Senin, 08 Desember 2014

Problematika Pendidikan Nasional dan Solusinya UU SISDIKNAS BAB III Pasal 4 Ayat 1-6 BAB VI Pasal 30 Ayat 1-4

Problematika Pendidikan Nasional dan Solusinya UU SISDIKNAS
BAB III Pasal 4 Ayat 1-6
BAB VI Pasal 30 Ayat 1-4
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Etika Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dra. Nadlifah, M. Pd



Disusun Oleh :
Rahmat Arifin                        09470108
Annisa Nur Arifah      09470109
Tri Pariyatun              09470111
Nur Setyaningsih        09470112

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
PENDAHULUAN

            Reformasi dibidang pendidikan terjadi sejak tahun 2003, terutama ditandai dengan kelahiran UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sietem Pendidikan Nasional. Euforia demokratisasi merupakan warna menonjol proses reformasi itu. Di sektor pendidikan misalnya, demokratisasi utamanya ditandai dengan peran serta masyarakat yang diharapkan semakin besar, serta perubahan etika birokrasai dan yang semula terpusan menjadi otonomi daerah. Tentu masih banyak lagi beberapa aspek lainyang baru dan progresif yang diprediksi bakal mengubah sistem dan tata nilai pendidikan di tanah air.
            Inti persoalan yang berkenaan dengan nuansa agama atau ciri agama di jenis pendidikan umum, kejuruan, vokasi provesi, kedinasan, dan khusus terletak pada masih tidak teraturnyapenyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah karena agama tidak dibelajarkan oleh pemeluk agama yang bersangkutan dan terkadang materinya pun menggunakan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianut.adapun permasalah pendidikan keagamaan adalah tuntutan masyarakat agar negara mengakhiri politik pendidikan negara yang selama ini berlaku diskriminasi dan meminggirkan peranan penting yang dimainkan oleh pendidikan keagamaan.
            Seperti sangat santer diberitakan oleh media masa, terutama menjelang pengesahan UU Sisdiknas 2003, seluruh persoalan pendidikan yang rumit yang didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun, semuanya hampir tenggelam oleh polemik pasal-pasal agama dan UU Sisdiknas. Polemik itu saya rasakan sangat melampaui batas karena ranah pembicaraannya sudah tidak terbatas lagi pada persoalan pendidikan semata, akan tetapi sudah pula memasuki wilayah polemik dan kepentingan dakwah agama-agama.


PEMBAHASAN

A.   UU SISDIKNAS BAB III Pasal 4 Ayat 1-6

B.   UU SISDIKNAS BAB VI Pasal 30 Ayat 1-4
Di UUSPN No. 2 Tahun 1989, istilah “pendidikan keagamaan” sebenarnya sudah muncul. Akan tetapi yang dimaksud sangat berbeda dengan UU Sisdiknas No. 20. Dahulu yang dimaksud pendidikan keagamaan meliputi madrasah, sekolah umum dengan label atau cirri khas agama. Tetapi ini istilah ini digunakan lebih khusus lagi karena hanya menyangkut pendidikan yang memiliki tujuan menonjol mempersiapkan peserta didik menjadi ahli ilmu agama. Perbedaan mencolok antara madrasah dan pendidikan keagamaan Islam terletak pada tujuan ini.[1]
Selanjutnya pada Pasal 30, ayat (4) dikatakan “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”. Penempatan diniyah dan pesantren sebagai dua hal yang berbeda, sesungguhnya kurang selaras. Jika, pendidikan diniyah yang dimaksud adalah satuan pendidikan diniyah semisal madrasah diniyah[2], maka maknanya adalah satuan pendidikan. Sedangkan pesantren bukanlah satuan pendidikan.
Rupanya, rumusan undang-undang tampak hendak menggambarkan dua pesonifikasi lembaga keagamaan Islam secara komperhensif, pertama diniyah yang mewakili lembaga di luar pesantren, dan kedua, pesantren itu sendiri. Tetapi tanpa disadari, rumusan semacam ini menyulitkan sebab keduanya bias merupakan satu hal juga, yakni diniyah sekaligus juga pesantren.
Menurut draft RPP Pendidikan agama dan Keagamaan versi 2 Februari 2006, (versi yang diduga sudah final dan tinggal menunggu pengesahan), pendidikan keagamaan Islam akhirnya hanya tinggal satu, yaitu “diniyah”. Sesuai dengan makna kata aslinya, diniyah, yang berarti “keagamaan”. Kaitannya dengan pesantren, pendidikan diniyah ini dikategorikan menjadi dua: (1) yang diselenggarakan di pesantren; dan (2) yang diselenggarakan di luar pesantren. Ini alternative yang sedikit membingungkan namun memotret kondisi yang ada di lapangan.
Pencantuman pesantren pada Pasal 30 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 harus diakui merupakan hal besar dalam reformasi pendidikan nasional. Pencantuman itu kontan menimbulkan banyak tanda tanya, terutama di kalangan pesantren:
1.      Apakah alumni pesantren akan mulai langsung diakui Negara?
2.      Apakah pesantren akan mulai ditertibkan Negara?
3.      Apakah pesantren akan memperoleh subsidi Negara, layaknya subsidi yang biasa dikucurkan untuk sekolah dan madrasah formal?
Pertama-tama, definisi pesantren dalam konteks pendidikan perlu diperjelas. Pesantren sebenarnya bukanlah sejenis lembaga pendidikan yang bias dilihat dari segi jalur pendidikan pada umumnya (formal, nonformal, dan informal). KH. A. Sahal Mahfudz menyebutkan dua potensi yang dimiliki pesantren, yakni potensi pengembangan masyarakat dan potensi pendidikan.[3] Mengkaitkan pesantren dengan UU Sisdiknas, harus dilihat pada sisi pendidikannya saja. Potensi sosialnya, sebagai lembaga pengembangan masyarakat, tidak usah dimasukkan dalam pembahasan.

Lingkup pendidikan agama dapat ditelisik di beberapa lembaga penyelenggara pendidikan:
 








            Agama akhirnya diakomodasi oleh konstitusi Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari sektor pendidikan. Konsekuensinya, semua lembaga pendidikan, termasuk sekolah-sekolah yang dikelola oleh negarapun yang sering kali lebih dituntut untuk menjadi netraltidak bisa terlepas dari kelaziman ini.
            Tak hanya itu pememenuhan kebutuhan dasar intregasi agama pendidikan ini akhirnya disebut-sebut turut melatarbelakangi kelahiran manajemnen pendidikan Indonesia ke dalama dua pilar pelayanan pendidikan,yakni pelayanan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Meski pelayanan manajemen pelayanan pendidikan ini secara umum menjadi tanggung jawab Menteri pendidikan, sebagaima dituangkan dalam UU Sisdiknas, namun dualisme pelaksaannya yang relatif terpisah sering menimbulkan persoalan.
Problem dan Solusi Pendidikan Agama
            Pendidikan agama dimaksudkan untuk membangun aspek keimanan dan ketakwaan sebagaimana diamanatkan dalam undangan-undang. Pendidikan agama didefinisikan menjadi usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.[4] Ini dibedakan dari pengajaran agama yang dianggap hanya pemberian pengetahuan agama kepada anak, agar supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.[5]
            Sejak peraturan perundangan Indonesia mewajibkan materi “pendidikan agama” dibelajarkan, selama itu pula yidak diatur di sana mengenai agama apa dan untuk siapa. Sering kali pendidikan agama itu diberikan secara mismatch (salah taruh). Mislanya, siswa katholik di sekolah negeri diberi pelajaran agama Islam. Demikian pula siswa muslim di sekolah Kristen atau Hindu diberikan materi pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Praktek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dinilai tidak proposional, juga telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (bahasa Islamnya pemurtadan siswa-siswa).
            Selain itu, tujuan pendidikan agama juga dipertanyakan. Masyarakat mengharapkan agar pendidikan agama selain membelajarkan ibadah,juga diharapkan dapat membangun moral siswa. Belakangan ini banyak orang beranggapan bahwa agama telah diberikan secara salah arah: yakni lebih mementingkan ibadah dari pada moral. Dengan melihat contoh pendidikan agama/ moral di negeri lain, justru pelajaran morallah yang jauh lebih penting dan perlu ditekankan, karena tujuan keberagamaan itu memang adalah soal moralitas. Sampai-sampai banyak yang menyarankah agar pendidikan agama disekatkan pada masalah moralitas saja. Masalah ibadah, karena faktor kemajemukan tadi, lebih baik diserahkan kepada keluarga. Beberapa yang lain menganggap moralitas ini bermuara pada masalah pendidikan agama yang tidak diberikan secara optimal, yang disebabkan karena pendidikan agama tidak pernah diberikan secara setius melalui kecocokan anatara agama, guru, dan siswa. Jika agama sudah diberikan secara proposional, artinya serius, kejadiannya mungkin akan berbeda.
            Sebenarnya kalau dicermati lebih teliti, kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience) dan moralitas, yang disebabkan karena agama diajarkan secara mismatch (tidak cocok antara agama, guru, dan siswa) hanyalah salah satu sebab kelemahan pendidikan agama. Yang benar adalah, adanya faktor-faktor lain yang turut serta menjadi penyebabnya. Di beberapa sekolah yang agama sudah diberikan secara cocok antara agama, guru, dan siswa, kelemahan-kelemahan agama yang sama tetap saja menghantui. Faktor-faktor pelemah utama lainnya mislanya: soal keterbatasan waktu dan metode pembelajaran.
Bagaimanakah membelajarkan agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu, sementara lingkungan sekolah dan setelah pulang ke rumah / masyarakat, seorang siswa menghadapi suasana yang berbeda, bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat agama yang diterimanya sewaktu berada di sekolahnya. Apalagi jika guru pendidikan agama tidak menjelaskan mengapa disparitas suasana dan ajaan demikian berbeda (dan kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).
Dalam kondisi demikian, sikap yang akan diambil oleh siswa akan beraneka ragam, mislanya:
1.      Siswa akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh ajaran agama berlawanan dengan lingkungannya.
2.      Siswa akan menjalankan ajaran agama tetapi secara bercampur baur, ya beragama ya menjalani corak kehidupan yang berlawanan dengannya. Misalnya ia melakukan sholat tetapi juga mau berzina dengan pacarnya.
3.      Siswa akan mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali, karena ia kalah dengan lingkungannya. Yang terakhir inimengikuti pembelajaran pendidikan agama hanya sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki corak kehidupannya sama sekali.
Dari sini guru agama harus mulai mencari terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan. Di anataranya dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui:[6]
1.      Belajar lagi di rumah, baik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji.
2.      Sekolah madrasah diniyah sore.
3.      Sekolah negeri sambil menjadi santri di pondok pesantren.
            Akan tetapi, terapi penyempurnaan ini bersifat bebas. Sehingga tidak semua  orang tua menyadari kepentingan melakukannya. Banyak sekali yang tidak melakukannya, baik karena tidak menyadari, tidak peduli, ataupun karena tidak mampu dari segi finansial. Persoalan yang hampir sama dihadapi oleh siswa di sekolah negeri adalah yang bersekolah di yayasan dengan lambang agama lain. Nasib mereka sedikit tertolong oleh Pasal 12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas, dimana mereka akan mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang diyakini dan diajarkan oleh guru yang seagama.

Problem dan Solusi Pendidikan Diniyah
            Kelemahan yang sekaligus mengancam eksistensi pendidikan diniyah formal setidaknya dapat ditelusuri lewat satu pertanyaan berikut ini: Apakah masyarakat  akan tertarik benar masuk atau mendirikan sekolah semacam pendidikan diniyah ini?
            Sebenarnya, embrio pendidikan diniyah semacam itu sudah menjamur terutama di pesantren-pesantren. Spirit UU Sisdiknas antara lain juga karena ingin memberi fasilitas yang wajar kepada pendidikan keagamaan yang pada kenyataannya sudah berkembang di masyarakat ini. Justru pada saat akan diformalkan semacam ini, peminatnya bisa hanya terbatas pada yang memahami prospek pendidikan semacam ini saja, sekaligus yang berani menanggung kerumitan dan menemukan celah keistimewaannya.
            Masyarakat pelaksana pendidikan diniyah formal setidaknya dihadapkan kepada tahapan perencanaan ini:
1.      Menghitung kualitas SDM yang dimiliki.
2.      Menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan, jika tidak mampu maka dapat melakukaan konsultasi/ kerasama misalnya dengan pesantren lain, komite sekolah/ madrasah, dinas/ kantor departemen agama dan dewan pendidikan.
3.      Mendapatkan bantuan dari negara atau pihak lain sebagaimana hak yang bisa dinikmati oleh satuan pendidikan lain yang memperolehnya.
4.      Mewujutkan hak-hak lulusan diniyah untuk memperoleh layanan pendidikan, sosial dan politik sebagaimana mestinya, khususnya melalui koordinasi dengan pemerintah jika menemukan kendala.
           




[1] Hal. 93
[2] Madrasah diniyah adalah sejenis lembaga pendidikan ilmu agma suplemen, diselenggarakan oleh pesantren atau bukan, yang misinya menyediakan pendidikan tambahan ilmu agama bagi peserta didik yang sudah menempuh pendidikan formal di waktu yang lain. Di banyak kampung, Madrasah diniyah semacam itu biasa diselenggarakan sore hari, malam, atau kapan saja. Selain sebutan madrasah diniyah, orang awam menyebutnya sekolah arab, karena bahan ajarnya hampir semua menggunakan tulisan arab, setidaknya arab pegon.
[3] Hal. 75
[4] Muhammad Kholid Fathoni. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam: Jakarta. 2005. Hal. 39
[5] Ibid., hal. 40
[6] Hal. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar