Problem-problem
Kurikulum
Pendidikan
Islam
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Suismanto
Disusun Oleh :
Mohamad Sholikin 09470107
Annisa Nur Arifah 09470109
Tri
Pariyatun 09470111
JURUSAN
KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010/2011
PENDAHULUAN
Pendidikan agama
Islam di sekolah dianggap kurang maksimal dan mendapat sorotan serta kritik
yang tajam karena dipandang belum dapat menghantarkan peserta didik yang shaleh
pribadi dan shaleh social. Di samping itu, pendidikan agama Islam masih
dipandang belum mampu menjadi roh atau semangat (spirit) yang mendorong pertumbuhan harmoni kehidupan dalam kehidupan
sehari-hari. Akibatnya, peran serta pendidikan agama Islam di sekolah
dipertanyakan.
Kondisi ini didukung dengan pendidikan
agama disekolah belum mendapatkan tempat, waktu, serta dipandang kurang penting
karena tidak di-UN-kan. Padahal, (berdasarkan UU No.20/2003 Ps.3) pendidikan
agama (Islam) mendasari pendidikan-pendidikan lain, dan sebagai tolok ukur
pembentukan watak, karakter, dan peradaban peserta didik, namun kenyataannya
kurang mendapat perhatian yang proporsional.
Semua permasalahan itu, merupakan
tantangan bagi pengelola pendidikan khususnya pendidikan agama Islam, karena
kebangkrutan moral terkait dengan kegagalan sistem pendidikan, termasuk sitem
pendidikan agama Islam.
Oleh karena itu, untuk
meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam dengan memformulasikan suatu cara
untuk mengatasi berbagai problem pendidikan agama Islam di sekolah saat ini
melalui pemahaman dan implementasi kurikulum. Dengan demikian, secara bertahap
permasalahan pendidikan agama Islam saat ini dapat teratasi.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan karakteristik kurikulum pendidikan Islam
Kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah
bahan-bahan Pendidikan Agama Islam berupa kegiatan, pengetahuan, dan pengalaman
yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada siswa dalam rangka mencapai
tujuan Pendidikan Agama Islam. Kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan alat
untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam.[1]
Adapun cakupan materi
Pendidikan Agama Islam adalah: Al-Qur’an dan Hadist, keimanan, akhlak,
fiqh/ibadah, dan sejarah. Atau dengan kata lain, cakupan Pendidikan Agama Islam
adanya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah,
diri sendiri, sesama manusia, mahkluk lainnya maupun lingkungannya. Sedangkan
esensi Pendidikan Agama Islam adalah mendidik siswa untuk berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai/ akhlak Islam dan mendidik siswa untuk mempelajari materi
ajaran Islam.[2]
Tiap jenis kurikulum memiliki
karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Andurrahman An-Nahlawi
(1983;1986) menjelaskan bahwa kurikulum islami harus memenuhi beberapa
ketentuan, yaitu:[3]
Pertama, memiliki
sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan
untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan
fitrah manusia.
Kedua, harus
mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan
hanya kepada Allah.
Ketiga, harus sesuai
tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis
kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
Keempat, memperhatikan
tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan dan bertitik
tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam.
Kelima, tidak
bertentangan dengan konsep-konsep Islam, mengacu pada kesatuan Islam, dan
selaras dengan integrasi psikologis yang Allah ciptakan untuk manusia serta
selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberika kepada anak didik, baik
yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem maupun realitas alam, sehingga
terjalin hubungan yang harmonis antara berbagai bidang ilmu.
Keenam, harus
realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan negara yang
hendak menerapkannya sehingga sesuai dengan tuntutan dan kondisi negara itu
sendiri.
Ketujuh, harus
memilih metode yang realistis sehingga dapat diadaptasi ke dalam berbagai
kondisi, lingkungan, dan keadaan tempat ketika kurikulum itu ditetapkan.
Kedelapan, harus
efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak
meninggalkan dampak eosional yang meledak-ledakdalam diri generasi muda.
Kesembilan, harus
sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik. Untuk semua tingkatan dipilih
bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah
dicapai oleh anak didik.
Kesepuluh, memperhatikan
aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung
seperti: berjihad, dakwah Islam, serta pembangunan masyarakat muslim dalam
lingkungan persekolahan sehingga kegiatan ini dapat mewujudkan seluruh rukun
Islam dan syiarnya, metode pendidikan dan pengajarannya, serta etika dalam
kehidupan siswa secara individu dan sosial.
- Problem-problem kurikulum pendidikan
Islam
Kehidupan dan peradaban
manusia di awal milenium ketiga ini mengalami banyak perubahan. Dalam merespons
fenomena itu, manusia berpacu mengembangkan pendidikan disegala bidang ilmu
termasuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun bersamaan dengan itu
muncul sejumlah krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya
peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai
spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika
pendidikan agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakat pun akan
lebih baik.
Kenyataannya, seolah-olah pendidikan
agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah itu. Setelah ditelusuri,
pendidikan agama menghadapi beberapa kendala, antara lain; kekurangan waktu,
yaitu jam pelajaran yang dialokasikan untuk Pendidikan Agama Islam, selalu
sedikit.[4]
Artinya masih belum mendapat tempat dan waktu yang proposional, terutama di
sekolah umum.
Waktu yang disediakan hanya
dua jam pelajaran dengan muatan materi yang begitu padat dan memang penting,
yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian
yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya.
Bagaimanakah membelajarkan
agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu, sementara lingkungan sekolah dan
setelah pulang ke rumah / masyarakat, seorang siswa menghadapi suasana yang
berbeda, bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat agama yang
diterimanya sewaktu berada di sekolahnya. Apalagi jika guru pendidikan agama
tidak menjelaskan mengapa disparitas suasana dan ajaan demikian berbeda (dan
kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).[5]
Dalam kondisi demikian, sikap
yang akan diambil oleh siswa akan beraneka ragam, mislanya:[6]
1. Siswa akan menjadi manusia agamis yang
terkungkung karena seluruh ajaran agama berlawanan dengan lingkungannya.
2. Siswa akan menjalankan ajaran agama tetapi
secara bercampur baur, ya beragama ya menjalani corak kehidupan yang berlawanan
dengannya. Misalnya ia melakukan sholat tetapi juga mau berzina dengan
pacarnya.
3. Siswa akan mengabaikan ajaran agama yang
diterimanya sama sekali, karena ia kalah dengan lingkungannya. Yang terakhir
inimengikuti pembelajaran pendidikan agama hanya sekedar memenuhi kewajiban
akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki corak kehidupannya sama sekali.
Kelemahan lain, materi
pendidikan agama Islam, termasuk bahan ajar akhlak, lebih terfokus pada
pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif)
serta pembiasaan (psikomotorik). Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan
guru mata pelajaran lain dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk
mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Lalu
lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih
variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya
peran serta orang tua siswa.
Lebih dari itu, karena tidak
termasuk mata pelajaran yang di-UAN-kan, keberadaannya seringkali kurang
mendapat perhatian. Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah, dalam
pelaksanaannya masih menunjukkan berbagai permasalahan yang kurang
menyenangkan. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama (2002) sebagai berikut:[7]
1. Islam diajarkan lebih pada hafalan
(padahal Islam penuh dengan nilai-nilai (values)
yang harus dipraktekkan.
2. Pendidikan agama lebih ditekankan pada
hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya.
3. Penalaran dan argumentasi berpikir untuk
masalah-masalah keagamaan kurang mendapat perhatian.
4. Penghayatan nilai-nilai agama kurang
mendapat penekanan.
5. Menatap lingkungan untuk kemudian
memasukkan nilai Islam sangat kurang mendapat perhatian (orientasi pada
kenyataan kehidupan sehari-hari kurang).
6. Metode pembelajaran agama, khususnya yang
berkaitan dengan nilai-nilai Islam kurang mendapatkan penggarapan.
7. Ukuran keberhasilan pendidikan agama juga
masih formalitas (termasuk verbalistis)
8. Pendidikan agama belum mampu menjadi
landasan kemajuan dan kesuksesan untuk mata pelajaran lain.
9. Pendidikan agama belum dijadikan fondasi
pendidikan karakter peserta didik dalam perilaku keseharian.
Selain itu, masih terdapat
sederet respons kritis terhadap pendidikan Islam di sekolah yang dilontarkan
berbagai pihak. Mislanya, kelulusan peserta didik dalam pendidikan Islam hanya
diukur dengan seberapa banyak hapalan dan mengerjakan ujian tertulis di kelas,
akibatnya penanaman kepribadian kurang berhasil.[8]
Pelaksanaan pembelajaran PAI
tidak akan optimal tanpa adanya dukungan sarana prasarana yang memadai untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Data menunjukkan bahwa problem yang dihadapi
guru PAI adalah terbatasnya sarana prasarana yang dibutuhkan. Padahal agar
pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif diperlukan keseimbangan antara teori
dan praktik, sementara kondisi sarana prasarana sekolah yang tersedia jauh dari
harapan.[9]
- Kurikulum pendidikan Islam sebagai
problem sosial
Hampir setiap hari, kita
disuguhi contoh-contoh yang menyedihkan melalui berbagai media masa, yang
secara bebas mempertontonkan perilaku kekerasan, kejahatan, perselingkuhan, dan
korupsi, yang telah membudaya dalam sebagian masyarakat, bahkan dikalangan
pejabat.[10]
Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa rendah dan rapuhnya fondasi moral dan
spiritual kehidupan bangsa. Kita juga mendengar dan menyaksikan, betapa para
pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang diharapkan menjadi tulang punggung bangsa
telah terlibat dengan VCD porno, narkoba, dan perjudian.[11]
Selain itu, untuk membuktikan
pendidikan agama di sekolah kurang berhasil (sekalipun bukan gagal) mudah saja,
yaitu masih banyaknya murid yang tidak mengerjakan shalat, yang suka berbohong,
bahkan mencuri dan melakukan tindakan yang merupakan pelanggaran ajaran agama.[12]
Semua itu merupakan tantangan
bagi pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam, karena kebangkrutan moral
berkaitan dengan kegagalan sistem pendidikan, termasuk kegagalan Pendidikan
Agama Islam di sekolah.
Mandat pendidikan manusia
tidak sekedar pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kognitif atau
intelektual namun juga pendidikan yang berperspektif kecerdasan afektif, psikomotorik,
serta spiritual. Sedangkan realitas yang terjadi adalah pendidikan agama masih
bersifat hafalan (ranah kognitif) hal ini dibuktikan dengan masih banyakanya
guru yang sangat bangga dan senang apabila anak didikknya mampu mengahafal
surat-surat pendek dalam Al-Qur’an atau seorang murid mampu menghafal hadis
nabi atau menghafal doa-doa keseharian tanpa ada penekanan apakah murid
tersebut telah mengamalkan secara applicable materi-materi yang telah
diberikan, dihafalkan bahkan di ujikan di sekolahan.[13]
Disinilah kita membaca bahwa
para pendidik kita masih terjebak pada pendidikan Agama yang “formalis atau
tektual belaka,” dalam mindset mereka hanya terpikir bagaimana mendidik anak
didiknya supaya cerdas secara kognitif belaka (Kurikulum). Namun kecerdasan
afektif, psikomotorik bahkan spiritual jarang di sentuh, hasil output dari anak
didiknya hanya akan menjadi murid yang cerdas seperti robot-robot, misalnya
jadi pejabat tidak jarang untuk menyalah gunakan posisinya untuk korupsi karena
kita sadari bahwa esensi serta filosofi implementasi pendidikan agama mereka
sangat lemah sekali. Contoh yang lain diantaraya adalah banyak anak didik kita
malah mayoritas muslim Indonesia mengakui kesahihan hadis “ anadlo fatul minal
iman “ (bahwa kebersihan itu sebagian dari pada iman) dan kita yakin banyak
dari kita yang hafal sekligus paham maksud dari pesan hadis tersebut namun
faktanya masyarakat kita masih banyak yang hidup kotor, membuang sampah dan
kotoran di sembarang tempat, artinya bahwa ketika banyak anak didik kita atau
masyarakat muslim secara domain mengamalakan pesan hadis tersebut maka otomotis
mahkluk yang bernama banjir tahunan diberbagai wilayah indonesia ini dapat
dianulir.
Jika kita gunakan teori Bloom,
seharusnya pendidikan agama Islam itu membina aspek ketrampilan melakukan
ajaran agama (psikomotor), membina aspek pengetahuan agama (kognitif), dan
aspek iman atau rasa atau sikap beragama (afektif).[14]
Bila ketiga aspek ini dibina dengan baik serta seimbang, maka hasilnya ialah
siswa yang memahai, meyakini, dan mengamalkan ajaran agama. Nyatanya ialah
murid-murid kita pada umumnya agak banyak paham, lebih sedikit amal, boleh
dikatakan kosong dalam iman. Rasa beragama
kurang sekali dibina oleh guru-guru di sekolah; mereka mati-matian membina
pemahaman dan sedikit membina pengalaman. Hasilnya adalah murid-murid mengerti
agama, tetapi mereka belum beragama. Mereka mengetahui (kognitif) shalat itu
wajib, tetapi tidak atau jarang shalat. Mereka tidak tahu Tuhan maha
mengetahui, tetapi membohongi orang tuanya, disangkanya Tuhan tidak mengetahui
kebohongan itu. Jadi, mereka tahu agama, tetapi belum beragama.
Inti agama ialah iman; iman
itu di hati. Jadi, rupanya iman itu bukan di kepala; iman itu di dalam hati.[15]
Inilah masalah besar itu. Sampai saat ini guru-guru kita hanya mengajar agama
untuk diketahui, bukan menanamkan rasa beragama yang dapat membentuk sikap iman
kepada Tuhan. Makanya, jangan kaget bila di dalam buku raport nilai agamnya
sembilan, tetapi di rumah anak itu malas shalat, suka juga berbohong, dan
sebagainya. Yang ada dalam raport itu ialah gambaran pengetahuannya, bukan
agamanya. Yang agama ialah menjalankan shalat itu, jujur itu. Jadi, jelas bahwa
pendidikan agama di sekolah memang hasilnya kurang memuaskan.
Berangkat dari potret buram
tentang pendidikan agama kita di Indonesia ini, mengajak kita bersama untuk
melakukan kajian-kajian kritis reflektif terkait dengan revitalisasi pendidikan
agama islam, baik berupa content atau kurikulum, metodologi, approach serta
interaksi lingkungan sekolah, namun sebelum jauh kita mendiagnosa persoalan tersebut
kita mesti sepakat untuk mereduksi asumsi bahwa persolan moral, etika atau
akhlak hanya dibebankan pada pelajaran agama islam, namun sebaliknya bahwa
setiap displin ilmu atau matapelajaran bertanggungjawab atas moral atau akhlak
anak didik karena sungguh tidak fear kalau pelajaran agama yang hanya dua jam
setiap satu minggu diharuskan menanggung moral atau akhlak anak didik.[16]
- Solusi atas problem kurikulum
pendidikan Islam
Dari problem-problem kurikulum
pendidikan Islam di sekolah, berikut merupakan solusi atas problem kurikulum
tersebut:
1. Pendekatan kognitif
Pendidikan itu setidaknya
memiliki tiga aspek sasaran. Pertama, sasaran pengisian otak (transfer of knowledge). Di sini yang
paling ditekankan adalah mengisi kognitif peserta didik, mulai dari yang sederhana
seperti menghafal sampai yang analisis. Kedua,
mengisi hati, melahirkan sikap positif (transfer
of value), sasarannya menumbuhkan kecintaan kepada kebaikan dan membenci
kejahatan. Ketiga, perbuatan (transfer of activity), timbul keinginan
untuk melakukan yang baik dan menjauhi perilaku jelek. [17]
2.
Pendekatan parsial
3.
Sarana dan fasilitas
Pendidikan agama sebagaimana
pendidikan lainnya juga membutuhkan sarana dan fasilitas. Bila di sekolah ada
laboratorium Biologi, Fisika, Kimia, Bahasa. Maka sebetulnya sekolah juga membutuhkan
laboratorium agama di samping masjid. Laboratorium itu dilengkapi dengan sarana
dan fasilitas yang membawa peserta didik untuk lebih menghayati agama, mislanya
video, foto, musik, syair, dan puisi yang bernapaskan keagamaan. Yang
merangsang emosional keberagamaan peserta didik.[19]
Maka untuk mengoptimalkan pemberlakuan kurikulum, pemerintah, sekolah, dan
komite sekolah harus bekerja sama untuk memprioritaskan anggaran sektor sarana
prasarana. Dengan terpenuhinya sarana prasarana, diharpkan pengembangan
kurikulum berjalan sesuai harapan.[20]
4. Evaluasi
Evaluasi yang berorientasi
pada penilaian kognitif semata sudah harus diubah kepada evaluasi yang
berorientasi kepada penilaian afektif dan psikomotorik. Di samping tetap
melaksanakan penilaian kognitif. Sudah perlu direncanakan salah satu bentuk
evaluasi dengan mempergunakan pendekatan afektif dan psikomotorik, mislanya
skala sikap dan penilaian praktik ibadah.[21]
KESIMPULAN
Pendidikan
Agama Islam itu membina aspek ketrampilan melakukan ajaran agama (psikomotor),
membina aspek pengetahuan agama (kognitif), dan aspek iman atau rasa atau sikap
beragama (afektif). Bila ketiga aspek ini dibina dengan baik serta seimbang,
maka hasilnya ialah siswa yang memahai, meyakini, dan mengamalkan ajaran agama.
Keberhasilan
proses pembelajaran ditentukan oleh kreativitas guru dalam mengembangkan
kurikulum, dan kesiapan peserta didik untuk mengikuti proses belajar mengajar.
Guru dituntut mampu menggerakkan peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran
sehingga mampu menangkap dan menganalisis proses pembelajaran. Pembelajaran
efektif banyak ditentukan oleh interaksi antara peserta didik dan guru, peserta
didik dan peserta didik, serta peserta didik dan lingkungannya. Jika ini bisa
dicapai, pembelajaran tidak akan berhenti pada proses pencerdasan yang tertumpu
pada aspek kognitif, tetapi lebih merupakan proses penumbuhan dan pengembangan
bakat secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, H.
Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2006
Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasiona:
Paradigma Barul. Jakarta :
Departemen Agama RI. 2005
Majid, Abdul.
Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. 2004
Raharjo,
H. Rahmat. Inovasi Kurikulum Pendidikan
Agama Islam: Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Yogyakarta :
Magnum Pustaka. 2010. hlm. 173
Sulistyorini. Manajemen
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras. 2009
Tafsir,
Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif
Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992
F:\SMK
Negeri 1 Trucuk Klaten.htm
[2] Ibid., hlm. 42
[3] Abdul, Majid. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA. 2004. hlm. 79
[4] Ahmad, Tafsir. Ilmu
Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992. hlm.
123
[5] Muhammad, Kholid Fathoni. Pendidikan
Islam dan Pendidikan Nasiona: Paradigma Barul. Jakarta : Departemen Agama RI. 2005. hlm. 41
[7] Abdul, Majid. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi. Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA. 2004. hlm. iv
[9] Rahmat,
Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan
Agama Islam: Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Yogyakarta :
Magnum Pustaka. 2010. hlm. 171
[10] Abdul, Majid. Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. 2004. hlm. v
[12] Ahmad, Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 1992. hlm. 123
[13] F:\SMK Negeri 1 Trucuk Klaten.htm
[14] Ahmad, Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam
Prespektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992. hlm. 123
[17] H. Haidar Putra Daulay, MA. Pendidikan Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. hlm.
39
[18] Ibid., hlm. 40
[20] Rahmat,
Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan
Agama Islam: Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Yogyakarta :
Magnum Pustaka. 2010. hlm. 173
[21] H. Haidar Putra Daulay, MA. Pendidikan Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. hlm. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar