Senin, 08 Desember 2014

Problem-problem Kurikulum Pendidikan Islam

Problem-problem Kurikulum
Pendidikan Islam
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Suismanto



Disusun Oleh :
                                    Mohamad Sholikin                            09470107
                                    Annisa Nur Arifah                            09470109
                                    Tri Pariyatun                                     09470111
                                               

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010/2011
PENDAHULUAN

            Pendidikan agama Islam di sekolah dianggap kurang maksimal dan mendapat sorotan serta kritik yang tajam karena dipandang belum dapat menghantarkan peserta didik yang shaleh pribadi dan shaleh social. Di samping itu, pendidikan agama Islam masih dipandang belum mampu menjadi roh atau semangat (spirit) yang mendorong pertumbuhan harmoni kehidupan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, peran serta pendidikan agama Islam di sekolah dipertanyakan.
            Kondisi ini didukung dengan pendidikan agama disekolah belum mendapatkan tempat, waktu, serta dipandang kurang penting karena tidak di-UN-kan. Padahal, (berdasarkan UU No.20/2003 Ps.3) pendidikan agama (Islam) mendasari pendidikan-pendidikan lain, dan sebagai tolok ukur pembentukan watak, karakter, dan peradaban peserta didik, namun kenyataannya kurang mendapat perhatian yang proporsional.
Semua permasalahan itu, merupakan tantangan bagi pengelola pendidikan khususnya pendidikan agama Islam, karena kebangkrutan moral terkait dengan kegagalan sistem pendidikan, termasuk sitem pendidikan agama Islam.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam dengan memformulasikan suatu cara untuk mengatasi berbagai problem pendidikan agama Islam di sekolah saat ini melalui pemahaman dan implementasi kurikulum. Dengan demikian, secara bertahap permasalahan pendidikan agama Islam saat ini dapat teratasi.











PEMBAHASAN

A.  Pengertian dan karakteristik kurikulum pendidikan Islam
            Kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah bahan-bahan Pendidikan Agama Islam berupa kegiatan, pengetahuan, dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam.[1]
Adapun cakupan materi Pendidikan Agama Islam adalah: Al-Qur’an dan Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah. Atau dengan kata lain, cakupan Pendidikan Agama Islam adanya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia, mahkluk lainnya maupun lingkungannya. Sedangkan esensi Pendidikan Agama Islam adalah mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai/ akhlak Islam dan mendidik siswa untuk mempelajari materi ajaran Islam.[2]
Tiap jenis kurikulum memiliki karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Andurrahman An-Nahlawi (1983;1986) menjelaskan bahwa kurikulum islami harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:[3]
Pertama, memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia.
Kedua, harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah.
Ketiga, harus sesuai tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
Keempat, memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam.
Kelima, tidak bertentangan dengan konsep-konsep Islam, mengacu pada kesatuan Islam, dan selaras dengan integrasi psikologis yang Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberika kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem maupun realitas alam, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara berbagai bidang ilmu.
Keenam, harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan negara yang hendak menerapkannya sehingga sesuai dengan tuntutan dan kondisi negara itu sendiri.
Ketujuh, harus memilih metode yang realistis sehingga dapat diadaptasi ke dalam berbagai kondisi, lingkungan, dan keadaan tempat ketika kurikulum itu ditetapkan.
Kedelapan, harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak meninggalkan dampak eosional yang meledak-ledakdalam diri generasi muda.
Kesembilan, harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai oleh anak didik.
Kesepuluh, memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung seperti: berjihad, dakwah Islam, serta pembangunan masyarakat muslim dalam lingkungan persekolahan sehingga kegiatan ini dapat mewujudkan seluruh rukun Islam dan syiarnya, metode pendidikan dan pengajarannya, serta etika dalam kehidupan siswa secara individu dan sosial.

  1. Problem-problem kurikulum pendidikan Islam
Kehidupan dan peradaban manusia di awal milenium ketiga ini mengalami banyak perubahan. Dalam merespons fenomena itu, manusia berpacu mengembangkan pendidikan disegala bidang ilmu termasuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun bersamaan dengan itu muncul sejumlah krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakat pun akan lebih baik.
Kenyataannya, seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah itu. Setelah ditelusuri, pendidikan agama menghadapi beberapa kendala, antara lain; kekurangan waktu, yaitu jam pelajaran yang dialokasikan untuk Pendidikan Agama Islam, selalu sedikit.[4] Artinya masih belum mendapat tempat dan waktu yang proposional, terutama di sekolah umum.
Waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan materi yang begitu padat dan memang penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya.
Bagaimanakah membelajarkan agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu, sementara lingkungan sekolah dan setelah pulang ke rumah / masyarakat, seorang siswa menghadapi suasana yang berbeda, bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat agama yang diterimanya sewaktu berada di sekolahnya. Apalagi jika guru pendidikan agama tidak menjelaskan mengapa disparitas suasana dan ajaan demikian berbeda (dan kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).[5]
Dalam kondisi demikian, sikap yang akan diambil oleh siswa akan beraneka ragam, mislanya:[6]
1.      Siswa akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh ajaran agama berlawanan dengan lingkungannya.
2.      Siswa akan menjalankan ajaran agama tetapi secara bercampur baur, ya beragama ya menjalani corak kehidupan yang berlawanan dengannya. Misalnya ia melakukan sholat tetapi juga mau berzina dengan pacarnya.
3.      Siswa akan mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali, karena ia kalah dengan lingkungannya. Yang terakhir inimengikuti pembelajaran pendidikan agama hanya sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki corak kehidupannya sama sekali.
Kelemahan lain, materi pendidikan agama Islam, termasuk bahan ajar akhlak, lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua siswa.
Lebih dari itu, karena tidak termasuk mata pelajaran yang di-UAN-kan, keberadaannya seringkali kurang mendapat perhatian. Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah, dalam pelaksanaannya masih menunjukkan berbagai permasalahan yang kurang menyenangkan. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (2002) sebagai berikut:[7]
1.      Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai (values) yang harus dipraktekkan.
2.      Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya.
3.      Penalaran dan argumentasi berpikir untuk masalah-masalah keagamaan kurang mendapat perhatian.
4.      Penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan.
5.      Menatap lingkungan untuk kemudian memasukkan nilai Islam sangat kurang mendapat perhatian (orientasi pada kenyataan kehidupan sehari-hari kurang).
6.      Metode pembelajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam kurang mendapatkan penggarapan.
7.      Ukuran keberhasilan pendidikan agama juga masih formalitas (termasuk verbalistis)
8.      Pendidikan agama belum mampu menjadi landasan kemajuan dan kesuksesan untuk mata pelajaran lain.
9.      Pendidikan agama belum dijadikan fondasi pendidikan karakter peserta didik dalam perilaku keseharian.
Selain itu, masih terdapat sederet respons kritis terhadap pendidikan Islam di sekolah yang dilontarkan berbagai pihak. Mislanya, kelulusan peserta didik dalam pendidikan Islam hanya diukur dengan seberapa banyak hapalan dan mengerjakan ujian tertulis di kelas, akibatnya penanaman kepribadian kurang berhasil.[8]
Pelaksanaan pembelajaran PAI tidak akan optimal tanpa adanya dukungan sarana prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Data menunjukkan bahwa problem yang dihadapi guru PAI adalah terbatasnya sarana prasarana yang dibutuhkan. Padahal agar pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif diperlukan keseimbangan antara teori dan praktik, sementara kondisi sarana prasarana sekolah yang tersedia jauh dari harapan.[9]

  1. Kurikulum pendidikan Islam sebagai problem sosial
Hampir setiap hari, kita disuguhi contoh-contoh yang menyedihkan melalui berbagai media masa, yang secara bebas mempertontonkan perilaku kekerasan, kejahatan, perselingkuhan, dan korupsi, yang telah membudaya dalam sebagian masyarakat, bahkan dikalangan pejabat.[10] Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa rendah dan rapuhnya fondasi moral dan spiritual kehidupan bangsa. Kita juga mendengar dan menyaksikan, betapa para pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang diharapkan menjadi tulang punggung bangsa telah terlibat dengan VCD porno, narkoba, dan perjudian.[11]
Selain itu, untuk membuktikan pendidikan agama di sekolah kurang berhasil (sekalipun bukan gagal) mudah saja, yaitu masih banyaknya murid yang tidak mengerjakan shalat, yang suka berbohong, bahkan mencuri dan melakukan tindakan yang merupakan pelanggaran ajaran agama.[12]
Semua itu merupakan tantangan bagi pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam, karena kebangkrutan moral berkaitan dengan kegagalan sistem pendidikan, termasuk kegagalan Pendidikan Agama Islam di sekolah.
Mandat pendidikan manusia tidak sekedar pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kognitif atau intelektual namun juga pendidikan yang berperspektif kecerdasan afektif, psikomotorik, serta spiritual. Sedangkan realitas yang terjadi adalah pendidikan agama masih bersifat hafalan (ranah kognitif) hal ini dibuktikan dengan masih banyakanya guru yang sangat bangga dan senang apabila anak didikknya mampu mengahafal surat-surat pendek dalam Al-Qur’an atau seorang murid mampu menghafal hadis nabi atau menghafal doa-doa keseharian tanpa ada penekanan apakah murid tersebut telah mengamalkan secara applicable materi-materi yang telah diberikan, dihafalkan bahkan di ujikan di sekolahan.[13]
Disinilah kita membaca bahwa para pendidik kita masih terjebak pada pendidikan Agama yang “formalis atau tektual belaka,” dalam mindset mereka hanya terpikir bagaimana mendidik anak didiknya supaya cerdas secara kognitif belaka (Kurikulum). Namun kecerdasan afektif, psikomotorik bahkan spiritual jarang di sentuh, hasil output dari anak didiknya hanya akan menjadi murid yang cerdas seperti robot-robot, misalnya jadi pejabat tidak jarang untuk menyalah gunakan posisinya untuk korupsi karena kita sadari bahwa esensi serta filosofi implementasi pendidikan agama mereka sangat lemah sekali. Contoh yang lain diantaraya adalah banyak anak didik kita malah mayoritas muslim Indonesia mengakui kesahihan hadis “ anadlo fatul minal iman “ (bahwa kebersihan itu sebagian dari pada iman) dan kita yakin banyak dari kita yang hafal sekligus paham maksud dari pesan hadis tersebut namun faktanya masyarakat kita masih banyak yang hidup kotor, membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat, artinya bahwa ketika banyak anak didik kita atau masyarakat muslim secara domain mengamalakan pesan hadis tersebut maka otomotis mahkluk yang bernama banjir tahunan diberbagai wilayah indonesia ini dapat dianulir.
Jika kita gunakan teori Bloom, seharusnya pendidikan agama Islam itu membina aspek ketrampilan melakukan ajaran agama (psikomotor), membina aspek pengetahuan agama (kognitif), dan aspek iman atau rasa atau sikap beragama (afektif).[14] Bila ketiga aspek ini dibina dengan baik serta seimbang, maka hasilnya ialah siswa yang memahai, meyakini, dan mengamalkan ajaran agama. Nyatanya ialah murid-murid kita pada umumnya agak banyak paham, lebih sedikit amal, boleh dikatakan kosong dalam iman. Rasa beragama kurang sekali dibina oleh guru-guru di sekolah; mereka mati-matian membina pemahaman dan sedikit membina pengalaman. Hasilnya adalah murid-murid mengerti agama, tetapi mereka belum beragama. Mereka mengetahui (kognitif) shalat itu wajib, tetapi tidak atau jarang shalat. Mereka tidak tahu Tuhan maha mengetahui, tetapi membohongi orang tuanya, disangkanya Tuhan tidak mengetahui kebohongan itu. Jadi, mereka tahu agama, tetapi belum beragama.
Inti agama ialah iman; iman itu di hati. Jadi, rupanya iman itu bukan di kepala; iman itu di dalam hati.[15] Inilah masalah besar itu. Sampai saat ini guru-guru kita hanya mengajar agama untuk diketahui, bukan menanamkan rasa beragama yang dapat membentuk sikap iman kepada Tuhan. Makanya, jangan kaget bila di dalam buku raport nilai agamnya sembilan, tetapi di rumah anak itu malas shalat, suka juga berbohong, dan sebagainya. Yang ada dalam raport itu ialah gambaran pengetahuannya, bukan agamanya. Yang agama ialah menjalankan shalat itu, jujur itu. Jadi, jelas bahwa pendidikan agama di sekolah memang hasilnya kurang memuaskan.
Berangkat dari potret buram tentang pendidikan agama kita di Indonesia ini, mengajak kita bersama untuk melakukan kajian-kajian kritis reflektif terkait dengan revitalisasi pendidikan agama islam, baik berupa content atau kurikulum, metodologi, approach serta interaksi lingkungan sekolah, namun sebelum jauh kita mendiagnosa persoalan tersebut kita mesti sepakat untuk mereduksi asumsi bahwa persolan moral, etika atau akhlak hanya dibebankan pada pelajaran agama islam, namun sebaliknya bahwa setiap displin ilmu atau matapelajaran bertanggungjawab atas moral atau akhlak anak didik karena sungguh tidak fear kalau pelajaran agama yang hanya dua jam setiap satu minggu diharuskan menanggung moral atau akhlak anak didik.[16]

  1. Solusi atas problem kurikulum pendidikan Islam
Dari problem-problem kurikulum pendidikan Islam di sekolah, berikut merupakan solusi atas problem kurikulum tersebut:
1.      Pendekatan kognitif
Pendidikan itu setidaknya memiliki tiga aspek sasaran. Pertama, sasaran pengisian otak (transfer of knowledge). Di sini yang paling ditekankan adalah mengisi kognitif peserta didik, mulai dari yang sederhana seperti menghafal sampai yang analisis. Kedua, mengisi hati, melahirkan sikap positif (transfer of value), sasarannya menumbuhkan kecintaan kepada kebaikan dan membenci kejahatan. Ketiga, perbuatan (transfer of activity), timbul keinginan untuk melakukan yang baik dan menjauhi perilaku jelek. [17]
2.      Pendekatan parsial
Ada kesan di berbagai sekolah umum baik negeri maupun swasta bahwa pendidikan agama tertumpu menjadi tanggung jawabguru-guru agama saja, sedangkan guru-guru mata pelajaran lainnya merasa kurang ada hubungannya dengan pendidikan agama. Untuk mengefektifkan pendidikan agama tersebut maka guru-guru bidang studi lainnya mesti menjadi guru agama yang mengimplisitkan nilai (value) agama ke dalam mata pelajarannya. Sang guru dapat menarik nilai-nilai luhur yang terdapat dalam mata pelajarannya.[18]
3.      Sarana dan fasilitas
Pendidikan agama sebagaimana pendidikan lainnya juga membutuhkan sarana dan fasilitas. Bila di sekolah ada laboratorium Biologi, Fisika, Kimia, Bahasa. Maka sebetulnya sekolah juga membutuhkan laboratorium agama di samping masjid. Laboratorium itu dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang membawa peserta didik untuk lebih menghayati agama, mislanya video, foto, musik, syair, dan puisi yang bernapaskan keagamaan. Yang merangsang emosional keberagamaan peserta didik.[19] Maka untuk mengoptimalkan pemberlakuan kurikulum, pemerintah, sekolah, dan komite sekolah harus bekerja sama untuk memprioritaskan anggaran sektor sarana prasarana. Dengan terpenuhinya sarana prasarana, diharpkan pengembangan kurikulum berjalan sesuai harapan.[20]
4.      Evaluasi
Evaluasi yang berorientasi pada penilaian kognitif semata sudah harus diubah kepada evaluasi yang berorientasi kepada penilaian afektif dan psikomotorik. Di samping tetap melaksanakan penilaian kognitif. Sudah perlu direncanakan salah satu bentuk evaluasi dengan mempergunakan pendekatan afektif dan psikomotorik, mislanya skala sikap dan penilaian praktik ibadah.[21]
















KESIMPULAN

            Pendidikan Agama Islam itu membina aspek ketrampilan melakukan ajaran agama (psikomotor), membina aspek pengetahuan agama (kognitif), dan aspek iman atau rasa atau sikap beragama (afektif). Bila ketiga aspek ini dibina dengan baik serta seimbang, maka hasilnya ialah siswa yang memahai, meyakini, dan mengamalkan ajaran agama.
            Keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh kreativitas guru dalam mengembangkan kurikulum, dan kesiapan peserta didik untuk mengikuti proses belajar mengajar. Guru dituntut mampu menggerakkan peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran sehingga mampu menangkap dan menganalisis proses pembelajaran. Pembelajaran efektif banyak ditentukan oleh interaksi antara peserta didik dan guru, peserta didik dan peserta didik, serta peserta didik dan lingkungannya. Jika ini bisa dicapai, pembelajaran tidak akan berhenti pada proses pencerdasan yang tertumpu pada aspek kognitif, tetapi lebih merupakan proses penumbuhan dan pengembangan bakat secara keseluruhan.















DAFTAR PUSTAKA

Daulay, H. Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006
Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasiona: Paradigma Barul. Jakarta: Departemen Agama RI. 2005
Majid, Abdul. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. 2004
Raharjo, H. Rahmat. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam: Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Yogyakarta: Magnum Pustaka. 2010. hlm. 173
Sulistyorini. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras. 2009
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992
F:\SMK Negeri 1 Trucuk Klaten.htm




[1] Sulistyorini. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras. 2009. hlm. 42
[2] Ibid., hlm. 42
[3] Abdul, Majid. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. 2004. hlm. 79
[4] Ahmad, Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992. hlm. 123
[5] Muhammad, Kholid Fathoni. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasiona: Paradigma Barul. Jakarta: Departemen Agama RI. 2005. hlm. 41
[6] Ibid., hlm. 41
[7] Abdul, Majid. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. 2004. hlm. iv
[8] Ibid., hal. iv
[9] Rahmat, Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam: Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Yogyakarta: Magnum Pustaka. 2010. hlm. 171
[10] Abdul, Majid. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. 2004. hlm. v
[11] Ibid., hal. v
[12] Ahmad, Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992. hlm. 123
[13] F:\SMK Negeri 1 Trucuk Klaten.htm
[14] Ahmad, Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992. hlm. 123
[15] Ibid., hlm. 124
[16] F:\SMK Negeri 1 Trucuk Klaten.htm
[17] H. Haidar Putra Daulay, MA. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. hlm. 39
[18] Ibid., hlm. 40
[19] Ibid., hlm. 40
[20] Rahmat, Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam: Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Yogyakarta: Magnum Pustaka. 2010. hlm. 173
[21] H. Haidar Putra Daulay, MA. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. hlm. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar