagaimana dikutip oleh Berkey dalam buku Hanun Asrohah, melarang wanita berada di madrasah atau berada di suatu tempat dimana siswa-siswa biasanya lewat, atau melongok ke halaman sekolah melalui jendela.[42]
Karena alasan inilah, dalam sistem pendidikan Islam masa klasik diadakan pemisahan anatara kelas wanita dan laki-laki. Pengajaran untuk wanita diadakan secara terpisah dengan siswa laki-laki dan biasanya diselenggarakan di rumah-rumah. Maka dari itu, pengajaran bagi wanita secara formal jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan pengajaran untuk siswa laki-laki. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Islam yang melarang wanita menduduki jabatan birokrasi, lembaga keagamaan, dan jabatan resmi pemerintahan. Mereka bersikap demikian karena Al-Qur’an surat al-Nisa’, 5:34, menyatakan bahwa, “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita; oleh karena itu, Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” Walaupun demikian, wanita tetap harus belajar ilmu karena ilmu itu penting. Adapun ilmu yang penting bagi kaum wanita adalah ilmu tentang akhlak, hubungan dengan sosial atau mu’amalah, ajaran ritual atau ibadah, dan kesehatan.
Syalaby menyatakan bahwa wanita biasanya menerima pelajaran di rumah dari salah seorang anggota keluarga atau dari seorang guru yang khusus di datangkan untuk mereka. Karena itulah, Berkey menjelaskan bahwa tranmisi pengetahuan bagi kaum wanita bukan berhubungan dengan keluarga atau guru.[43]
Mengenai pendidikan wanita, ada data yang menunjukan bahwa wanita telah menghadiri suatu majlis yang terbuka bagi kaum wanita dan laki-laki. Mereka juga diberi kesempatan untuk bertanya, mislanya majlis al-wa’dh yang terbuka bagi wanita dan laki-laki. Namun, Muniruddin Ahmed menganggap majlis ini sebagai pertemuan, bukan sebagai pengajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wanita telah diberi kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas terbuka tetapi wanita yang dapat merasakan kesempatan ini jumlahnya relatif sedikit.[44]



PENUTUP

Kesimpulan
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-betuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah:
1.      Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
2.      Pendidikan rendah di istana
3.      Toko-toko kitab
4.      Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)
5.      Majlis atau saloon kesusasteraan
6.      Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
7.      Rumah sakit
8.      Perpustakaan
9.      Masjid
Metode pendidikan/pengajaran pada masa daulah Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: (1) metode lisan, dalam bentuk dikte (ilma), ceramah, qira’ah, dan diskusi; (2) metode menghafal, yang merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan pada masa daulat Abbasiyah; (3) metode tulisan merupakan metode yang paling penting dalam proses belajar mengajar pada masa ini, karena metode ini merupakan pengkopian karya-karya ulama.
Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran pada berbagai tingkatan pendidikan tersebut sebagai berikut:
a.       Rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar)
b.      Rencana pelajaran tingkat menengah
c.       Rencana pelajaran pada pendidikan tinggi

DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun, Sejarah Pedidikan Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1991.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009.
Suwito, et. al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Zuhairini, et. al. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1986.







[1] Suwito, et. al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005) Cet. 1, hal. 10.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 112.
[4] Ibid., hal. 112.
[5] Zuhairini, et. al. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1986), hal. 91.
[6] Ibid., Hal. 92.
[7] Zuhairini, et. al. Sejarah, hal. 95.
[8] Samsul Nizar, Sejarah, hal. 111.
[9] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. 1, hal. 50.
[10] Zuhairini, et. al. Sejarah, hal. 96.
[11] Ibid., hal. 97.
[12] Hanun Asrohah, Sejarah, hal. 69.
[13] Ibid., hal. 56.
[14] Ibid., hal. 71.
[15] Samsul Nizar, Sejarah, hal. 11.
[16] Hanun Asrohah, Sejarah, hal. 73.
[17] Zuhairini, et. al. Sejarah, hal. 101.
[18] Ibid., hal. 102.
[19] Ibid., hal. 103.
[20] Suwito, et. al. Sejarah, hal. 13.
[21] Ibid., hal. 14.
[22] Ibid., hal. 14.
[23] Ibid., hal. 14.
[24] Hanun Asrohah, Sejarah, hal. 78.
[25] Ibid., hal. 78.
[26] Suwito, et. al. Sejarah, hal. 14.
[27] Hanun Asrohah, Sejarah, hal. 78
[28] Suwito, et. al. Sejarah, hal. 14.
[29] Hanun Asrohah, Sejarah, hal. 80.
[30] Ibid., hal. 81.
[31] Ibid., hal. 81.
[32] Ibid., hal. 82.
[33] Suwito, et. al. Sejarah, hal. 23.
[34] Hanun Asrohah, Sejarah, hal. 83.
[35] Ibid., hal. 84.
[36] Ibid., hal. 85.
[37] Ibid., hal. 87.
[38] Ibid., hal. 88.
[39] Ibid., hal. 89.
[40] Ibid., hal. 95.
[41] Ibid., hal. 95.
[42] Ibid., hal. 97.
[43] Ibid., hal. 97.
[44] Ibid., hal. 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar