PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
PADA MASA KLASIK
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas pengganti UTS
Matakuliah: Pembaharuan dalam Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Hendro Widodo, M.Pd.
Di susun oleh:
Tri Pariyatun
09470111
JURUSAN
KEPENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Sejarah merupakan realitas masa lalu,
keseluruhan fakta, dan merupakan pristiwa yang unik dan berlaku hanya sekali
dan tidak akan terulang kedua kalinya. Oleh karena itu, orang yang tidak
beradab, berhayal, bahwa masa lalu tidak perlu dihiraukan lagi. Pandangan ini
sungguh sangat keliru, dan cenderung tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Umat manusia dalam sejarahnya telah
memperlihatkan tentang pentingnya pendidikan. Hal ini dapat ditelusuri sejak
dari masa rasul hingga masa sekarang ini. Kegiatan yang dilakukan Rasulullah
seperti mengadakan ta’lim (pembelajaran) kepada para sahabatnya, guna mengetahui
ajaran-ajaran Islam, sehingga rasul membuat kompleks belajar Dar-al-Arqam,
ini semua merupakan salah satu bukti besarnya perhatian rasul terhadap
pendidikan.[1]
Usaha pendidikan ini kemudian ditindaklanjuti
oleh generasi berikutnya, pendidikan dan pengajaran terus tumbuh dan berkembang
pada masa Khulafaur Rasyidin, masa Bani Ummayah, dan masa Bani Abbasiyah. Pada
masa awal Daulat Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat
pesat di seluruh negara Islam hingga lahir madrasah-madrasah yang tidak
terhitung banyaknya, bahkan madrasah berdiri dari kota hingga ke desa.[2]
Anak-anak dan orang dewasa berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, demi untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Untuk mencapai pendidikan tentunya diperlukan
metode, sistem, dan materi pendidikan. Dari latar belakang di atas dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan pada masa klasik?
2. Bagaimana sistem pendidikan
Islam pada masa klasik?
Adapun tujuan makalah ini yaitu agar dapat menegtahui
secara khusus bagaimana sistem pendidikan Islam pada masa klasik (pada masa
awal daulah Abbasiyah). Serta mengetahui bagaimana pembaharuan dalam pendidikan
Islam.
PEMBAHASAN
A.
BERKEMBANGNYA
LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Sebelum
timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini
berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang
bentuk-betuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah:
1.
Kuttab sebagai lembaga
pendidikan dasar
Kuttab/maktabberasal
dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang
artinya menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan untuk tulis-menulis.[3]
Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman
modern.[4]
2.
Pendidikan rendah di
Istana
Timbulnya
pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan
pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu
melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah dewasa. Oleh karena itu mereka
memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.[5]
Pendidikan
anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya. Di
istana orang tua murid (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana
pelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki oleh
orang tuanya.[6]
3.
Toko-toko Kitab
Pada
mulanya toko-toko kitab berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang
telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Tetapi, toko-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai
tempat berjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpul
para ulama, pujangga, dan ahli-ahli ilmu
pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat bertukar pikiran dalam berbagai
masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam
rangka pegembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.[7]
4.
Rumah-rumah para ulama
(ahli ilmu pengetahuan)
Dengan
dijadikannya oleh Rasulullah Muhammad SAW., rumah Al-Arqam bin Abi Arqam
sebagai tempat berkumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang diterima
dari Allah SWT melalui malaikat Jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah
lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Sistem pendidikan pada lembaga ini
masih berbentuk halaqah dan belum
memiliki kurikulum dan silabus seperti dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan
materi-materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada
Nabi Muhammad SAW.[8] Dalam
perkembangan pendidikan Islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus
dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat,
dan zaman.
5.
Majlis atau saloon
kesusasteraan
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan
sejak abad pertama Islam. Mulanya kata majlis
merujuk pada arti tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan
berikutnya, di saat dunia pendidikan Islam mencapai zaman keemasan, majlis berarti sessi dimana aktivitas
pengajaran atau diskusi berlangsung, dan belakangan majlis diartikan sejumlah aktivitas. Seiring dengan perkembangan
pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan
sebagai kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu sehingga majlis banyak ragamnya.[9]
6.
Badiah (padang pasir,
dusun tempat tinggal Badwi)
Banyak
ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah
dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli lagi
murni. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama
bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.[10]
7.
Rumah Sakit
Rumah
sakit bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-rang
sakit, rumah sakit juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran.
Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.[11]
8.
Perpustakaan
Perpustakaan
juga mempunyai peranan penting dalam transmisi pengetahuan. Di perpustakaan
telah disimpan beribu-ribu buku dan dilengkapi ruangan untuk menyelenggarakan halaqah-halaqah. Penguasa-penguasa
biasanya mengundang ulama-ulama untuk memanfaatkan perpustakaan mereka untuk
mengembangkan keilmuan.[12]
9.
Masjid
Masjid
merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi. Ia mempunyai
peran penting bagi masyarakat Islam sejak awal sampai sekarang. Masjid berfungsi
sebagai tempat bersosialisasi, tempat ibadah, tempat pengadilan, dan
sebagainya. Tetapi yang lebih penting adalah sebagailembaga pendidikan.[13]
B.
SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK
Pendidikan
sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan dari beberapa unsur dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Unsur-unsur tersebut saling
berhubungan dan saling bergantung dalam mencapai tujuan.
Mengkaji
sistem pendidikan Islam di masa Klasik tidak pas jika hanya dilihat dari sistem
pendidikan Islam di masa sekarang;karena kondisi periode Klasik jauh berbeda
dari kondisi sekarang. Oleh karena itu, akan digunakan kategori-kategori dalam
sistem pendidikan Islam, di sini diamati pada masa kejayaan pendidikan Islam
berdasarkan pengamatan pada fakta sejarah dan menggunakan patokan konsep-konsep
pendidikan sekarang, meski patokan-patokan tersebut tidak sama persis.
1.
Kurikulum
Kurikulum
pendidikan Islam masa Klasik tentu tidak sama dengan kurikulum di zaman
sekarang ini. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran
yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan
hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses
pendidikan di sekolah.[14]
Selain itu, kurikulum juga mengandung
arrti bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam
suatu sistem institusional pendidikan.[15]
Pada
lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut mempelajari sejumlah bidang studi
yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, ia juga diwajibkan mengikuti
serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman belajar.
Sedangkan di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam
tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu,
pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa.
Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang
lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya pada tahap awal siswa
diharuskan belajar tulis-baca. Berikutnya, ia belajar berhitung dan seterusnya.
Ini disebabkan belum adanya koordinasi lembaga oleh suatu organisasi atau
pemerintahan seperti sekarang ini. Meski dalam kasus tertentu penguasa turut
mengendalikan pelaksanaan pengajaran di masjid-masjid, pelaksanaan proses
belajar-mengajar sepenuhnya tergantung pada guru yang memberikan pelajaran.
Di
mesjid-mesjid yang dibangun oleh penguasa atau orang kaya, penguasa/hartawan
tersebut yang memberi izin kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selanjutnya
pelaksanaan pengajaran terserah kepada guru. Jika guru yang dikehendaki hanya
ahli di bidang hadis, ia akan mengajar hadis. Jika ia ahli di bidang fikih, ia
akan mengajar fikih. Antara satu guru dengan guru lain yang mengajar di satu
masjid tidak ada kaitan dalam kelulusan siswa. Tiapp-tiap guru akan memberi
ujian sendiri terhadap siswa yang telah selesai mengikuti pelajarannya, lalu ia
akan diberi ijazah karena telah mneguasai pelajaran dari guru tersebut. Oleh
karena itu, seorang siswa boleh jadi memiliki banyak ijazah, baik dalam satu
bidang studi atau dari berbagai macam bidang studi. Setelah memperoleh ijazah
baru boleh mnegajarkan ilmunya kepada olrang lian. Ijazah tersebut dapat
dijadikan indikasi kualitas atau kredibilitas ilmu seorang guru. Dari ijazah
tersebutpula dapat diketahui dari siapa ia berguru, jaringan intelektual
keagamaan seseorang, apakah ia ulama terkenal atau tidak.
Kurikulum
dalam lembaga pendidikan Islam di masa Klasik pada mulanyaberkisar pada bidang
studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural, materi
kurikulum semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar
pada belajar menulis. Membaca al-Qur’an, keimanan, ibadah, dasar ekonomi, dasar
politik, dan kesatuan.[16]
Setelah
wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budayamasyarakat
non-Islam yang menyebabkan permasalahan sosial semakin kompleks. Problem sosial
itu pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaaan dan
intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam.
Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa
situasi lain dalam kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkan ilmu-ilmu baru
seperti tafsir, hadis, fikih, tata bahasa, sastra, matematika, teologi,
filsafat, astronomi, dan kedokteran.
Mahmud
Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran pada
berbagai tingkatan pendidikan tersebut sebagai berikut:
a.
Rencana pelajaran
kuttab (pendidikan dasar)
Lama
pelajaran di kuttab ini, tidaklah sama, tergantung kepada kecerdasan dan
kemampuan masing-masing anak, karena sistem pengajaran pada masa itu belum
dilaksanakan secara klasikal sebagaimana umumnya, anak-anak menyelesaikan
pendidikan dasarini selama kurang lebih 5 tahun. Rencana pelajaran tersebut
meliputi mata pelajaran sebagai berikut:[17]
1.
Membaca Al-Qur’an dan
menghafalnya.
2.
Pokok-pokok agama
Islam, seperti cara berwudlu, shalat, puasa, dan sebagainya.
3.
Menulis.
4.
Kisah atau riwayat
orang-orang besar Islam.
5.
Membaca dan
menghafalsyair-syair atau natsar (prosa).
6.
Berhitung.
7.
Pokok-pokok nahwu dan
sharaf ala kadarnya.
b.
Rencana pelajaran
tingkat menengah
Rencana
pelajaran untuk pendidikan tingkat menengahpun tidak ada keseragaman di seluruh
negara Islam, karena pada saat itu telah bercerai berai satu dengan lainnya.
Pada umumnya rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran-mata pelajaran
yang bersifat umum, sebagai berikut:[18]
1.
Al-Qur’an
2.
Bahasa Arab dan
kesusasteraannya
3.
Fiqih
4.
Tafsir
5.
Hadist
6.
Nahwu/sharaf/balaghah
7.
Ilmu-ilmu pasti
8.
Mantiq
9.
Ilmu Falak
10.
Tarikh (sejarah)
11.
Ilmu-ilmu alam
12.
Kedokteran
13.
Musik
Di samping itu ada mata pelajaran
yang bersifat kejuruan, misalnya untuk menjadi juru tulis di kantor-kantor.
Selain dari belajar bahasa, murid di sini harus belajar surat menyurat, pidato,
diskusi, berdebat, serta tulisan indah.
c.
Rencana pelajaran pada
pendidikan tinggi
Pada
umumnya rencana pelajaran pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua
jurusan, yaitu:[19]
1.
Jurusan ilmu-ilmu agama
dan bahasa sastra Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu Naqliyah, yang
meliputi:
a.
Tafsir Al-Qur’an
b.
Hadist
c.
Fiqih dan Ushul Fiqih
d.
Nahwu/Sharaf
e.
Balaghah
f.
Bahasa Arab dan
Kesusasteraannya
2.
Jurusan ilmu-ilmu umum,
yang disebut sebagai Ilmu Aqliyah, yang meliputi:
a.
Mantiq
b.
Ilmu-ilmu Alam dan
Kimia
c.
Musik
d.
Ilmu-ilmu Pasti
e.
Ilmu Ukur
f.
Ilmu Falaq
g.
Ilmu Illahiyah
(Ketuhanan)
h.
Ilmu Hewan
i.
Ilmu Tumbuh-tumbuhan
j.
Kedokteran
Semua mata pelajaran (ilmu-ilmu)
tersebut diajarkan seluruhnya pada perguruan tinggi, dan belum diadakan
takhasus untuk salah satu bidang Ilmu. Takhasus (pendalaman salah satu bidang
ilmu) adalah sesudah seseorang tamat dari perguruan tinggi, dan disesuaikan
dengan bakat dan kecenderungan masing-masing.
2. Metode Pengajaran
Dalam
proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu
aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan
atau kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Melalui metode pengajaran
terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahua oleh murid hingga murid
dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.[20]
Pada
dinasti Abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan:
a.
Metode
Lisan
Metode
lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan
diskusi. Metode dikte (ilma) adalah metode penyampaian pengetahuan yang
dianggap baik dan aman karena dengan ilma ini murid mempunyai catatan yang akan
dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa
Klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.[21]
Metode
ceramah disebut juga metode al-asma’, sebab
dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid
mendengarkannya.[22] Pada
saat-saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar
untuk menulis dan bertanya.
Metode
qira’ah biasanya digunakan untuk
belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.[23]
Ulama-ulama sering mengadakan majelis-majelis diskusi atau perdebatan. Metode
ini banyak digunakan dalam pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat filosofis dan
fiktif, bahkan menurut Ahmad Amin, aliran Mu’tazilah menjadikan metode ini
sebagai salah sati “rukun Islam”.[24]
Dalam proses penyerapan ilmu, diskusi adalah metode yang lebih efektif dari
pada metode-metode di atas. Diskusi dapat menjadikan murid aktif. Diskusi juga
melatih murid menguraikan ilmu dan mnggunakan daya berfikir secara aktif,
sedangkan menulis, membaca dan sebagainya lebih bersifat pasif.[25]
b.
Metode
Menghafal
Metode
menghafal merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. Murid-murid harus
membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat
pada benak mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid
harus membaca suatu pelajaran berulang kali sempai dia menghafalnya.[26]
Sehingga dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali
mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan
perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu
yang baru. Akan tetapi, metode menghafal bisa bersifat pasif jika murid hanya
sekedar menghafal tanpa diikuti pemahaman, kemampuan mengabstraksi, atau
mengkontekstualisasi, sehingga ilmunya tidak berkembang.[27]
c.
Metode
Tulisan
Metode
tulisan ini dianggap metode yang paling penting pada masa klasik. Metode
tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi
proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat,
dan akhirnya menimbulkan sisten ta’liqah terhadap
karya-karya ulama. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu
pengetahuan juga sangat penting artinya bagi pengadaan jumlah buku teks, karena
pada masa klasik belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan
terhadap teks buku sedikit teratasi.[28]
3. Kehidupan Murid
Ketika
mempelajari kehidupan murid pada periode Klasik, kita akan menemui
peristiwa-peristiwa yang menarik dan lucu untuk dikaji. Banyak hal yang bisa
diambil pelajaran untuk diterapkan dalam dunia pendidikan Islam sekarang.
Tetapi, ada juga keadaan yang kurang memuaskan yang dapat dipakai sebagai kaca
cermin bagi kemajuan pendidikan Islam di masa mendatang. Karakteristik
pendidikan Islam masa Klasik yang masih rendah dan sejumlah ciri-ciri yang
negatif perlu digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan dan
menyusun lingkungan pendidikan Islam.
Membahas
kehidupan murid di masa Klasik, maka perlu membedakan kehidupan sekolah di
tingkat dasar dan kehidupan sekolah di tingkat tinggi.
Ciri
utama kehidupan murid sekolah dasar adalah bahwa ia diharuskan belajar membaca
dan menulis. Pada pendidikan tingkat dasar, murid-murid tidak hanya diajarkan
membaca A-Qur’an, tetapi juga menghafalkannya. Murid-murid yang berhasil
menghafal seluruh Al-Qur’an lebih cepat akan diberi keistimewaan dengan
diperbolehkan berlibur. Mereka yang berhasil lulus dengan hasil yang gemilang
akan dikirap dengan naik unta dan di sepankang jalan mereka dilempari buah
almond.[29]
Belajar
di tingkat dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan bergantung pada kemampuan
anak-anak. Anak-anak yang tajam otaknya serta rajin akan cepat selesai,
sedcangkan anak-anak yang kurang mampu dan malas tentu lambat belajarnya.
Misalnya, ada murid yang menghafal Al-Qur’an pada masa dua tahun, dan ada yang
tiga tahun. Contohnya, Umar bin Ahmad bin al-Nadim masuk maktab pada usia tujuh tahun dan selesai menghafal al-Qur’an dalam
usia sembilan tahun. Imam Ayafi’i selesai menghafal Al-Qur’an ketika ia berusia
tujuh tahun.[30] Dengan
demikian, tidak ada batasan usia dan tidak terbatas lamanya; semua bergantung
kepada kemampuan si murid.
Pada
periode klasik, guru bisa meminta gaji dari murid-muridnya. Jumlah gaji
terserah kepada setiap anak didiknya, tergantung kepada kemampuan orang tua si
murid. Secara umum, gaji guru dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu gaji yang
berhubungan dengan waktu dan gaji yang berhubungan dengan pelajaran yang
didapat oleh si anak. Bentuk gaji yang pertama hampir dibayar oleh semua murid,
yaitu berupa sejumlah kecil uang yang dibayarkan setiap minggu atau setiap
bulan ditambah sepotong roti yang diberikan setiap minggu. Kadang-kadang
pembayaran ini dilakukan pada musim-musim tertentu. Dalam keadaan tertentu
sering pula diberikan sejumlah gandum atau jagung sebagai ganti pembayaran uang
yang bisa dibayarkan oleh si murid setelah mereka menghafal suatu surat
tertentu. Bahkan, jika mereka selesai menghafal seluruh Al-Qur’an, sebagai
ungkapan kebahagiaan, mereka akan memberikan bahan-bahan pakaian, uang dan
sebagainya sesuai dengan kemampuan kekluarga si murid.[31]
Selain
itu, ada juga kuttab atau sekolah
tingkat dasar yang tidak menuntut pembayaran dari murid-muridnya. Kuttab ini murid-muridnya biasanya
terdiri dari anak-anak yatim. Kuttab ini
oleh Izzuddin Abbas seperti dikutip Hasan Langgulung dalam bukunya Hanun
Asrohah, disebut kuttab al-sabil. [32] Dan yang diperlukan untuk membiayai kuttab al-sabil diperoleh dari harta
wakaf. Anak-anak yatim yang belajar di sini juga digaji tiap bulan, begitu juga
dengan keperluan alat-alat tulis belajar, seperti papan tulis, tinta, kertas,
dan sebagainya. Anak-anak yatim yang sudah baligh tidak lagi ditanggung
biayanya kecuali mereka yang telah menghafal Al-Qur’an dan tinggal sedikit yang
belum dihafal, sedang diharap mereka akan berhasil menyelesaikan.
Para
ulama pendidikan memilih kata al-Muta’allim. Digunakannya istilah ini hanya
melihat adanya sifat universal, sehingga mudah dipahami bahwa peserta didik
memiliki hubungan yang erat dengan guru. Tampak juga dalam istilah ini adanya
hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara guru dengan murid.[33]
Hubungan guru dan anak (murid) pada pendidikan tingkat dasar seperti hubungan
orang tua dan anak. Guru akan mengajar anak didiknya dengan rendah hati. Jika
guru menemui anak didiknya berbuat salah, ia akan menegurnya dengan lemah
lembut tidak dengan kasar. Tetapi jika guru sudah tidak dapat menguasai
keadaan, ia akan melakukan kekerasan.
Di
samping guru memperhatikan tingkah laku anak didiknya, dia juga memperhatikan
kemampuan si murid dalam belajar. Dengan melihat kemampuan si murid dalam
belajar. Dengan melihat kemampuan si murid, guru sering memberi petunjuk kepada
anak didiknya tentang pelajaran apa yang cocok bagi mereka. Guru mengukur
kecerdasan anak didiknya dengan cara: guru mula-mula memberikan pelajaran
kepada si anak; kemudian guru mengambil kesimpulan tentang kecerdasan si murid
terhadap pelajaran yang telah disampaikan oleh guru, seperti guru mengukur
kekuatan hafalan murid untuk mengetahui apakah ia suka menghafal atau suka
berfikir penalaran. Kalau si anak suka menghafal, ia akan diarahkan untuk
mempelajari hadist. Tetapi, kalau ternyata si anak suka berfikir secara
mendalam, ia disuruh belajar filsafat, ilmu debat, dan ilmu kalam.[34]
Murid-murid
yang telah menamatkan sekolah tingkat dasar bisa langsung memasuki sekolah
lanjutan (tingkat tinggi) tanpa memasuki sekolah tingkat menengah. Namun, tidak
berarti setiap anak harus menamatkan sekolah tingkat dasar terlebih dahulu agar
dapat mengikuti sekolah tingkat tinggi. Kadang-kadang mereka diperbolehkan
mengikuti sekolah tingkat tinggi sebelum mereka menyelesaikan pelajarannya di
sekolah dasar.
Biasanya
memang guru menolak murid-murid yang terlalu muda untuk mengikuti pelajarannya.
Ada contoh yang menjelaskan bahwa seorang guru dari Kufah menolak murid yang
belum berusia dua puluh tahun untuk mengikuti pelajaran hadis, bahkan guru-guru
di Siria menetapkan bahwa hanya orang-orang yang sudah dewasa saja yang
diperbolehkan mengikuti pelajaran hadis.
Secara
umum batas usia untuk dapat mengikuti pelajaran hadis adalah setelah menamatkan
sekolah dasar. Rata-rata anak yang berhasil menamatkan pendidikan tingkat dasar
adalah berkisar antara usia sepuluh sampai dua belas tahun. Ada contoh di mana
anak-anak pada usia delapan, sembilan, dan sepuluh tahun diizinkan untuk mengikuti
pelajaran hadis.
Mengenai
batas waktu yang harus ditempuh oleh pelajar agar menyelesaikan studinya tidak
ada keseragaman. Hal ini tergantung pada minat murid. Alasan mengapa batas
waktu yang harus ditempuh oleh si pelajar tidak seragam adalah:
a.
Karena guru-guru,
bahkan lembaga-lembaga pendidikan tidak pernah menawarkan pelajar khusus yang
harus diselesaikan pada waktu tertentu; dan
b.
Sedah menjadi ciri
sistem pendidikan Islam di masa Klasik, bahwa pelajar diberi kebebasan untuk
belajar kepada siapa saja dan kapan saja ia menyelesaikan pelajarannya.
Oleh
karena itu, murid-murid bebas memilih guru yang mereka sukai dan yang mereka
anggap paling baik. Mereka bebas pindah dari satu guru kepada guru lain jika ia
merasa bahwa guru tersebut yang lebih bagus.
Suatu
laporan menjelaskan bahwa ada pelajar-pelajar yang harus belajar kepada seorang
guru selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun, bahkan sampai tiga puluh tahun.
Seorang murud yang belajar hadis biasanya harus mengikuti pelajaran gurunya
tidak kurang dari empat belas tahun. Seorang guru tafsir memerlukan waktu enam
tahun untuk membaca buku karangannya. Untuk pelajar fikih tidak ada penjelasan
secara jelas berapa lama waktu yang harus ditempuh oleh seorang murid untuk
belajar fikih dari seorang guru. Akan tetapi, ada riwayat yang melaporkan bahwa
Abu Yusuf telah menghabiskan waktu tujuh belas tahun untuk belajar fikih dengan
gurunya, Abu Hanifah. Sedangkan Abu Hanifah memerlukan waktu sepuluh tahun
untuk belajar fikih kepada Hammad.[35]
Di
antara ciri khas pendidikan Islam periode Klasik adalah teacher oriented, bukan institution
oriented. Kualitas suatu pendidikan tergantung kepada guru, bukan kepada
lembaga. Pelajar-pelajar bebas mengikuti suatu pelajaran yang mereka kehendaki.
Mereka memilih sebuah pengajian berdasarkan guru/ulama yang mengajarnya, bukan
lembaganya. Oleh karena itu, mereka tidak harus belajar di masjid-masjid saja,
tetapi bisa saja di perpustakaan, toko buku, rumah ulama, atau tempat terbuka.[36]
Sebelum
muncul madrasah, pelajar yang mengikuti suatu halaqah atau mesjid tiada
terbatas jumlahnya. Setelah muncul madrasah, pelajar yang ingin belajar di
madrasah tidak bisa sekehendak hatinya belajar di madrasah. Mereka harus
mendapat izin dari pengelola madrasah. Sedangkan selain madrasah, pelajar bebas
mengikuti. Pelajar-pelajar ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelajar
tak tetap dan pelajar tetap. Pelajar tetap biasanya terdiri dari para pekerja.
Mereka mengikuti pelajaran bukan untuk studi, tetapi untuk menunjang profesi
mereka. Mereka mengikuti pelajaran tidak kontinue, tetapi pada waktu tertentu
saja. Namun demikian, jumlah mereka seringkali melebihi pelajar tetap.
Pelajar-pelajar
yang disebut sebagai pelajar tetap adalah mereka yang mempunyai tujuan utama
untuk belajar dan mereka menghabiskan sebagian hidup mereka untuk belajar. Apabila
guru melihat salah satu pelajar tidak berhasil dalam menguasai suatu pelajaran,
dia akan menyuruh murid tersebut pindah kepada guru lain yang lebih cocok; atau
meyarankan muridnya pindah menekuni bidang lain.
Begitu
mengesankan hubungan guru dan murid pada masa klasik. Hubungan guru dan murid
tidak hanya sebatas berkaitan dengan transmisi keilmuan dan pembentukan
perilaku si murid. Sangat besar perhatian guru kepada murid-muridnya. Lebih
dari itu guru sering memberikan bantuan kepada murid-murid yang membutuhkannya.
4. Rihlah Ilmiyah
Salah
satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa Klasik adalah
sistem rihlah ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari
ilmu. Menurut Syalabi, cara seperti ini telah berkembang dalam Islam sejak awa.
Setelah wilayah Islam meluas, banyak sahabat Nabi dikirim ke daerah-daerahyang
telah ditakhlukkan. Di daerah masing-masing ia mendirikan lembaga pendidikan
dan mengajarkan ajaran-ajaran agama, termasuk Al-Qur’an dan Hadis karena pada
masa itu terdapat hadis-hadis Nabi yang hanya diketahui dan diriwyatkan oleh
sahabat-sahabat tertentu; sedangkan umat Ilsma membutuhkan hadis-hadis Nabi
demi kepentingan agama. Kemudian mereka mengunjungi shabat-sahabat yang bisa
meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah walaupun tempat sahabat-sahabat
tersebut sangat jauh untuk menuntut ilmu. Dari sini timbul sistem melakukan
perjalanan jauh untuk menuntut ilmu.[37]
Dengan
adanya sistem rihlah ‘ilmiyah, pendidikan Islam di masa Klasik tidak hanya
dibatasi dengan dinding kelas (school
without wall). Pendidikan Isdlam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk
belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru
juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk
mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian, sistem rihlah ‘ilmiyah disebut
dengan learning society (masyarakat
belajar).[38]
Sistem
perjalanan ilmiah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi umat Islam. Dengan
adanya perjalanan ilmiah guru-guru dan pelajar ke berbagai daerah Islam yang
terpisah-pisah dan jauh jaraknya, akan terjadi jalinan budaya antara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kebebasan perjalanan ke berbagai daerah
Islam menyebabkan pertukaran pemikiran terus menerus berlangsung antar
masyarakat Islam. Proses culture contact tersebut
menyebabkan dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.
Syalabi,
dengan mengutip Nicholson, menjelaskan bahwa melakukan perjalanan ilmuah
laksana lebah yang mencari sari bunga ke tempat yang jauh. Kemudian, mereka
kembali ke kota kelahiran mereka dengan membawa madu manis. Selanjutnya,
pelajar-pelajar tersebut menetap di negeri mereka untuk memenuhi hasrat
masyarakat yang telah lama menantikan kedatangan mereka. Umat Islam berdatangan
kepada mereka untuk belajar. Selain itu, ulama-ulama ini menulis ilmu-ilmu yang
telah mereka pelajari dari berbagai daerah, kemudian dipersembahkan ke dalam
bentuk karya-karya ilmuah.[39]
5. Wakaf
Dalam
sistem pendidikan Islam di masa Klasik, tampaknya antara pendidikan Islam dan
wakaf mempunyai hubungan yang erat. Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi
kegiatan pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam dapat berlangsung dengan
baikdan lancar. Adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh sisitem ekonimi
Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat
Islam dan adanya keseimbangan antara ekonomi dengan kemaslahatan masyarakat
sehingga aktivitas ekonomi mempunyai tujuan ibadat dan demi kemaslahatan
bersama. Oleh karena itu, di saat ekonomi Islam mengalami kemajuan, umat Islam
tidak segan-segan membelanjakan uangnya demi kepentingan agama dan
kesejahteraan umat Islam. Karena di dorong oleh ajaran Islam yang menghargai
fungsi pendidikan untuk kemajuan agama dan negara, mereka berlomba-lomba untuk
menafkahkan harta untuk pelaksanaan pendidikan, dan pada akhirnya pendidikan
Islam berkembang maju. Karena pendidikan maju, pemikiran dalam Islam menjadi
maju pula.
Peranan
wakaf sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan, dengan wakaf, umat
Islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Karena wakaf, pendidikan Islam
tidak terlalu menuntut banyak biaya bagi pelajar-pelajar sehingga mereka baik
miskin atau kaya mendapat kesempatan belajar yang sama, bahkan mereka,
khususnya yang miskin, akan mendpat fasilitas-fasilitas yang luar biasa dan
tiada putus-putusnya. Karena itulah, pelajar-pelajar dan guru-guru terdorong
untuk melakukan perjalannan ilmiah.
6. Pendidikan Islam Bagi
Wanita
Sebenarnya
Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki dalam pendidikan. Islam
memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut
ilmu. Sejak masa klasik telah ditemui wanita-wanita terpelajar. K. Hitti
menandaskan bahwa anak-anak perempuan diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat
dasar. Fayyaz Mahmud juga menjelaskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah,
anak-anak perempuan juga mempunyai kesempatan untuk belajar di maktab-maktab. Akan tetapi, tidak banyak
data yang menerangkan bahwa wanita-wanita pun ikut belajar di lembaga
pendidikan tingkat tinggi.[40]
Dalam
sistem pendidikan Islam di masa klasik, pendidikan Islam bukanlah
dsiperuntukkan hanya bagi laki-laki saja. Wanita pun tidak dilarang pergi ke
mesjid untuk mengikuti pelajaran. Akan tetapi, apakah mereka diperbolehkan
terlibat langsung dengan murid laki-laki dalam proses belajar mengajar, atau
mereka belajar secara terpisah.
Syalaby
tidak mengingkari adanya pengajaran untuk wanita dan anak-anak perempuan.
Namun, ia menolak adanya pengajaran anak-anak perempuan secara terbuka dan
terlibat langsung dengan murid laki-laki. Memang dalam kitab al-Aghani, sebagaimana dijelaskan oleh
Syalaby, ditemukan teks yang menerangkan adanya dua kasus yang meriwayatkan
bahwa seorang anak perempuan telah mengikuti pelajaran pada sebuah sekolah
tingkat dasar. Kedua perempuan tersebut adalah hamba sahaya, bukan orang merdeka. Oleh sebab itu, Syalaby menolak
bahwa pengajaran untuk budak dapat dinilai sebagai “pendidikan” karena
pengajaran untuk budak-budak hanyalah untuk menaikkan harga mereka dengan cara
mengajar mereka membaca dan menulis.[41]
Dengan demikian. Riwayat tersebut tidak dapat dipakai sebagai bukti sejarah
bahwa anak-anak perempuan merdeka pernah mengikuti pengajaran tingkat dasar di
kuttab bersama-sama dengan murid-murid laki-laki.
Boleh
jadi pengajaran untuk anak-anak perempuan tidak dilaksanakan secara terbuka
dengan siswa laki-laki. Mereka memperoleh pengajaran di rumah-rumah dengan
mendatangkan guru-guru privat. Menurut Muniruddin Ahmed, pelaksanaan pengajaran
bagi anak-anak perempuan masih belum jelas. Apakah mereka bisa belajar bersama
anak laki-laki atau masih belajar di rumah-rumah.
Sedangkan
pengajaran wanita, menurut Muniruddin Ahmed, ada beberapa indikasi yang
menunjukkan adanya kelompok belajar wanita, tetapi semuanya dilaksanakan secara
terpisah. Misalnya, Ahmad bin Hanbal mengajar di kelas wanita yang dilaksanakan
pada sore hari. Kelas-kelas wanita ini biasanya dilaksanakan dirumah-rumah
wanita yang masih ada hubugan keluarga dengan ulama tertentu. Sedangkan wanita
yang bukan keluarga dari seorang ulama biasanya belajar kepada ayah mereka
sendiri atau mendatangkan guru pribadi.
Ajaran
Islam sesungguhnya tidak membedakan hak antara wanita dan laki-laki untuk
menuntut ilmu. Ajaran Islam mewajibkan bagi laki-laki Muslim maupun wanita
Muslimah untuk menuntut ilmu. Tetapi, dalam praktiknya wanita tidak diberi
kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam menuntut ilmu. Mereka tidak
boleh belajar bersama-sama baik di masjid maupun di madrasah. Menurut Jonathan
Berkey, alasan pemisahan pendidikan murid wanita dan laki-laki dalam pendidika
adalah karena kehadiran wanita di tengah-tengah kaum laki-laki dianggap tabu
dan dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena
ancaman inilah, al-Din bin Jama’ah, sebagaimana dikutip oleh Berkey dalam buku
Hanun Asrohah, melarang wanita berada di madrasah atau berada di suatu tempat
dimana siswa-siswa biasanya lewat, atau melongok ke halaman sekolah melalui
jendela.[42]
Karena
alasan inilah, dalam sistem pendidikan Islam masa klasik diadakan pemisahan
anatara kelas wanita dan laki-laki. Pengajaran untuk wanita diadakan secara
terpisah dengan siswa laki-laki dan biasanya diselenggarakan di rumah-rumah.
Maka dari itu, pengajaran bagi wanita secara formal jumlahnya sangat sedikit
dibandingkan dengan pengajaran untuk siswa laki-laki. Hal ini disebabkan oleh
pandangan masyarakat Islam yang melarang wanita menduduki jabatan birokrasi,
lembaga keagamaan, dan jabatan resmi pemerintahan. Mereka bersikap demikian
karena Al-Qur’an surat al-Nisa’, 5:34, menyatakan bahwa, “Kaum laki-laki adalah
pemimpin kaum wanita; oleh karena itu, Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” Walaupun demikian, wanita
tetap harus belajar ilmu karena ilmu itu penting. Adapun ilmu yang penting bagi
kaum wanita adalah ilmu tentang akhlak, hubungan dengan sosial atau mu’amalah,
ajaran ritual atau ibadah, dan kesehatan.
Syalaby
menyatakan bahwa wanita biasanya menerima pelajaran di rumah dari salah seorang
anggota keluarga atau dari seorang guru yang khusus di datangkan untuk mereka.
Karena itulah, Berkey menjelaskan bahwa tranmisi pengetahuan bagi kaum wanita
bukan berhubungan dengan keluarga atau guru.[43]
Mengenai
pendidikan wanita, ada data yang menunjukan bahwa wanita telah menghadiri suatu
majlis yang terbuka bagi kaum wanita dan laki-laki. Mereka juga diberi
kesempatan untuk bertanya, mislanya majlis
al-wa’dh yang terbuka bagi wanita dan laki-laki. Namun, Muniruddin Ahmed
menganggap majlis ini sebagai pertemuan, bukan sebagai pengajaran. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa wanita telah diberi kesempatan untuk
mengikuti kelas-kelas terbuka tetapi wanita yang dapat merasakan kesempatan ini
jumlahnya relatif sedikit.[44]
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum
timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini
berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang
bentuk-betuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah:
1.
Kuttab sebagai lembaga
pendidikan dasar
2.
Pendidikan rendah di
istana
3.
Toko-toko kitab
4.
Rumah-rumah para ulama
(ahli ilmu pengetahuan)
5.
Majlis atau saloon
kesusasteraan
6.
Badiah (padang pasir,
dusun tempat tinggal Badwi)
7.
Rumah sakit
8.
Perpustakaan
9.
Masjid
Metode pendidikan/pengajaran pada masa daulah
Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: (1) metode lisan,
dalam bentuk dikte (ilma), ceramah, qira’ah,
dan diskusi; (2) metode menghafal, yang merupakan ciri umum dalam sistem
pendidikan pada masa daulat Abbasiyah; (3) metode tulisan merupakan metode yang
paling penting dalam proses belajar mengajar pada masa ini, karena metode ini
merupakan pengkopian karya-karya ulama.
Mahmud
Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran pada
berbagai tingkatan pendidikan tersebut sebagai berikut:
a.
Rencana pelajaran
kuttab (pendidikan dasar)
b.
Rencana pelajaran
tingkat menengah
c.
Rencana pelajaran pada
pendidikan tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun, Sejarah Pedidikan Islam, Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1991.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009.
Suwito, et. al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana, 2005.
Zuhairini, et. al. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1986.
[3] Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 112.
[6] Ibid., Hal. 92.
[9] Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. 1, hal. 50.
[12] Hanun Asrohah, Sejarah,
hal. 69.
[13] Ibid., hal. 56.
[14] Ibid., hal. 71.
[16] Hanun Asrohah, Sejarah, hal.
73.
[24] Hanun Asrohah, Sejarah, hal.
78.
[25] Ibid., hal. 78.
[27] Hanun Asrohah, Sejarah, hal.
78
[29] Hanun Asrohah, Sejarah, hal.
80.
[30] Ibid., hal. 81.
[31] Ibid., hal. 81.
[32] Ibid., hal. 82.
[34] Hanun Asrohah, Sejarah, hal.
83.
[35] Ibid., hal. 84.
[36] Ibid., hal. 85.
[37] Ibid., hal. 87.
[38] Ibid., hal. 88.
[39] Ibid., hal. 89.
[40] Ibid., hal. 95.
[41] Ibid., hal. 95.
[42] Ibid., hal. 97.
[43] Ibid., hal. 97.
[44] Ibid., hal. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar