Problematika
Pendidikan Nasional dan Solusinya UU SISDIKNAS
BAB III Pasal 4 Ayat 1-6
BAB VI Pasal 30 Ayat 1-4
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Etika Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dra.
Nadlifah, M. Pd
Rahmat
Arifin 09470108
Annisa
Nur Arifah 09470109
Tri
Pariyatun 09470111
Nur
Setyaningsih 09470112
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
2011
PENDAHULUAN
Reformasi
dibidang pendidikan terjadi sejak tahun 2003, terutama ditandai dengan
kelahiran UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sietem Pendidikan Nasional. Euforia
demokratisasi merupakan warna menonjol proses reformasi itu. Di sektor
pendidikan misalnya, demokratisasi utamanya ditandai dengan peran serta
masyarakat yang diharapkan semakin besar, serta perubahan etika birokrasai dan
yang semula terpusan menjadi otonomi daerah. Tentu masih banyak lagi beberapa
aspek lainyang baru dan progresif yang diprediksi bakal mengubah sistem dan
tata nilai pendidikan di tanah air.
Inti
persoalan yang berkenaan dengan nuansa agama atau ciri agama di jenis
pendidikan umum, kejuruan, vokasi provesi, kedinasan, dan khusus terletak pada
masih tidak teraturnyapenyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah karena
agama tidak dibelajarkan oleh pemeluk agama yang bersangkutan dan terkadang
materinya pun menggunakan agama yang tidak sesuai dengan agama yang
dianut.adapun permasalah pendidikan keagamaan adalah tuntutan masyarakat agar
negara mengakhiri politik pendidikan negara yang selama ini berlaku
diskriminasi dan meminggirkan peranan penting yang dimainkan oleh pendidikan
keagamaan.
Seperti
sangat santer diberitakan oleh media masa, terutama menjelang pengesahan UU
Sisdiknas 2003, seluruh persoalan pendidikan yang rumit yang didiskusikan oleh
para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun, semuanya hampir tenggelam
oleh polemik pasal-pasal agama dan UU Sisdiknas. Polemik itu saya rasakan
sangat melampaui batas karena ranah pembicaraannya sudah tidak terbatas lagi
pada persoalan pendidikan semata, akan tetapi sudah pula memasuki wilayah
polemik dan kepentingan dakwah agama-agama.
PEMBAHASAN
A.
UU SISDIKNAS BAB III Pasal 4 Ayat 1-6
B.
UU SISDIKNAS BAB VI Pasal 30 Ayat 1-4
Di UUSPN No. 2 Tahun
1989, istilah “pendidikan keagamaan” sebenarnya sudah muncul. Akan tetapi yang
dimaksud sangat berbeda dengan UU Sisdiknas No. 20. Dahulu yang dimaksud
pendidikan keagamaan meliputi madrasah, sekolah umum dengan label atau cirri
khas agama. Tetapi ini istilah ini digunakan lebih khusus lagi karena hanya
menyangkut pendidikan yang memiliki tujuan menonjol mempersiapkan peserta didik
menjadi ahli ilmu agama. Perbedaan mencolok antara madrasah dan pendidikan
keagamaan Islam terletak pada tujuan ini.[1]
Selanjutnya pada Pasal
30, ayat (4) dikatakan “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
Penempatan diniyah dan pesantren sebagai dua hal yang berbeda, sesungguhnya kurang
selaras. Jika, pendidikan diniyah yang dimaksud adalah satuan pendidikan
diniyah semisal madrasah diniyah[2],
maka maknanya adalah satuan pendidikan. Sedangkan pesantren bukanlah satuan
pendidikan.
Rupanya, rumusan
undang-undang tampak hendak menggambarkan dua pesonifikasi lembaga keagamaan
Islam secara komperhensif, pertama diniyah yang mewakili lembaga di luar
pesantren, dan kedua, pesantren itu sendiri. Tetapi tanpa disadari, rumusan
semacam ini menyulitkan sebab keduanya bias merupakan satu hal juga, yakni
diniyah sekaligus juga pesantren.
Menurut draft RPP
Pendidikan agama dan Keagamaan versi 2 Februari 2006, (versi yang diduga sudah
final dan tinggal menunggu pengesahan), pendidikan keagamaan Islam akhirnya
hanya tinggal satu, yaitu “diniyah”. Sesuai dengan makna kata aslinya, diniyah,
yang berarti “keagamaan”. Kaitannya dengan pesantren, pendidikan diniyah ini
dikategorikan menjadi dua: (1) yang diselenggarakan di pesantren; dan (2) yang
diselenggarakan di luar pesantren. Ini alternative yang sedikit membingungkan
namun memotret kondisi yang ada di lapangan.
Pencantuman pesantren
pada Pasal 30 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 harus diakui merupakan hal besar
dalam reformasi pendidikan nasional. Pencantuman itu kontan menimbulkan banyak
tanda tanya, terutama di kalangan pesantren:
1. Apakah
alumni pesantren akan mulai langsung diakui Negara?
2. Apakah
pesantren akan mulai ditertibkan Negara?
3. Apakah
pesantren akan memperoleh subsidi Negara, layaknya subsidi yang biasa
dikucurkan untuk sekolah dan madrasah formal?
Pertama-tama, definisi
pesantren dalam konteks pendidikan perlu diperjelas. Pesantren sebenarnya
bukanlah sejenis lembaga pendidikan yang bias dilihat dari segi jalur
pendidikan pada umumnya (formal, nonformal, dan informal). KH. A. Sahal Mahfudz
menyebutkan dua potensi yang dimiliki pesantren, yakni potensi pengembangan
masyarakat dan potensi pendidikan.[3]
Mengkaitkan pesantren dengan UU Sisdiknas, harus dilihat pada sisi
pendidikannya saja. Potensi sosialnya, sebagai lembaga pengembangan masyarakat,
tidak usah dimasukkan dalam pembahasan.
Lingkup pendidikan
agama dapat ditelisik di beberapa lembaga penyelenggara pendidikan:

Agama
akhirnya diakomodasi oleh konstitusi Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan
dari sektor pendidikan. Konsekuensinya, semua lembaga pendidikan, termasuk
sekolah-sekolah yang dikelola oleh negarapun yang sering kali lebih dituntut
untuk menjadi netraltidak bisa terlepas dari kelaziman ini.
Tak
hanya itu pememenuhan kebutuhan dasar intregasi agama pendidikan ini akhirnya
disebut-sebut turut melatarbelakangi kelahiran manajemnen pendidikan Indonesia
ke dalama dua pilar pelayanan pendidikan,yakni pelayanan yang dilakukan oleh
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Meski pelayanan manajemen
pelayanan pendidikan ini secara umum menjadi tanggung jawab Menteri pendidikan,
sebagaima dituangkan dalam UU Sisdiknas, namun dualisme pelaksaannya yang
relatif terpisah sering menimbulkan persoalan.
Problem
dan Solusi Pendidikan Agama
Pendidikan
agama dimaksudkan untuk membangun aspek keimanan dan ketakwaan sebagaimana
diamanatkan dalam undangan-undang. Pendidikan agama didefinisikan menjadi
usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik mereka
hidup sesuai dengan ajaran Islam.[4] Ini
dibedakan dari pengajaran agama yang dianggap hanya pemberian pengetahuan agama
kepada anak, agar supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.[5]
Sejak
peraturan perundangan Indonesia mewajibkan materi “pendidikan agama”
dibelajarkan, selama itu pula yidak diatur di sana mengenai agama apa dan untuk
siapa. Sering kali pendidikan agama itu diberikan secara mismatch (salah taruh). Mislanya, siswa katholik di sekolah negeri
diberi pelajaran agama Islam. Demikian pula siswa muslim di sekolah Kristen
atau Hindu diberikan materi pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama
yang dianutnya. Praktek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dinilai
tidak proposional, juga telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi
(bahasa Islamnya pemurtadan siswa-siswa).
Selain
itu, tujuan pendidikan agama juga dipertanyakan. Masyarakat mengharapkan agar
pendidikan agama selain membelajarkan ibadah,juga diharapkan dapat membangun
moral siswa. Belakangan ini banyak orang beranggapan bahwa agama telah
diberikan secara salah arah: yakni lebih mementingkan ibadah dari pada moral. Dengan
melihat contoh pendidikan agama/ moral di negeri lain, justru pelajaran
morallah yang jauh lebih penting dan perlu ditekankan, karena tujuan
keberagamaan itu memang adalah soal moralitas. Sampai-sampai banyak yang
menyarankah agar pendidikan agama disekatkan pada masalah moralitas saja.
Masalah ibadah, karena faktor kemajemukan tadi, lebih baik diserahkan kepada
keluarga. Beberapa yang lain menganggap moralitas ini bermuara pada masalah pendidikan
agama yang tidak diberikan secara optimal, yang disebabkan karena pendidikan
agama tidak pernah diberikan secara setius melalui kecocokan anatara agama,
guru, dan siswa. Jika agama sudah diberikan secara proposional, artinya serius,
kejadiannya mungkin akan berbeda.
Sebenarnya
kalau dicermati lebih teliti, kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun
nuansa ibadah (obedience) dan
moralitas, yang disebabkan karena agama diajarkan secara mismatch (tidak cocok antara agama, guru, dan siswa) hanyalah salah
satu sebab kelemahan pendidikan agama. Yang benar adalah, adanya faktor-faktor
lain yang turut serta menjadi penyebabnya. Di beberapa sekolah yang agama sudah
diberikan secara cocok antara agama, guru, dan siswa, kelemahan-kelemahan agama
yang sama tetap saja menghantui. Faktor-faktor pelemah utama lainnya mislanya:
soal keterbatasan waktu dan metode pembelajaran.
Bagaimanakah
membelajarkan agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu, sementara lingkungan
sekolah dan setelah pulang ke rumah / masyarakat, seorang siswa menghadapi
suasana yang berbeda, bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat agama
yang diterimanya sewaktu berada di sekolahnya. Apalagi jika guru pendidikan
agama tidak menjelaskan mengapa disparitas suasana dan ajaan demikian berbeda
(dan kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).
Dalam
kondisi demikian, sikap yang akan diambil oleh siswa akan beraneka ragam,
mislanya:
1.
Siswa
akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh ajaran agama
berlawanan dengan lingkungannya.
2.
Siswa
akan menjalankan ajaran agama tetapi secara bercampur baur, ya beragama ya
menjalani corak kehidupan yang berlawanan dengannya. Misalnya ia melakukan
sholat tetapi juga mau berzina dengan pacarnya.
3.
Siswa
akan mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali, karena ia kalah
dengan lingkungannya. Yang terakhir inimengikuti pembelajaran pendidikan agama
hanya sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki
corak kehidupannya sama sekali.
Dari sini guru agama
harus mulai mencari terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan. Di
anataranya dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui:[6]
1. Belajar
lagi di rumah, baik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji.
2. Sekolah
madrasah diniyah sore.
3. Sekolah
negeri sambil menjadi santri di pondok pesantren.
Akan
tetapi, terapi penyempurnaan ini bersifat bebas. Sehingga tidak semua orang tua menyadari kepentingan melakukannya.
Banyak sekali yang tidak melakukannya, baik karena tidak menyadari, tidak
peduli, ataupun karena tidak mampu dari segi finansial. Persoalan yang hampir
sama dihadapi oleh siswa di sekolah negeri adalah yang bersekolah di yayasan
dengan lambang agama lain. Nasib mereka sedikit tertolong oleh Pasal 12 ayat
(1) huruf a UU Sisdiknas, dimana mereka akan mendapatkan pengajaran agama
sesuai dengan agama yang diyakini dan diajarkan oleh guru yang seagama.
Problem dan Solusi Pendidikan
Diniyah
Kelemahan
yang sekaligus mengancam eksistensi pendidikan diniyah formal setidaknya dapat ditelusuri
lewat satu pertanyaan berikut ini: Apakah masyarakat akan tertarik benar masuk atau mendirikan
sekolah semacam pendidikan diniyah ini?
Sebenarnya,
embrio pendidikan diniyah semacam itu sudah menjamur terutama di
pesantren-pesantren. Spirit UU Sisdiknas antara lain juga karena ingin memberi
fasilitas yang wajar kepada pendidikan keagamaan yang pada kenyataannya sudah
berkembang di masyarakat ini. Justru pada saat akan diformalkan semacam ini,
peminatnya bisa hanya terbatas pada yang memahami prospek pendidikan semacam
ini saja, sekaligus yang berani menanggung kerumitan dan menemukan celah
keistimewaannya.
Masyarakat
pelaksana pendidikan diniyah formal setidaknya dihadapkan kepada tahapan
perencanaan ini:
2.
Menyusun
kurikulum tingkat satuan pendidikan, jika tidak mampu maka dapat melakukaan
konsultasi/ kerasama misalnya dengan pesantren lain, komite sekolah/ madrasah,
dinas/ kantor departemen agama dan dewan pendidikan.
3.
Mendapatkan
bantuan dari negara atau pihak lain sebagaimana hak yang bisa dinikmati oleh
satuan pendidikan lain yang memperolehnya.
4.
Mewujutkan
hak-hak lulusan diniyah untuk memperoleh layanan pendidikan, sosial dan politik
sebagaimana mestinya, khususnya melalui koordinasi dengan pemerintah jika
menemukan kendala.
[1] Hal. 93
[2] Madrasah diniyah
adalah sejenis lembaga pendidikan ilmu agma suplemen, diselenggarakan oleh
pesantren atau bukan, yang misinya menyediakan pendidikan tambahan ilmu agama
bagi peserta didik yang sudah menempuh pendidikan formal di waktu yang lain. Di
banyak kampung, Madrasah diniyah semacam itu biasa diselenggarakan sore hari,
malam, atau kapan saja. Selain sebutan madrasah diniyah, orang awam menyebutnya
sekolah arab, karena bahan ajarnya hampir semua menggunakan tulisan arab,
setidaknya arab pegon.
[3] Hal. 75
[4] Muhammad Kholid Fathoni. Pendidikan
Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru. Departemen Agama RI
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam: Jakarta. 2005. Hal. 39
[5] Ibid., hal. 40
[6] Hal. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar